Harga pangan yang fluktuatif akan memengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia. Kenaikan harga pangan seperti beras, telur ayam, daa cabai, akan memicu inflasi dan selanjutnya berpotensi menaikkan kemiskinan.
Oleh
MARGARETHA PUTERI ROSALINA, ALBERTUS KRISNA, SATRIO PANGARSO WISANGGENI
·4 menit baca
Kesejahteraan rakyat Indonesia cukup rentan dengan instabilitas harga pangan. Kenaikan harga beras yang mencapai Rp 550 per kilogram selama enam bulan terakhir, telah memicu inflasi hingga 5,42 persen.
Menggunakan data pengeluaran perkapita, rata-rata konsumsi beras, dan angka garis kemiskinan yang diolah dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistika Maret 2021, maka kenaikan harga beras selama enam bulan sebesar Rp 550 per kilogram, berpotensi menambah jumlah penduduk miskin sebanyak 490.000 jiwa. Angka ini merupakan hasil simulasi penambahan jumlah penduduk miskin hanya dari peningkatan harga beras.
Jika angka tersebut, dijumlahkan dengan angka penduduk miskin per Maret 2022, yakni 26,16 juta jiwa, maka jumlah penduduk miskin di Indonesia diperkirakan menjadi 26,65 juta jiwa hanya karena kenaikan harga beras sebesar Rp 550 per kilogram selama enam bulan.
Dengan demikian, jika di bulan-bulan mendatang, harga beras terus naik hingga Rp 1.000 per kilogram, maka pertambahan penduduk miskin diprediksi bertambah sekitar 828.00 jiwa. Pertambahan ini akan membuat jumlah penduduk miskin naik menjadi 26.9 juta jiwa.
Potensi pertambahan penduduk miskin karena kenaikan harga beras bakal terjadi di seluruh provinsi, dengan kenaikan berkisar 1 hingga 7 persen. Kenaikan 7 persen akan terjadi di Bali dan Sulawesi Barat. Dua provinsi tersebut memiliki banyak penduduk dengan pengeluaran bulanan yang mendekati angka garis kemiskinan.
Potensi pertambahan penduduk miskin karena kenaikan harga beras bakal terjadi di seluruh provinsi, dengan kenaikan berkisar 1 hingga 7 persen
Perhitungan potensi pertambahan jumlah penduduk miskin dalam kajian ini hanya dari harga beras. Selain harga pangan, kenaikan penduduk miskin juga dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi, pengangguran, upah/gaji, ketersediaan sarana prasarana, dan tingkat pendidikan.
Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran, Ari Tjahjawandita mengatakan, angka kemiskinan sensitif terhadap kenaikan harga pangan. "Harga pangan naik, inflasi naik satu persen, angka kemiskinan naik lebih dari satu persen," tambahnya, saat dihubungi melalui sambungan Zoom awal November lalu.
Komoditas pangan penentu tingkat kemiskinan di Indonesia tidak hanya beras. Harga bahan pangan lainnya seperti telur ayam ras, daging ayam ras, mi instan, gula pasir, kopi, dan rokok juga mempunyai andil menentukan garis kemiskinan. Selain itu, Badan Pusat Statistik memasukkan harga rokok kretek filter sebagai penentu tingkat kemiskinan.
Kontribusi beras paling besar dibandingkan komoditas pangan lain. Nilai sumbangan beras pada bahan pangan sekitar 26-30 persen baik di perkotaan atau pedesaan.
Dominasi beras ini menurut Guru Besar Teknologi Pangan Universitas IPB Prof Purwiyatno Haryadi tidak lepas dari ketergantungan masyarakat Indonesia pada beras. "Orang merasa belum makan kalau belum makan nasi," kata Purwiyatno.
Inflasi pangan
Selain beras, pemicu inflasi lainnya adalah harga telur ayam ras, cabai merah dan rawit, bawang merah, serta minyak goreng. Harga telur ayam ras dari laporan mingguan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, mulai naik di bulan April 2022, dari angka Rp 24.400, mencapai puncak Rp 28.000 di awal September dan sekarang sudah turun Rp 26.700. Harga cabai merah selama 2022 cukup fluktuatif. Awal tahun, hanya dijual Rp 37.950 per kilogram, kemudian naik menjadi Rp 69.000 di Juli dan sekarang bergerak turun menjadi Rp 28.650 perkilogram.
Kenaikan harga pangan tersebut, mengakibatkan angka inflasi terus bergerak naik. Angka inflasi Juni 2022, mencapai 4,35 persen, melebihi ambang batas yang ditetapkan pemerintah sebesar 2-4 persen pada APBN 2022. Angka inflasi bulan berikutnya juga terus naik dan November tercatat inflasi mencapai 5,41 persen.
Selama harga pangan masih belum stabil, angka inflasi juga akan turut bergerak naik turun. Pangan memberikan andil terbesar pada angka inflasi umum
Catatan BPS, komoditas makanan yang memicu inflasi di Juni dan Juli didominasi cabai merah, cabai rawit dan bawang merah. Cabai merah memberikan kontribusi separuh dari inflasi makanan.
Mulai Agustus hingga September, beras turut andil kembali dalam memicu inflasi pangan. Padahal dari catatan BPS, selama 2013 hingga Juli 2022, peran beras dalam menyumbang inflasi pangan sudah mulai bergeser dan diganti oleh komoditas pangan lain seperti cabai merah dan rawit, ikan segar, serta telur ayam ras.
Pada Agustus 2022, beras menyumbang 0,02 persen dari total sumbangan komoditas makanan 0,48 persen. Bulan September, beras memberikan kontribusi separuh dari andil inflasi pangan 0,08 persen. Bulan berikutnya, beras juga masih turut menyumbang inflasi pangan, meski tidak dominan.
Selama harga pangan masih belum stabil, angka inflasi juga akan turut bergerak naik turun. Pangan memberikan andil terbesar pada angka inflasi umum. Sebagai gambaran, pada 2021 komoditas pangan memberikan andil 68 persen. Tahun 2020 menyumbang 80 persen.
Dikendalikan
Angka kemiskinan yang terlalu sensitif dengan inflasi menurut Ari bisa dikendalikan. Selain dengan mengurangi besaran pengeluaran makanan, juga dengan memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat.
“Kalau sudah memadai, base expenditure masyarakat kan bukan hanya makanan. Ada transportasi, perumahan, menabung atau investasi yang lebih advance,” tambah Ari.
Jika harga pangan naik, menurut Ari, masyarakat tinggal mengurangi komponen pengeluaran yang lain. Bukan mengorbankan kualitas nutrisinya. “Kondisi sekarang, masyarakat miskin boro-boro bisa menabung, paling realistis dengan mengorbankan volume atau pun komposisi nutrisi,” ujar Ari.