Benang Kusut Tata Ruang, Hulu Bencana Banjir dan Longsor
Pelanggaran tata ruang terus terjadi. Pemerintah daerah enggan membuat aturan detil tata ruang agar bisa mengakomodir kepentingan yang justeru berdampak meningkatkan risiko terjadinya bencana.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI, ALBERTUS KRISNA, M PUTERI ROSALINA, Yoesep budianto
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelanggaran aturan tata ruang berkontribusi pada terjadinya bencana hidrometeorologi. Penindakan pelanggaran telah dilakukan melalui sanksi administratif dan pidana, namun belum efektif memberikan efek jera.
Perencanaan dan pengendalian tata ruang adalah ’hulu’ atau asal mula dari tingginya risiko bahaya bencana banjir dan longsor yang dihadapi sejumlah kota-kota besar di Indonesia. Namun, banyak tantangan masih mengganjal, dari keengganan formalisasi aturan sampai keterbatasan pengawasan.
Kompas menganalisis dua daerah aliran sungai (DAS) dengan indeks risiko bahaya bencana banjir dan longsor tertinggi yakni DAS Citarum dan Barito. Kedua DAS ini memiliki skor tertinggi dengan frekuensi bencana banjir dan longsor tertinggi di Indonesia serta jumlah korban terdampak dan bangunan yang juga tertinggi.
Hasil analisis menunjukkan, terdapat ketidaksesuaian antara Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten/kota di DAS Citarum dan DAS Barito dengan kondisi penggunaan lahan eksisting. Analisis dilakukan melalui tumpang susun peta RTRW masing-masing kabupaten/kota dengan peta lahan terbangun dari Global Human Settlement Layer (GHSL).
Pola ketidaksesuaian fungsi lahan di DAS Citarum dan DAS Barito, terjadi pada fungsi lahan sempadan badan air (sungai/situ/waduk/bendungan), lahan konservasi seperti hutan lindung, cagar alam, dan resapan air, serta lahan pertanian tanaman pangan dan perkebunan yang berubah menjadi lahan terbangun. Selanjutnya juga terjadi pada fungsi lahan pertambangan, hutan produksi, dan peternakan/perikanan.
Pelanggaran aturan tata ruang berkontribusi pada terjadinya bencana hidrometeorologi. Penindakan pelanggaran telah dilakukan melalui sanksi administratif dan pidana, namun belum efektif memberikan efek jera
Ketidaksesuaian fungsi lahan di DAS Citarum banyak terjadi di lahan pertanian tanaman pangan dan perkebunan, yakni 19.418 hektar, sempadan badan air (2.314 hektar) dan kawasan konservasi (2.428 hektar)
Hal serupa juga terjadi di DAS Barito. Sebanyak 5.256 hektar lahan pertanian dan perkebunan telah menjadi lahan terbangun. Perubahan juga terjadi di sempadan air yakni 2.191 hektar dan kawasan lindung 418,3 hektar .
Infografik Pertumbuhan Lahan Terbangun di DAS Citarum dan DAS Barito
Padahal, menurut Ketua Departemen Perencanaan Wilayah Kota Universitas Diponegoro Prof Wiwandari Handayani, ketidaksesuaian pemanfaatan lahan dengan aturan tata ruang dapat meningkatkan risiko terjadinya bencana. Menurut dia, pemerintah bahkan seringkali hanya ‘bereaksi’ terhadap bencana, bukan berusaha mengurangi risiko dengan juga melihat asal-muasal bencana tersebut.
“Selama ini yang jadi concern adalah hanya pada reaksi untuk mengatasi bencananya, seperti membangun polder atau normalisasi sungai. Ini hanya menyelesaikan masalah di hilir, tidak menyelesaikan di asalnya. Aspek perencanaan dan pengendalian juga penting,” kata Wiwandari saat dihubungi dari Jakarta, Senin (30/1/2023),
Dia mencontohkan, mengatur fungsi lahan di lereng curam sebagai kawasan pertanian dapat memperparah erosi dan sedimentasi ke bagian hilir sungai. “Apalagi kalau di bagian hilirnya, bantaran sungainya, pemanfaatannya tidak sesuai aturan,” kata Wiwandari.
Problem ini menuntut pengawasan dan pengendalian yang lebih melekat dari pemerintah. Namun, menurut Wiwandari, aspek ini juga masih sangat lemah.
Secara umum ada dua problem yang mendasari lemahnya pengawasan dan pengendalian ruang. Pertama, ketiadaan dokumen rencana detail tata ruang (RDTR).
Menurut Wiwandari, ketiadaan RDTR bisa jadi disengaja oleh kepala daerah agar implementasi aturan tata ruang bisa lebih longgar. Tanpa RDTR, pemanfaatan tata ruang bisa lebih mengakomodasi sejumlah kepentingan politik dan ekonomi yang muncul. “Ada kekhawatiran bahwa RDTR akan membatasi banyak kepentingan yang ada di wilayah itu,” kata Wiwandari.
Kedua, persoalan implementasi di lapangan. Kalau pun fungsi lahan sudah ditetapkan oleh aturan tata ruang, pengawasan di lapangan masih menjadi kendala akibat keterbatasan sumber daya manusia. Kedua problem ini membuat pelanggaran tata ruang terus terjadi.
Pemanfaatan ruang
Problem ini makin kompleks mengingat bencana di suatu kabupaten dapat bermula pada persoalan pemanfaatan ruang di kabupaten lain yang bisa juga di bawah provinsi yang berbeda. “Jika ada daerah kritis di hulu, yang akan kena bencananya kan di hilirnya. Padahal sebetulnya yang bermasalah ini bisa jadi adalah kabupaten atau kota di bagian hulu DAS,” kata Wiwandari.
Staf Ahli Bidang Pengembangan Kawasan Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Budi Situmorang juga menyetujui bahwa akar permasalahan berada pada kepatuhan proses izin pembangunannya.
Budi seringkali menemukan kasus bagaimana sebuah pemda justru mengeluarkan izin pembangunan yang sebetulnya tidak sesuai dengan RDTR ataupun RTRW yang sudah dirancang pemda itu sendiri.
"Ketika izin keluar dari pemda, pemda juga harus kena (sanksi)," kata Budi.
Jika tidak ada izin, penertiban menurutnya harus segera dilakukan. Proses penertiban sangat penting dilakukan untuk menanggulangi pelanggaran tersebut. “Di daerah yang rawan bencana, penindakan ini memang harusnya lebih tegas lagi,” kata Budi.
Penindakan rendah
Kementarian ATR/BPN sejak 2015 telah melakukan audit pelanggaran aturan tata ruang di 151 kabupaten/kota. Hasilnya, terjadi 4.285 pelanggaran. Sebanyak 50 persen (2.137 kasus) di antaranya berlokasi di kawasan konservasi atau kawasan hutan.
Dari pelanggaran tersebut, sebanyak 928 kasus (22 persen), statusnya telah dikenai sanksi administratif, empat kasus sedang diproses sanksi pidana, dan 3.353 kasus (78 persen) dalam proses tindak lanjut.
Budi mengakui bahwa keterbatasan sumber daya manusia membuat pengawasan susah melekat ke setiap pelanggaran tata ruang. Oleh karena itu, Kementerian ATR/BPN kini lebih mengutamakan kasus pelanggaran tata ruang yang berdampak ‘besar’. Besaran denda yang besar diharapkan dapat memberikan efek jera kepada calon pelanggar.
"Tidak mungkin mengejar kuantitas penegakan hukum karena datanya mesti presisi, prosedurnya ruwet, juga siapa pelakunya. Mengakses para pelanggar juga susah," kilah Budi.
Ketiadaan RDTR bisa jadi disengaja oleh kepala daerah agar implementasi aturan tata ruang bisa lebih longgar. Tanpa RDTR, pemanfaatan tata ruang bisa lebih mengakomodasi sejumlah kepentingan politik dan ekonomi yang muncul
Namun Budi juga mengakui bahwa strategi ini juga belum memberikan hasil drastis. Pelanggaran terus terjadi karena biasanya ketika ada benturan antara ekonomi dan lingkungan maupun sosial, kepentingan ekonomi yang menjadi pemenangnya.
Oleh karena kemampuan pengawasan yang masih terbatas dari pemerintah, Budi menilai bahwa sosialisasi aturan tata ruang ke masyarakat menjadi sangat penting. Keterbukaan informasi tata ruang, seperti dalam bentuk laman Gistaru (Geographic Information System) Tata Ruang yang dikelola Direktorat Jenderal Tata Ruang Kementerian ATR/BPN dan sejumlah provinsi di Indonesia menjadi bentuk sosialisasi yang perlu terus dikembangkan.
“Masyarakat harus kita berdayakan, paling tidak, masyarakat bisa mengadu,” kata Budi.