Komponen sumber pangan karbohidrat dan protein mengambil lebih dari 50 persen dari ongkos makanan seimbang. Substitusi dengan komoditas pangan lokal menjadi jawaban paling mudah.
Oleh
MARGARETHA PUTERI ROSALINA, SATRIO PANGARSO WISANGGENI, ALBERTUS KRISNA
·6 menit baca
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Ibu-ibu di Desa Tumbang Lawang, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, Rabu (10/4/2019), memasak dengan menggunakan bambu dan bumbu hutan. Mereka sama sekali tidak menggunakan penyedap rasa instan pabrikan dan lebih memilih menggunakan bumbu alami. Bagi mereka, hutan menjadi sumber kehidupan, begitu juga pangan lokal menjadi kunci ketahanan pangan.
JAKARTA, KOMPAS - Komponen Sumber Pangan Karbohidrat dan Protein mengambil lebih dari 50 persen dari ongkos makanan bergizi seimbang. Substitusi dengan komoditas pangan lokal tampaknya menjadi jawaban paling mudah, mengingat komoditas tersebut akan memiliki biaya logistik yang lebih rendah.
Idealnya, kebijakan lokalisasi pangan dan desentralisasi pangan dapat menurunkan biaya pangan serta meningkatkan ketahanan pangan penduduk wilayah tertentu. Terlebih lagi dari hitungan Kompas, ongkos pangan yang tergolong tinggi dan daya beli masyarakat yang rendah masih menyebabkan lebih dari separuh penduduk Indonesia tergolong tidak mampu membeli pangan gizi seimbang.
Meski demikian, hasil analisis menunjukkan bahwa kondisi saat ini, bahan pangan lokal belum memberikan penghematan signifikan bagi masyarakat. Dengan mengganti beras dengan jagung di Nusa Tenggara Timur dan sagu di Maluku Utara, penghematan yang ditawarkan relatif kecil.
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Gubernur Viktor Laiskodat melakukan panen jagung di Sulamu Kabupaten Kupang, Kamis (16/4/2020).
Di NTT, jika beras digantikan dengan jagung dengan jumlah yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan kalori harian, ongkos makanan bergizi seimbang hariannya akan dihemat sebesar Rp 442–884 per hari atau penghematan sebesar 2,4–4,8 persen. Hal ini karena di NTT, harga jagung giling per kilogram berada pada kisaran Rp 5.000–8.000.
Sedangkan di Maluku Utara, jika beras digantikan dengan sagu, maka ada penghematan sebesar Rp 737 per hari, atau setara 3,6 persen dari ongkos awal sebesar Rp 21.496 per hari.
Bahan pangan lokal belum memberikan penghematan signifikan bagi masyarakat. Dengan mengganti beras dengan jagung di Nusa Tenggara Timur dan sagu di Maluku Utara, penghematan yang ditawarkan relatif kecil
Ini menunjukkan bahwa upaya lokalisasi dan desentralisasi pangan yang telah dilakukan selama ini belum mampu menawarkan insentif yang nyata bagi masyarakat tingkat ekonomi rendah yang kesejahteraannya rentan terhadap fluktuasi harga pangan.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Seorang warga sedang memproduksi sagu di Desa Masihulan, Kecamatan Seram Utara, Maluku Tengah, Minggu (5/5/2019).
Sejatinya, harapan Indonesia yang tidak bergantung pada beras dan memiliki sumber pangan lokal yang beragam telah dimunculkan sejak masa Presiden Soekarno.
Dalam pidatonya saat acara peletakan batu pertama Institut Pertanian Bogor (sekarang IPB University) pada April 1952, Soekarno mengatakan bahwa Indonesia tidak bisa hanya mampu mengandalkan sawah padi.
Pemanfaatan lahan kering untuk menumbuhkan pangan lokal seperti jagung dan jawawut menjadi langkah penting untuk memastikan rakyat Indonesia tetap bisa dipenuhi kebutuhan pangannya. Namun 70 tahun sejak pidato tersebut, Indonesia masih belum bisa mewujudkan cita-cita tersebut.
Deputi Kerawanan Pangan dan Gizi Badan Pangan Nasional (Bapanas) Nyoto Suwigno mengakui bahwa saat ini harga pangan lokal belum tentu lebih murah ketimbang beras. “Ubi cilembu Bogor contohnya. Itu kan harganya lebih mahal dari beras,” kata Nyoto saat ditemui pada akhir Oktober 2022 lalu di Jakarta.
Ubi-ubi hasil panen warga yang ditanamnya bersama-sama di sebuah lahan di Desa Margasari, Tamansari, Kabupaten Bogor, sebelum diangkut menuju pasar, Jumat (20/3/2020).
Harga satu kilogram ubi cilembu Bogor di salah satu toko daring, berkisar Rp 12,000 hingga Rp 20.000 per kilogram. Adapun rata-rata harga beras per November dari data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional Bank Indonesia (PIHPS BI) hanya Rp 12.250 per kilogram.
Hal senada juga diungkapkan Kepala Seksi Ketersediaan Pangan, Dinas Pertanian, Perkebunan dan Ketahanan Pangan Halmahera Selatan Fadel al Hada. “Produksi pangan lokal jumlahnya sedikit, dan kami mendatangkan dari daerah lain,” katanya.
Persoalan lainnya menurut Kepala Bidang Ketahanan Pangan Dinas Pertanian, Perkebunan dan Ketahanan Pangan Halmahera Selatan Gamal adalah permainan tengkulak. “Di tingkat petani murah, tapi sampai di pasar, sudah tiga sampai kali, harganya sudah sangat tinggi,” jelasnya.
Rendahnya kemampuan produksi pangan lokal dinilai menjadi akar persoalan mengapa tujuan mulia diversifikasi pangan lokal belum berhasil.
Harga pangan lokal yang mahal menurut guru besar Departemen Gizi Masyarakat Universitas IPB Prof Hardinsyah karena volume produksinya yang rendah. “Produksi pangan lokal yang berbiaya mahal seharusnya perlu disubsidi pemerintah,” tambahnya.
Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan Ayip Said Abdullah mengatakan, upaya meningkatkan keterjangkauan makanan bergizi bisa menggunakan konsep locality dan diversity karena setiap wilayah punya sistem pangan yang bisa dikembangkan.
KOMPAS/SATRIO PANGARSO WISANGGENI
Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Ayip Said Abdullah saat diwawancara Kompas via aplikasi zoom, Kamis (27/10/2022).
Konsep lokalitas yang dimaksud, menggunakan sistem pangan non centralized yang lebih resilien dan sesuai dengan sosio-budaya setempat. "Konteks Indonesia yang negara kepulauan tidak bisa terpusat. Ini akan ada jeda waktu dan jarak yang mungkin bisa membuat pangan mengalami degradasi mutu dan gizi," tambah Said.
Konsep diversity menurut Said juga diperlukan supaya masyarakat tidak hanya bergantung pada satu atau 2 jenis pangan saja, misalnya gandum dan beras. "Bayangkan, jika kita semua makan gandum dan beras, kalau ada gangguan, akan ditanggung lebih besar oleh mereka yang jauh dari gudang pangan, seperti Indonesia Timur," jelasnya.
Konteks Indonesia yang negara kepulauan tidak bisa terpusat. Ini akan ada jeda waktu dan jarak yang mungkin bisa membuat pangan mengalami degradasi mutu dan gizi
Menurut Said, perlu menerapkan sistem lokalitas dan keragaman pangan dan rantai pasok lokal supaya tidak terjadi simplifikasi dan monopolisasi produk pangan. "Hanya saja syaratnya, perlu political will dari pemerintah," tambah Said.
Selain itu, juga diperlukan upaya mengubah pola konsumsi masyarakat, dari sisi permintaan. "Jika pola konsumsi pangan lokal sudah ada, akan jadi hal yang sangat baik," katanya.
Bentuk dukungan pemerintah pusat memang diakui menjadi hal yang diharapkan oleh pemerintah daerah dalam meningkatkan keragaman pangan lokal. Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan NTT Lecky Frederich Koli mengatakan, dukungan pemerintah dalam wujud infrastruktur seperti waduk dan bendungan telah banyak membantu sektor pertanian di sana.
KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA
Para petani memanen padi di daerah Tanjung, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, Rabu (11/11/2020).
Namun, tambahan dukungan seperti pupuk untuk petani menjadi hal yang masih diharapkan masyarakat di daerah.
“Untuk jagung sekarang di beberapa daerah malah kirim ke luar daerah meski terbatas. Kami dorong produktivitas lewat pengadaan pupuk. Petani kami masih susah dapatkan pupuk. Kalau pupuk terpenuhi, NTT bisa surplus jagung,” kata Lecky.
Guru besar Teknologi Pangan Universitas IPB Prof Purwiyatno Haryadi menilai upaya diversifikasi dan lokalisasi pangan tidak perlu berpaku pada bahan makanan pokok. Buah dan sayuran bisa menjadi kelompok pangan yang juga perlu diversifikasi.
Analisis tim jurnalisme data Kompas menggunakan data komoditas bahan pangan 2021 menemukan, harga kelompok buah dan sayuran di wilayah Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua, lebih mahal hingga hampir 20 persen ketimbang harga di Jawa dan Bali.
KOMPAS/AGUS SUSANTO (AGS)
Pedagang buah-buahan menunggu pembeli di Pasar Baru, Mamuju, Sulawesi Barat, Selasa (19/1/2021).
Selain itu, kelompok pangan sayuran dan buah juga mengambil hingga 45 persen dari total ongkos biaya pangan gizi seimbang. Upaya diversifikasi dan lokalisasi kelompok pangan yang menjadi sumber utama vitamin dan mineral ini dapat menekan harga di konsumen.
“Lokalitas itu yang perlu diamplifikasi dan perlu dikembangkan, dan secara nasional itu jadi beraneka ragam. Dan kalau itu terjadi, itu luar biasa menurut saya, karena isu-isu yang berhubungan dengan gangguan logistik internasional itu bisa diredam,” kata dia.
Mempertahankan tradisi
Selain lokalitas dan keragaman, tradisi mengonsumsi pangan lokal perlu dipertahankan. Meski harga sagu lebih mahal ketimbang beras tapi masyarakat Maluku Utara masih mempertahankan tradisi makan papeda. Arni (26) warga Marabose, Halmahera Selatan, misalnya. Dalam seminggu dia memasak beras dan sagu secara bergantian. Anak-anaknya yang berumur dua dan tiga tahun pun juga terbiasa makan papeda yang dicampur dengan ikan dan sayur.
Tidak hanya Arni, warga Malut lainnya juga masih mengkonsumsi papeda yang terbuat dari batang pohon sagu atau kasbi (ubi kayu). Menurut pengajar Teknologi Pangan Universitas Khairun Ternate Erna Rusliana, masyarakat Malut punya kebiasaan makan papeda dan pelengkap lainnya yang disebut makanan kabong atau makanan dari kebun pada hari tertentu, misal setiap hari Jumat atau saat perayaan syukuran. Sayangnya harga satu set makanan kabong relatif mahal, berkisar Rp 50.000 hingga 55.000.