Kerugian Beruntun Akibat Oli dan Suku Cadang Palsu
Masifnya peredaran oli dan onderdil kendaraan bermotor palsu tidak hanya merugikan konsumen, tetapi juga memicu kerugian beruntun terhadap bisnis oli dan suku cadang resmi.
Oleh
ADITYA DIVERANTA, FAJAR RAMADHAN, JOHANES GALUH BIMANTARA, HARRY SUSILO
·4 menit baca
JOHANES GALUH BIMANTARA
Sisa-sisa pembuatan oli palsu di rumah Jalan Kayumas Timur Nomor 28, Tanah Mas, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang, Selasa (18/10/2022). Rumah produksi itu merupakan satu dari tiga tempat pembuatan oli palsu di Semarang yang dimiliki DKA alias Agung dan sudah digerebek personel Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Jawa Tengah.
JAKARTA, KOMPAS – Pelumas dan suku cadang kendaraan bermotor palsu yang beredar secara luas di pasaran telah menggerus pendapatan produsen resmi. Tidak hanya itu, terdapat potensi kerugian lanjutan dari sisi upah pegawai, tenaga kerja yang diberdayakan, serta penerimaan pajak untuk negara yang hilang
Berdasarkan studi Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) dan Institute for Economic Analysis of Law and Policy Universitas Pelita Harapan (IEALP UPH) terkait praktik pemalsuan pada tahun 2020, nilai pemalsuan pelumas dan suku cadang selama tahun 2020 mencapai Rp 28,8 triliun. Angka tersebut relatif besar dibandingkan kerugian ekonomi dari komoditas lain, seperti pemalsuan kosmetik yang ditaksir mencapai Rp 17,2 triliun.
Laporan berjudul "Studi Dampak Ekonomi dari Pemalsuan dan Pembajakan di Indonesia tahun 2020" tersebut menghitung sejumlah data yang didapat dari asosiasi produsen, pihak pemegang merek, serta dari Badan Pusat Statistik. Suku cadang dan oli merupakan salah satu dari delapan komoditas yang dianggap paling sering dipalsukan di Indonesia.
Studi ini lebih lanjut merinci potensi kerugian lanjutan (potential loss) yang mungkin terjadi, melihat pada tiga komponen yakni upah, penerimaan pajak, serta tenaga kerja. Dari penghitungan yang dilakukan, potensi kerugian lanjutan kepada komponen upah mencapai Rp 5,8 triliun, pajak sebesar Rp 158 miliar, dan sebanyak 217.523 tenaga kerja.
"Dampak ikutan dari pemalsuan, seperti hilangnya lapangan kerja serta penerimaan pajak kerap luput diperhitungkan. Padahal, suatu praktik pemalsuan menyebabkan rugi besar yang bisa dirunut hingga ke penerimaan negara," (Justisiari)
Direktur Eksekutif Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) Justisiari Kusumah menuturkan, ihwal kerugian nyatanya tidak berhenti saat seorang konsumen tertipu membeli produk palsu. Peredaran barang terlarang itu turut menciptakan rantai panjang kerugian yang dirasakan pada level produsen hingga pemerintah.
Polsek Bekasi TImur menangkap empat pemalsu oli di Bekasi Timur pada 25 Agustus 2022 di Kelurahan Mustikasari, Kec. Mustikajaya Kota Bekasi. Foto diambil pada hari Jumat. (7/10/2022). Beberapa barang bukti seperti botol oli motor dan mobil, alat pengemasan, alat pres, alat penuang oli kedalam kemasan, drum-drum oli hingga kemasan dus oli menjadi barang bukti.
Dampak ikutan
Justisiari memandang, dampak kerugian bisa dilihat dari berapa banyak tenaga kerja, pendapatan, serta penerimaan pajak yang pupus karena praktik pemalsuan. Kendati begitu, belum pernah ada data resmi yang diumumkan pemerintah terkait dari praktik pemalsuan.
"Dampak ikutan dari pemalsuan, seperti hilangnya lapangan kerja serta penerimaan pajak kerap luput diperhitungkan. Padahal, suatu praktik pemalsuan menyebabkan rugi besar yang bisa dirunut hingga ke penerimaan negara," jelas Justisiari.
Ketua Program Studi Doktor Hukum UPH Henry Soelistyo Budi, yang juga bagian dari tim periset, menjelaskan, tiga komponen potensi kerugian lanjutan menandai signifikansi kerugian ekonomi yang terjadi. Artinya, ada potensi nominal upah tertentu yang semestinya dibayarkan untuk sekian banyak tenaga kerja, tetapi itu tidak terjadi.
Potensi upah yang tidak diserap kemudian menghilangkan lapangan kerja. Sejumlah orang yang mestinya menjadi tenaga kerja formal kemudian menjadi tenaga kerja informal lantaran bekerja bagi entitas pemalsu produk. Hal tersebut pun pada akhirnya berdampak bagi penerimaan negara.
“Sekian tenaga kerja yang mestinya bekerja pada produsen resmi lenyap akibat adanya industri pemalsuan. Padahal, keberadaan tenaga kerja itu bisa menjadi daya dukung untuk perekonomian. Tetapi, hal itu tidak terjadi,” ungkap Henry.
Sejumlah barang bukti berupa oli palsu dan stiker kemasan dipajang di Polsek Bekasi Timur, Kota Bekasi, Jawa Barat, pada Jumat (7/10/2022). Barang bukti tersebut disita polisi dari tersangka pemalsuan oli di Mustikajaya, Kota Bekasi.
Pengguna sepeda motor
Ketua Asosiasi Pelumas Indonesia (Aspelindo) Andria Nusa membenarkan masifnya pemalsuan oli kendaraan. Pemalsuan oli, terutama untuk kendaraan roda dua, diduga lebih masif karena penggunanya sangat banyak.
Andria menambahkan, yang membuat pelik masalah oli palsu adalah konsumen kerap ceroboh dan tidak peduli. Sebagian konsumen sekadar mencari harga murah, namun tidak menyadari bahwa barang palsu yang mereka gunakan turut merusak kendaraan.
“Memakai oli palsu memang dampaknya tidak seperti minum racun yang langsung mematikan. Itu berdampak jangka panjang. Mesin kendaraan yang mestinya bisa awet hingga 10 tahun, gara-gara oli palsu jadi sudah mulai ngadat di tahun kelima," tuturnya.
“Yang jadi korban ujung-ujungnya adalah konsumen.” (Justisiari)
Sepengetahuan Andria, sebagian besar kasus oli palsu yang beredar didominasi oleh penggunaan ulang oli bekas. Pemalsu biasanya menadah dan mengolah oli bekas dalam kemasan baru milik agen pemegang merek tertentu.
“Memang sekarang sudah ada teknologi mengolah kembali pelumas bekas menjadi bahan dasar pelumas yang lebih bagus, tapi teknologi itu mahal dan masih terbatas. Sementara, pemalsu ini menggunakan dan mengemas ulang oli bekas menjadi baru,” jelas Andria.
ADITYA DIVERANTA
Antrean sepeda motor di bengkel kawasan Kembangan, Jakarta Barat, Senin (17/10/2022).
Terkait pemalsuan oli dan suku cadang kendaraan, salah satu yang marak dipalsukan adalah oli sepeda motor. Ini tak terlepas dari besarnya pasar pengguna sepeda motor di Indonesia. Berdasarkan data Korps Lalu Lintas Polri hingga Sepetember 2022, jumlah sepeda motor di Indonesia mencapai 120 juta unit.
Meski dampak pemalsuan bisa meluas, konsumen tetaplah menjadi pihak yang paling dirugikan di rantai terbawah. Justisiari memandang penanganan masalah pemalsuan ini penting karena tidak hanya produsen merugi, tetapi konsumen juga merasakannya. Konsumen justru merasakan dampak paling besar karena kendaraan yang digunakan adalah alat untuk bermobilitas sehari-hari.
“Ya, yang jadi korban ujung-ujungnya adalah konsumen. Ada dilema di masyarakat, membeli yang palsu karena terimpit situasi keuangan,” kata dia.