Semakin berdaya beli, pengeluaran makanan masyarakat semakin besar. Kebutuhan untuk mendapatkan makanan sehat dan berkualitas baik juga semakin tinggi. Semakin kaya, semakin rendah konsumsi karbohidrat.
Oleh
MARGARETHA PUTERI ROSALINA, SATRIO PANGARSO WISANGGENI, ALBERTUS KRISNA
·4 menit baca
KOMPAS/SOELASTRI SOEKIRNO
Suasana di resto Steak & Ice Cream Boncafe Galaxy Mal 3 Surabaya pada Rabu (18/5/2022). Kemampuan ekonomi terkait erat dengan pola konsumsi masyarakat. Semakin kaya, semakin rendah konsumsi karbohidrat dan semakin besar porsi konsumsi protein serta lemak.
Kemampuan ekonomi terkait erat dengan pola konsumsi makanan masyarakat. Semakin masyarakat berdaya beli, pengeluaran makanan juga semakin tinggi dan ada kebutuhan untuk mendapatkan makanan berkualitas baik. Di sisi lain, asupan karbohidratnya cenderung berkurang, berganti dengan peningkatan asupan protein dan lemak.
Temuan tersebut diperoleh dari analisis dan pengolahan data pengeluaran makanan serta asupan gizi masyarakat Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (Susenas BPS) tahun 2021.
Pengeluaran makanan setiap individu dari hasil Susenas sangat bervariasi, mulai dari Rp 57.000 hingga terbesar Rp 6,9 juta per kapita per bulan. Besar kecilnya pengeluaran makanan ini turut mempengaruhi pola konsumsi makanan masyarakat, antara kelas ekonomi tinggi dan kelas rendah.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Pelayan melayani pelanggan di warung Tegal atau dikenal dengan warteg Mamoka Bahari di kawasan Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Kamis (28/7/2022).
Klasifikasi masyarakat kelas ekonomi rendah menggunakan garis kemiskinan di setiap provinsi. Tahun 2021, provinsi dengan garis kemiskinan tertinggi ada di Kepulauan Bangka Belitung, Rp 752.203 dan terendah ada di Sulawesi Barat sebesar Rp 364.251.
Hasil perhitungan Kompas, masyarakat kelas ekonomi atas atau kaya, mengonsumsi makanan lebih banyak, yakni 1,8 kilogram per bulan. Rata-rata pengeluaran makanannya pun lebih besar yakni Rp 714.000 per kapita dalam sebulan. Pengeluaran makanan tersebut berkisar dari terkecil Rp 125.000 hingga terbesar Rp 6,9 juta per bulan.
Semakin masyarakat berdaya beli, pengeluaran makanan juga semakin tinggi dan ada kebutuhan untuk mendapatkan makanan berkualitas baik. Di sisi lain, asupan karbohidratnya cenderung berkurang, berganti dengan peningkatan asupan protein dan lemak
Sebaliknya, konsumsi makanan masyarakat kelas bawah atau miskin lebih sedikit, hanya 1,3 kilogram per bulan. Rata-rata pengeluaran makananannya pun lebih rendah, yakni Rp 260.760 per kapita per bulan atau dalam rentang pengeluaran Rp 57.000 hingga Rp 460.000.
KOMPAS/IVAN DWI KURNIA PUTRA
Salah seorang pedagang menunjukkan kualitas beras miliknya di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur, Jumat (02/11/2022).
Kondisi ini turut menentukan masyarakat dalam memilih kualitas makanan yang dikonsumsi. Ada kecenderungan, masyarakat kelas atas membeli makanan seperti beras dengan harga yang lebih mahal. Masyarakat kaya membeli beras seharga Rp 10.639 per kilogram. Mereka rata-rata mengonsumsi beras sebanyak 5,5 kg per orang per bulan dengan total pengeluaran Rp 58.869.
Adapun masyarakat miskin, mengonsumsi beras dengan harga lebih murah yakni Rp 9.164. Konsumsi beras masyarakat kelas bawah tersebut lebih rendah, yakni 4,7 kilogram per orang per bulan, dengan total pengeluaran untuk membeli beras Rp 42.826.
Asupan gizi
Ada fenomena menarik antara masyarakat miskin dan kaya dalam mengonsumsi gizi makanan, karbohidrat, protein, dan lemak. Asupan gizi makanan dalam analisis ini dibedakan menjadi tiga yakni karbohidrat, protein, dan lemak.
Karbohidrat dalam data Susenas berasal dari konsumsi nasi, jagung, dan gandum. Sementara makanan berprotein ada pada tahu, tempe, daging, ikan, atau telur. Makanan berlemak di antaranya mentega, alpukat, atau kacang-kacangan.
Porsi karbohidrat masyarakat miskin lebih besar, hingga mencapai 77 persen. Adapun masyarakat kaya porsi konsumsi karbohidratnya turun 4,9 persen atau 72,1 persen.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Para penghuni Kampung Anak Negeri makan malam bersama di ruang makan, di Surabaya, Jawa Timur, Rabu (20/11/2019).
Meski porsi karbohidrat pada masyarakat kelas atas menurun, tapi porsi konsumsi protein dan lemaknya lebih tinggi dari warga kelas bawah.
Data menunjukkan konsumsi makanan berprotein kelas atas adalah 14,7 persen dan lemak 13,2 persen. Sebaliknya, konsumsi protein pada masyarakat miskin hanya 14,3 persen dan lemak 12,4 persen.
Fenomena penurunan konsumsi karbohidrat pada masyarakat kelas atas, menurut Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat Universitas IPB Prof Hardinsyah, bisa diterangkan dengan teori Maslow. "Paling bawah, 'saya mau makan apa'. Masih menahan lapar. Berikutnya, makin tinggi menunjukkan 'siapa saya', 'apa yang harus saya makan'," jelas Hardinsyah.
Hal tersebut menurut Hardinsyah menunjukkan, orang semakin berdaya beli, makin melirik sumber-sumber makanan non konvensional. "Misal orang Indonesia barat, selama ini menganggap makanan konvensional adalah nasi. Yang non konvesional, yang bergengsi, seperti yang berbasis terigu. Sebaliknya di Papua atau Malut, sagu adalah makanan konvensional. Begitu pendatang meningkat, yang bergengsi ya makanan non sagu," jelas Hardinsyah.
Meski demikian menurut Hardinsyah, kecenderungan masyarakat kelas atas beralih ke makanan non konvensional, bisa berarti beralih ke makanan yang lebih sehat.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Suasana di dalam Restoran Bebek Kaleyo di daerah Lenteng Agung, Jakarta, Rabu (17/6/2020).
Meski porsi karbohidrat pada masyarakat kaya cenderung menurun, tapi pola konsumsi pangan masyarakat Indonesia masih jauh dari kondisi ideal. Hingga 2021, pangan padi-padian, serta minyak dan lemak, konsumsinya berlebih.
Angka Kecukupan Gizi (AKG) padi-padian mencapai 60 persen. Angka ini masih melebihi nilai AKG ideal padi-padian, yakni 50 persen. Adapun nilai AKG minyak dan lemak adalah 12,8 persen. Lebih 2,8 persen dari angka ideal AKG minyak dan lemak.
Sebaliknya, konsumsi sayur dan buah, umbi-umbian, serta protein hewani masih kurang. Nilai AKG sayur dan buah masih kurang 1 persen dari skor ideal 5 persen. Nilai AKG umbi-umbian kurang 2 persen, dan nilai protein hewani kurang 0,4 persen.