Oli palsu kerap ditemukan beredar dengan meniru label SNI pada kemasan. Regulasi yang telah berjalan seakan tidak dapat membendung peredaran oli palsu itu.
Oleh
ADITYA DIVERANTA, HARRY SUSILO, FAJAR RAMADHAN, JOHANES GALUH BIMANTARA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Regulasi telah mengamanatkan pengawasan terhadap oli kendaraan yang beredar di pasaran. Namun, implementasinya dipertanyakan menyusul temuan investigasi Harian Kompas terkait begitu bebasnya penjualan oli palsu. Produk yang meniru merek resmi dijual secara leluasa, seakan tidak diawasi pemerintah.
Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 25 Tahun 2018 tentang Standar Nasional Indonesia untuk Pelumas Secara Wajib mengamanatkan pengawasan terhadap produk oli dan efektif berlaku pada 2019. Pasal 36 dalam regulasi itu menyebut adanya aktivitas pengawasan di pabrik dan koordinasi pengawasan di pasar dengan instansi terkait. Terdapat petugas yang ditunjuk untuk melakukan pengawasan yang disebut Petugas Pengawas Standar Industri (PPSI).
Selain itu, regulasi juga mengamanatkan ada pengawasan secara berkala minimal sekali dalam setahun. Ada pengawasan khusus berdasarkan laporan pelaku usaha dan masyarakat atau berdasarkan analisis data.
Meski begitu, keberadaan regulasi tersebut tetap tidak mampu membendung peredaran oli palsu. Penelusuran Kompas selama September-November 2022 menemukan, oli palsu dapat ditemukan dengan mudah pada sejumlah toko suku cadang serta bengkel di Jakarta, Tangerang, Bekasi, dan Semarang.
Pasal 27 dalam peraturan itu juga menyebutkan tentang kewajiban pembubuhan tanda “Standar Nasional Indonesia” atau SNI serta nomor seri pada kemasan. Pada praktiknya, Kompas menemukan setidaknya sepuluh oli palsu yang juga mencantumkan logo SNI pada bagian belakang labelnya. Letak dan bentuk logo SNI tersebut mirip dengan logo SNI yang tertera pada produk asli.
Salah satu tersangka pemalsuan oli yang diringkus Polsek Bekasi Timur pada akhir Agustus lalu, MS (28), mengaku mudah mendapatkan botol dan label oli palsu secara daring. Jangankan memesan label yang berlogo SNI, penjual bahkan bisa membuatkan label yang dilengkapi dengan kode keamanan dari pemegang merek.
"Iya yang di-scan bisa. Kita tinggal minta pengin (yang bisa) di-scan atau enggak, yang dapat gambar apa enggak," ungkapnya.
Padahal, oli palsu yang diproduksi oleh MS jelas tidak memenuhi standar oli untuk kendaraan. Meskipun MS menggunakan oli SAE-40 sebagai bahan baku, namun dia tidak menambahkan zat aditif di dalamnya.
"Itulah kemudian pelumas palsu sulit sekali diberantas. Meski ada ketentuan SNI, tapi apa daya kalau semuanya sampai kode SNI-nya pun dipalsukan," (Tri Yuswidjajanto)
Ketua Umum Masyarakat Pelumas Indonesia (MASPI) Tri Yuswidjajanto menjelaskan, dalam banyak kasus, pelumas palsu adalah oli bahan dasar yang tidak diberi tambahan sejumlah zat aditif seperti pada oli berstandar resmi. Itu yang membuat oli palsu kerap ditemukan dengan harga murah.
Adanya wajib SNI sejak 2019 semestinya memberantas masalah oli palsu. Oli memiliki SNI yang didapat dari hasil pengujian di laboratorium. Meski begitu, pada banyak oli palsu, label serta tanda itu pun dipalsukan.
"Itulah kemudian pelumas palsu sulit sekali diberantas. Meski ada ketentuan SNI, tapi apa daya kalau semuanya sampai kode SNI-nya pun dipalsukan," ucap Tri.
Ketua Bidang Pengaduan dan Hukum YLKI Sularsi memandang, pengawasan terhadap produk oli itu masih sangat minim. Terutama ketika produk palsu itu telah beredar di pasaran, kerap ditemukan label palsu yang sangat mirip dengan merek resmi.
“Di Indonesia, labeling (produk) itu kan, mudah sekali. Hanya dilabel atau diberi stiker bahwa produk ini orisinal. Itu yang terjadi,” jelas Sularsi.
Ketua Asosiasi Pelumas Indonesia (Aspelindo) Andria Nusa mengatakan, diberlakukannya wajib SNI pada produk pelumas tidak secara otomatis memberantas peredaran oli palsu di pasaran. SNI hanyalah sebuah instrumen untuk menjamin mutu suatu produk, bukan untuk memastikan keaslian produk tersebut.
Para pemalsu kini kian lihai dalam memproduksi produk tiruan, termasuk membuat botol dan label yang menyerupai produk aslinya. Tidak mengherankan apabila produk oli palsu yang beredaran di pasaran saat ini juga dilengkapi dengan label SNI.
"Nah kalau dia mau memalsukan (oli) pakai label SNI ya bisa-bisa aja. Cetak sendiri (labelnya)," katanya.
"Yang jadi masalah itu adalah penerapan hukumnya. Pengawasan dan ketegasan hukum. Itu yang menjadi masalah. Kalau aturan-aturannya kami melihat sudah lengkap," (Andria Nusa)
Menurut Andria, hal ini bisa terjadi salah satunya karena pengawasan yang diterapkan oleh pemerintah masih lemah. Padahal, aturan yang membahas tentang SNI dan pemalsuan pada produk pelumas telah disusun secara lengkap.
"Yang jadi masalah itu adalah penerapan hukumnya. Pengawasan dan ketegasan hukum. Itu yang menjadi masalah. Kalau aturan-aturannya kami melihat sudah lengkap," tambahnya.
Kepala Pusat Pengawasan Standardisasi Industri dari Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri (BSKJI) Kementerian Perindustrian, Sopar Halomoan Sirait, mengatakan, pengawasan produk telah dilakukan secara berkala dari proses produksi hingga pengambilan sampel uji untuk mengetahui produk sesuai standar. Namun, menurut dia, perlu ada dukungan dari pengawasan oleh pihak-pihak terkait yang juga memiliki kewenangan.
“SNI wajib pelumas perlu didukung oleh penerapan instrumen-instrumen lainnya serta pengawasan dari pihak-pihak terkait yang juga memiliki kewenangan,” jelasnya dalam keterangan tertulis.