Investasi awal yang sangat besar dalam membangun industri bus listrik mengganjal program elektrifikasi angkutan massal ini. Operator bus mengeluarkan biaya lebih besar dibanding bus biasa.
Oleh
MARGARETHA PUTERI ROSALINA, SATRIO PANGARSO WISANGGENI, ALBERTUS KRISNA
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Penggunaan bus listrik sebagai angkutan umum massal menjadi bagian dari ambisi pemerintah untuk bertransisi ke kendaraan listrik. Namun, ada tantangan dalam wujud biaya investasi yang besar di awal untuk pembelian unit kendaraan.
Sejumlah kebijakan telah dikeluarkan untuk memulai operasi bus listrik di Indonesia. Contohnya, pemerintah pusat berencana mengoperasikan 30 bus listrik buatan PT INKA untuk perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi G-20 di Bali, 15–16 November mendatang.
Setelah acara KTT selesai, 30 bus bernama Bus Merah Putih tersebut akan dikirimkan ke Surabaya dan Bandung untuk menjadi armada bus kota buy the service bersama 24 bus listrik tambahan.
Ini akan mengawali kebijakan Kementerian Perhubungan yang menargetkan 90 persen armada angkutan umum di Indonesia bakal berbasis baterai pada 2030.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun telah memulai operasi bus listrik. Saat ini PT Mayasari Bhakti sebagai salah satu operator Transjakarta telah mengoperasikan 30 unit bus listrik. Bus tersebut telah melayani penumpang di dua koridor sejak 7 Juni 2022.
Efisiensi biaya operasi dan kebebasan dari fluktuasi harga bahan bakar minyak menjadi keunggulan operasi bus listrik. Namun, analisis Kompas menunjukkan bahwa harga bus listrik yang tinggi kemungkinan menjadi ganjalan bagi otoritas yang berniat melakukan elektrifikasi armadanya.
Dengan menghitung feasibility penggunaan bus listrik sebagai armada angkutan umum, ditemukan bahwa biaya operasi bus listrik telah hampir menyamai tingkat keekonomian yang ditawarkan armada eksisting, yakni bus berbasis bahan bakar minyak (BBM).
Efisiensi biaya operasi dan kebebasan dari fluktuasi harga bahan bakar minyak menjadi keunggulan operasi bus listrik. Namun, analisis Kompas menunjukkan bahwa harga bus listrik yang tinggi kemungkinan menjadi ganjalan bagi otoritas yang berniat melakukan elektrifikasi armadanya
Menggunakan sampel bus listrik BYD K9 yang dioperasikan oleh Mayasari Bakti untuk sejumlah rute Transjakarta, ditemukan bahwa total biaya investasi bus listrik untuk 1 rute pelayanan selama 10 tahun — durasi kontrak buy the service — membutuhkan dana Rp 93,5 miliar.
Jumlah ini masih lebih mahal Rp 10 miliar dibandingkan simulasi biaya investasi total operasi bus diesel Scania K250UB yang diperkirakan mencapai Rp 83,08 miliar.
Skenario kalkulasi ini menggunakan sejumlah asumsi, antara lain, rute simulasi membutuhkan 16 unit bus yang beroperasi dari pukul 05.00 hingga 22.00 WIB. Jarak tempuh bus dalam sehari 225 km dalam rute sepanjang 32 km.
Jika dirinci, total biaya pembelian satu unit dan operasi selama 10 tahun untuk bus listrik BYD K9 mencapai Rp 5,85 miliar. Untuk bus diesel Scania K250UB, biayanya mencapai Rp 5,2 miliar
Infografik Perbandingan Biaya Bus Listrik dan Bus BBM
Besar di awal
Ketika dibedah, ada sejumlah perbedaan signifikan dalam struktur ongkosnya. Penggunaan bus listrik membutuhkan investasi awal yang jauh lebih besar ketimbang bus bermesin diesel. Sebab, harga bus listrik bisa mencapai 2 kali lipat dari harga bus diesel.
Berdasarkan E-Katalog Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), bus Scania K250UB berbanderol Rp 2,4 miliar. Sementara itu, menurut keterangan Transjakarta di sejumlah pemberitaan, harga BYD K9 mencapai Rp 5 miliar.
Namun, biaya investasi yang mahal di awal ini lalu tertutup dengan ongkos operasional bus listrik yang jauh lebih murah ketimbang bus diesel.
Ongkos energi untuk satu unit bus listrik setiap harinya hanya Rp 232 ribu, atau sekitar sepertiga dari bus diesel yang dapat mencapai Rp 765 ribu. Ini karena tarif listrik yang jauh lebih murah dibandingkan harga solar.
Dengan tarif listrik Rp 796 per kWh, ongkos perjalanan bus listrik sejauh 1 km membutuhkan biaya Rp 1.032 per kilometer. Di sisi lain, bus diesel memiliki ongkos energi sebesar Rp 3.400 per kilometer.
Bus medium
Sementara itu, biaya operasional bus listrik Merah Putih buatan INKA masih lebih mahal dibandingkan bus diesel medium sekelasnya, Hino FB 130 dengan asumsi setiap hari menempuh jarak 150 km.
Satu unit bus listrik berkapasitas tempat duduk 20 orang ini memiliki biaya investasi awal dan operasional selama 10 tahun yang dapat mencapai Rp 3,87 miliar. Angka ini 76,9 persen lebih mahal ketimbang modal awal dan operasi bus diesel yang di kisaran Rp 2,8 miliar.
Ongkos energi untuk satu unit bus listrik setiap harinya hanya Rp 232 ribu, atau sekitar sepertiga dari bus diesel yang dapat mencapai Rp 765 ribu. Ini karena tarif listrik yang jauh lebih murah dibandingkan harga solar
Ongkos energi bus listrik INKA yang bahkan lebih efisien ketimbang bus listrik BYD, yakni Rp 687 per km, tidak mampu mengompensasi modal awal pengadaan bus listrik yang jauh lebih mahal ketimbang bus diesel Hino. Bus Merah Putih INKA dijual dengan harga Rp 3,5 miliar atau hampir 3,7 kali lipat dari harga bus Hino yang berbanderol Rp 950 juta menurut e-Katalog dari LKPP.
Project Manager PT INKA, Edi Winarno mengakui bahwa sekarang modal awal mengoperasikan bus listrik masih tergolong mahal. Meski demikian, Edi yakin kelak akan lebih terjangkau. “Tapi nanti kalau sudah mass production, akan lebih murah,” tambahnya.
Selain modal awal pembelian unit bus yang masih mahal, penggunaan bus listrik juga mensyaratkan investasi yang besar di sisi infrastruktur. Sebab perlu ada pembangunan charging station yang jumlahnya tidak sedikit.
Direktur PT Transjakarta Mochamad Yana Aditya mengakui, harga bus listrik masih mahal. Untuk itu harus didukung industri komponen bus listrik dalam negeri. Kalau ada industri pendukung, tingkat komponen dalam negeri (TKDN) bisa lebih tinggi dan harga bus bisa lebih murah.
Direktur Operasi PT Mayasari Bakti, Akhmad Zulkifli mengatakan, biaya energi bus listrik lebih murah ketimbang diesel. Namun, memang harga beli unit bus listrik jauh lebih mahal ketimbang bus diesel.
“Jadi kami semua sedang mengkaji, belum bisa bilang apakah bus listrik lebih bagus begitu saja,” kata Akhmad.
Operasi bus listrik juga membutuhkan investasi awal yang besar. Akhmad menyebut, Mayasari sudah memiliki 10 dispenser pengisian baterai untuk operasi 27 dari 30 bus BYD K9 yang mereka operasikan. Rasio SPKLU yaitu 1 banding 3 atau satu dispenser diharapkan bisa untuk 3 pengisian bus.
Selain itu, harga pembangunan SPKLU juga tidak murah. “Ini kisarannya SPKLU antara Rp 9–10 miliar untuk 10 unit. Masing-masing Rp 1 miliar,” ungkap Zulkifli.
Elektrifikasi
Kepala Divisi Sekretaris Perusahaan Transjakarta Anang Rizkani Noor mengatakan, Transjakarta tidak hanya mengganti bus berbahan bakar fosil menjadi berbasis listrik, namun juga akan menambah jumlah unit kendaraan yang akan melayani pengguna transportasi umum Jakarta.
Pada 2030, ditargetkan seluruh armada Transjakarta akan berbasis listrik. “Saat ini dalam armada kami, ada sekitar 4.000 kendaraan. Pada 2030, jumlahnya akan menjadi 10.000 dan semua (berbasis) listrik,” kata Anang.
Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno menilai ada sisi positif besar dari elektrifikasi bus angkutan umum yakni kendaraan tidak mengeluarkan gas buang sehingga udara perkotaan lebih bersih.
Djoko berharap program elektrifikasi yang dicanangkan pemerintah pusat dan Pemprov DKI Jakarta dapat meningkatkan minat masyarakat untuk menggunakan transportasi publik.
Ia khawatir, investasi awal yang besar untuk elektrifikasi armada tidak mampu meningkatkan minat masyarakat untuk menggunakan transportasi umum dan justru makin membebani pemerintah.
“Itu yang harus dipikirkan, Percuma kalau gagal memindahkan masyarakat ke angkutan umum,” kata Djoko.