Harga makanan gizi berimbang di Indonesia masih lebih mahal dibandingkan negara tetangga sehingga lebih dari separuh penduduk Indonesia belum bisa mengaksesnya.
Oleh
MARGARETHA PUTERI ROSALINA, SATRIO PANGARSO WISANGGENI, ALBERTUS KRISNA
·6 menit baca
KOMPAS/FAJAR RAMADHAN
Nizam (32), penjual makanan di kompleks asrama tenaga kerja Pangsapuri Sri Ayu, Bandar Baru Bangi, Selangor, Malaysia saat ditemui pada Rabu (29/6/2022) siang. Pemerintah Malaysia melalui program National Plan of Actrion for Nutrition of Malaysia menekan biaya pangan sehat. Di dalam program tersebut, Pemerintah Malaysia mengenalkan dan memantau nutrisi masyarakat di semua kelompok usia, mulai dari ibu hamil, bayi bawah enam bulan, anak sekolah, dewasa hingga usia lanjut.
JAKARTA, KOMPAS - Strategi negara lain memaksimalkan produk pangan domestik serta meningkatkan literasi masyarakat pada produk makanan bergizi bisa menjadi acuan Indonesia. Saat ini Indonesia berada di peringkat ketiga negara dengan jumlah penduduk terbanyak yang tidak dapat mengakses pangan gizi berimbang. Dari catatan Bank Dunia (2020) dalam laman ourworldindata.org, ada 189 juta jiwa atau 69,1 persen dari total penduduk Indonesia yang tidak dapat mengakses makanan sehat.
Sementara itu, peringkat satu diduduki India dengan 973 juta jiwa atau 70,5 persen dari total penduduk yang tidak dapat mengakses makanan bergizi imbang. Kemudian peringkat kedua adalah Nigeria dengan 197 juta jiwa atau 95,9 persen penduduk yang mengalami hal serupa.
AP PHOTO/MANISH SWARUP
Sebuah keluarga dari pemukiman miskin melihat keluar dari jendela kamar mereka selama penguncian untuk mengontrol penyebaran virus corona, di New Delhi, India, Minggu (10/05/2020).
Secara global masih ada 3,1 miliar jiwa atau setara 42 persen dari total penduduk dunia tidak dapat mengakses makanan bergizi seimbang. Secara persentase, kondisi Nigeria, India, dan Indonesia berada di atas rata-rata global itu bersama 56 negara lainnya dari total 138 negara yang disajikan ourworldindata.org.
Rendahnya akses terhadap pangan bergizi seimbang salah satunya disebabkan kemiskinan. Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, Ayip Said Abdullah menyebutkan, orang dikatakan tahan pangan jika dapat mengakses pangan dengan baik atau dapat memproduksi sendiri. Menurut Said, jika dalam satu kondisi pasokan pangan melimpah maka harga menjadi murah. Tapi jika tidak memiliki sumber daya keuangan yang baik, semurah apa pun harga pangan, tidak juga terakses.
“Mereka jadi enggak tahan pangan karena mereka enggak punya uang untuk mengakses pangan,” tambah Said.
Rendahnya akses terhadap pangan bergizi seimbang salah satunya disebabkan kemiskinan
Selain kemiskinan, rantai pasok menurut Said juga akan memperburuk situasi. Ketika ketersediaan pangan tersendat, harga pangan menjadi mahal.
Dalam lima tahun terakhir, tren kenaikan persentase penduduk yang tidak memiliki akses makanan bergizi berbanding lurus dengan persentase penduduk miskin. Data BPS 2017-2020 menunjukkan persentase penduduk miskin di Indonesia berturut-turut 10,6 persen; 9,8 persen; 9,4 persen; dan 9,8 persen.
Sementara itu di rentang waktu yang sama, persentase penduduk yang tidak memiliki akses pangan bergizi seimbang berturut-turut sebesar 70,7 persen; 68,9 persen; 67,3 persen; dan 69,1 persen. Dua data tersebut menunjukkan pola fluktuatif angka yang serupa.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Tunawisma terlelap dekat gerobaknya di kolong tol dalam kota di Pejompongan, Jakarta Pusat, Kamis (14/12/2017)
Kemiskinan ini juga yang menyebabkan banyak penduduk India tidak dapat mengakses pangan gizi berimbang walaupun harganya relatif terjangkau. Hal itu disebabkan tingkat upah bulanan minimum India yang tergolong sangat rendah. Di antara negara-negara di Asia Pasifik, upah di India menduduki peringkat kedua terbawah setelah Bangladesh.
Data Organisasi Perburuhan Internasional (International Labour Organization/ILO) tahun 2020 menunjukkan tingkat upah minimum India sebesar 65 dolar AS atau setara Rp 975 ribu per bulan. Sementara biaya pangan gizi seimbang di India tahun 2020 sebesar 2,97 dolar AS atau setara Rp 44.550 per kapita per hari. Artinya upah minimum di India tidak dapat mencukupi biaya sebulan pangan gizi berimbang yang totalnya mencapai Rp 1,3 juta per kapita.
Fenomena yang terjadi di India menggambarkan karakteristik negara berpenghasilan menengah ke bawah. Kelompok negara ini memiliki pendapatan nasional bruto atau GNI per kapita antara 1,086 dolar AS hingga 4,225 dolar AS per hari atau Rp 504.500 hingga Rp 1,9 juta per bulan. Dengan rata-rata biaya makanan gizi berimbang 3,7 dolar AS atau Rp 57.366 per kapita per hari, jumlah penduduk di kelompok negara ini yang tidak dapat mengaksesnya 69,4 persen.
Sekelompok dengan India, namun biaya pangan gizi seimbang Indonesia justru tergolong tinggi. Data Food and Agriculture Organization (FAO) tahun 2020 menunjukkan sebesar 4,47 dolar AS atau setara Rp 66.990 per orang sehari. Tingginya biaya itu membuat penduduk Indonesia yang tidak dapat mengakses makanan bergizi mencapai 69,1 persen.
Kamboja yang juga negara berpenghasilan menengah ke bawah, biaya makanan gizi seimbangnya jauh lebih murah. Biaya di Kamboja hanya 3,89 dolar AS atau setara Rp 58.320 per kapita per hari. Namun tidak seperti India, murahnya biaya di Kamboja membuat penduduk yang belum dapat mengakses makanan bergizi seimbang cukup minim, hanya 22 persen.
AFP PHOTO / TANG CHHIN SOTHY
Pekerja garmen Kamboja pasca menghadiri pertemuan dengan Perdana Menteri Hun Sen di provinsi Kampong Chhnang. (29/07/2018)
Sementara itu, Malaysia memiliki biaya pangan gizi seimbang yang lebih murah lagi ketimbang Indonesia dan Kamboja. Biaya pangan bergizi seimbang di Malaysia hanya sebesar 3,54 dolar AS atau Rp 53.070 per hari. Penduduk yang tidak bisa menjangkau makanan gizi seimbang pun sangat kecil, hanya 1,9 persen. Kondisi Malaysia menggambarkan karakteristik kelompok negara berpenghasilan tinggi.
Padahal hingga saat ini Malaysia masih masuk dalam kelompok negara berpenghasilan menengah ke atas. Pada kelompok negara ini, rata-rata biaya makanan gizi seimbangnya 3,8 dolar AS atau Rp 58.311 per kapita per hari. Penduduk yang tidak dapat mengaksesnya di angka 13,7 persen.
Strategi
Salah satu indikator keberhasilan Kamboja membuat harga pangan lebih terjangkau, diikuti minimnya penduduk yang belum bisa mengakses makanan bergizi yaitu memaksimalkan produksi domestik. FAO mencatat pasokan bahan pangan domestik Kamboja tahun 2019 sebanyak 9,8 juta ton atau setiap orang bisa mencukupi kebutuhannya hingga 61 kg pertahun.
Berbanding terbalik dengan Indonesia. Ketersediaan bahan pangan domestiknya sebanyak 56,8 juta ton atau perorang hanya bisa tercukupi sebesar 21,1 kilogram setahun.
Kamboja juga memprioritaskan sistem pangan berkelanjutan. Pemerintah Kamboja mendorong anak muda, perempuan dan kaum rentan berkontribusi penuh dalam sistem pertanian. Dengan demikian mereka memiliki literasi yang bagus dalam pertanian dan tetap tinggal di desa sehingga ekonomi pedesaan tetap berjalan. Kamboja mempromosikan petani sebagai profesi yang tangguh. Dalam implementasinya, pemerintah setempat mendukung masyarakat adat, pemuda, petani kecil, serta unit usaha kecil dalam produksi dan pengolahan pangan.
Pemerintah Kamboja mendorong anak muda, perempuan dan kaum rentan berkontribusi penuh dalam sistem pertanian. Dengan demikian mereka memiliki literasi yang bagus dalam pertanian dan tetap tinggal di desa sehingga ekonomi pedesaan tetap berjalan
Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran Ari Tjahjawandita menilai peningkatan produksi dalam negeri perlu dipicu dari kesejahteraan petani. “Ini solusi intinya. Bagaimana meningkatkan insentif bagi petani. Untuk meningkatkan ketahanan pangan, jangka panjangnya ya kembali ke masalah dasarnya. perbaiki kesejahteraan petani dan perbaiki rantai distribusinya,” kata Ari.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM)
Petani pulang dari menggarap sawah di Kampung Sawah, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Minggu (16/1/2022).
Peningkatan kesejahteraan petani dilakukan dengan mengurangi pengaruh perantara dalam rantai pasok pangan. Dalam catatannya, ongkos perantara dapat mencapai 30 persen dari harga yang sampai ke konsumen. Ini menyebabkan harga pangan Indonesia lebih tinggi ketimbang negara tetangga.
"Harga beras di Vietnam itu bisa rata-rata Rp 7.000 per kg, sedangkan Indonesia Rp 10.000. Di Indonesia, rantai pasok sampai saluran ekspor-impornya semuanya dikontrol, dan dikontrolnya itu menyebabkan ada inefesiensi.,” kata Ari.
Said juga menyepakati, biaya pemasaran di Indonesia lebih tinggi akibat ongkos pihak perantara. “Hasil diskusi di Vietnam, Kamboja, mereka bisa mengatur dengan tegas. Proses pengaturan distribusinya ketat. Biaya produksi pertanian mereka rendah karena terkoordinasi, kelembagaannya kuat, dan penyimpangan tidak terjadi. Di Kamboja, ada kebijakan yang membebaskan pajak untuk petani,” ujar Said.
Sementara di Malaysia salah satu menekan biaya pangan sehat adalah dengan program National Plan of Action for Nutrition of Malaysia yang sudah memasuki jilid III. Di dalam aksi itu terdapat program pengenalan dan pemantauan nutrisi masyarakat di semua kelompok usia mulai dari ibu hamil, bayi bawah enam bulan, anak sekolah, dewasa, hingga usia lanjut. Melalui program tersebut, semua kelompok umur masyarakat dapat mengenali berbagai bahan makanan gizi berimbang dengan lebih baik. Hal ini juga membuat masyarakat lebih bijak dalam berbelanja dan mengkonsumsi makanan sehari-hari.
Sejumlah cara di atas dapat menjadi pembelajaran untuk memperbaiki kondisi keterjangkauan pangan gizi berimbang di Indonesia. Upaya memaksimalkan produk pangan domestik menjadi solusi jitu, apalagi jika dilengkapi literasi masyarakat yang baik terhadap nutrisi dan makanan sehat yang tersedia.