Perjokian di Dunia Akademik, Fenomena Buruk yang Diabaikan
Perjokian telah mengakar, dari level sekolah hingga perguruan tinggi. Praktek buruk ini terlalu lama dibiarkan, sebagian menganggapnya lazim terjadi.
Oleh
IRENE SARWINDANINGRUM, DHANANG DAVID ARITONANG, INSAN ALFAJRI,, ANDY RIZA HIDAYAT
·3 menit baca
DHANANG DAVID ARITONANG
Pamflet joki skripsi yang terpampang di tiang listrik daerah Yogyakarta, Minggu (29/1/2023)
Kecurangan pembuatan karya ilmiah tidak hanya di tingkat mahasiswa, melainkan juga dari perjokian tugas-tugas SMA. Menurut pengakuan DO (19), mahasiswa tingkat satu perguruan tinggi swasta di Di Yogyakarta, dia sudah menjadi joki sejak SMA.
“Dulu di SMA saya membuatkan tugas untuk teman-teman saja, tarifnya Rp 20.000 sampai Rp 50.000 per tugas. Tarifnya saya sesuaikan saja dengan jumlah kata,” katanya.
Aktivitas ini terus berlanjut hingga dia menjadi mahasiswa. Joki tugas sudah sangat umum di kalangan pelajar dan mahasiswa. “Sering kali bukan karena orang itu tidak bisa mengerjakan, tetapi malas dan punya uang. Selama ada uang, dia bisa menutupi kemalasannya,” kata DO yang mengaku sebenarnya tak setuju dengan praktik tersebut. Di level perguruan tinggi, joki karya ilmiah menjamur dengan vulgar.
Sering kali bukan karena orang itu tidak bisa mengerjakan, tetapi malas dan punya uang
Sekitar 10 tahun lalu, joki skripsi ibarat usaha kaki lima, dikerjakan perorangan dengan skala usaha kecil. Iklan-iklan mereka biasanya sederhana, ditempel di tiang-tiang listrik di sekitar kampus. Sekarang, usaha ini meningkat menjadi badan usaha dengan jaringan yang menjangkau seluruh Indonesia. Iklannya pun bertebaran di internet dan media sosial. Badan-badan usaha tersebut ada yang sudah menjadi perseroan terbatas/PT, CV/Commanditaire Vennootschap, atau tanpa badan usaha namun sudah berjaringan.
DHANANG DAVID ARITONANG
Seorang warga sedang mencari informasi terkait joki karya ilmiah di situs klikwisuda.com, Jumat (10/1/2023). Maraknya penyedia jasa joki karya ilmiah membuat bisnis ini semakin mudah dicari.
Mereka memiliki puluhan orang hingga lebih dari 100 penulis dengan omzet hingga lebih dari Rp 150 juta per bulan. Orang-orang yang mengerjakan karya ilmiah itu tak jarang mempunyai gelar sarjana yang berbeda atau lebih rendah strata pendidikannya dari orang yang memesan.
AU misalnya, merupakan sarjana psikologi yang sering mengerjakan tesis komunikasi politik. Ia bergabung sebagai mitra jagoketik.com, sebuah usaha pengetikan di Yogyakarta. Di Medan, perjokian dalam menerbitkan karya ilmiah dilakukan terang-terangan.
Pola paling umum dengan membayar pihak ketiga untuk membuatkan karya ilmiah. "Mereka sering ke kampus-kampus, menawarkan jasanya," kata ON, dosen Universitas Negeri Medan.
Di Jakarta, ada indikasi dosen dan pejabat struktural kampus “nebeng” nama pada karya ilmiah mahasiswa. Temuan ini diperkuat dengan hasil pelacakan melalui media sosial. Transaksinya mudah, tinggal memesan, penyedia jasa menyediakan paket layanan dan tarif.
Di sisi lain, pembuktian praktik curang ini sulit dilakukan. Sejumlah perguruan tinggi menggunakan syarat angka minimal kemiripan materi untuk mencegah kecurangan. Namun, sejauh ini, upaya ini baru bisa mendeteksi plagiarisme atau kecurangan dengan menggunakan naskah ilmiah lain. Sementara, untuk mendeteksi joki, masih sangat sulit.
“Mereka ini sudah pintar mengelabui sistem, misalnya dengan parafrasa sehingga kemiripan sulit terdeteksi. Lalu joki juga sudah mengajari kalau mau maju skripsi, sehingga bisa menjawab pertanyaan,” kata Olivia Lewi Pramesti, dosen jurnalistik di Universitas Atmajaya Yogyakarta.
Kenyataan ini menjadi keprihatinan sebagian akademisi. Banyak dosen yang berorientasi agar cepat naik pangkat dan jabatan. Salah satu caranya dengan mengirimkan artikel ke jurnal ilmiah. "Akar masalahnya ada pada sistem penilaian kenaikan pangkat dosen," kata Sekretaris Jenderal Akademi Ilmuwan Muda Indonesia Berry Juliandi.
Sistem penilaian itu, kata Berry, mengutamakan kecepatan, yaitu buru-buru ingin naik pangkat atau menjadi guru besar. “Jadi, banyak dosen yang tidak berfokus pada proses. Akibatnya, aturan itu dibuat bukan mendorong agar prosesnya agar bagus, melainkan untuk menagih hasil. Akibatnya, semua mencari jalan pintas,” kata dia.
Akar masalahnya ada pada sistem penilaian kenaikan pangkat dosen,
Saat ini, banyak pihak bermain pada sistem yang ada, atau istilahnya gaming the system. Sejumlah dosen akhirnya berupaya mengakali sistem, sebuah cara yang tidak bisa disalahkan sepenuhnya namun juga tidak bisa dikatakan etis. Keprihatinan serupa disampaikan mantan Koordinator Kopertis V Prof Budi Wignyosukarto. Ia berulangkali menangani kecurangan di kalangan dosen selama satu dekade. Kecurangan akademik seolah menjadi budaya dalam dunia pendidikan Indonesia.