Belajar Pembiayaan Pendidikan Tinggi yang Lebih Baik dari Negara Tetangga
Meski terus meningkat dari tahun ke tahun, tapi akses kuliah di Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI, ALBERTUS KRISNA, M PUTERI ROSALINA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Menurut data Statistik Pendidikan Tinggi (2020) angkanya sebesar 36,16 persen atau setara 7,9 juta mahasiswa terdaftar diploma dan sarjana dari 22,1 juta penduduk usia 19-23 tahun. Angka itu menjadi pencapaian yang baik jika dibandingkan tahun 2016 yang masih 31,61 persen.
Meski terus meningkat dari tahun ke tahun, tapi akses kuliah di Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga. Data Bank Dunia menunjukkan, di tahun 2020 APK kuliah Indonesia berada di peringkat keempat di ASEAN setelah Singapura sebesar 91 persen, Thailand 49 persen, dan Malaysia 43 persen.
Pada tahun 2011 lalu Malaysia juga pernah memiliki angka partisipasi sama dengan Indonesia, yakni 36 persen. Bahkan jika menengok lebih jauh lagi, di tahun 1995 angka partisipasi kuliah kedua negara ini masih sama yaitu 11 persen.
Sementara, era tahun 1970-an, hampir semua guru-guru di Malaysia dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, didatangkan dari Indonesia. Sebaliknya, tahun 1990-an, banyak mahasiswa Indonesia mengambil program doktoral di Malaysia.
Apa yang membuat Malaysia bisa meningkatkan kualitas pendidikan dan menaikkan angka partisipasi kuliah?
Malaysia melakukan sejumlah strategi untuk memperbaiki kualitas pendidikan. Berawal dari visi pendidikan yang melihat ilmu pengetahuan sebagai industri yang memerlukan investasi.
Pemerintah negeri jiran menganggarkan dana cukup besar untuk pendidikan tinggi mencapai Rp 38 triliun atau 8 persen dari anggaran Malaysia tahun 2010. Sementara, Indonesia baru mengalokasikan Rp 22,9 triliun atau 2,3 persen dari APBN 2010.
Agar dana tersebut dapat dikelola lebih baik, sejak tahun 1997 Pemerintah Malaysia membentuk Perbadanan Tabung Pendidikan Tinggi Nasional (PTPTN) . Lembaga ini di bawah Departemen Pendidikan Tinggi yang memberikan pinjaman bersubsidi untuk siswa di lembaga swasta. Baru tahun 2000, jangkauan pinjaman diperluas ke mahasiswa di perguruan tinggi negeri.
Malaysia melakukan sejumlah strategi untuk memperbaiki kualitas pendidikan. Berawal dari visi pendidikan yang melihat ilmu pengetahuan sebagai industri yang memerlukan investasi
Bantuan yang diterima cukup besar. Diketahui dari tahun 1997-2005, PTPTN telah mengeluarkan dana Rp 50,8 triliun untuk sekitar 800 ribu siswa. Angka ini setara dengan Rp 5,6 triliun untuk sekitar 90 ribu siswa setiap tahunnya.
Di balik besarnya bantuan itu, masih ada kendala yang dihadapi yaitu tingkat kepatuhan lulusan yang masih rendah dalam membayar pinjaman. Lembaga PTPTN mencatat, hanya 25 persen dana yang kembali dari total pinjaman yang sudah diberikan.
Pembelajaran serupa juga dapat dipetik dari Pemerintah India. Tahun 1980-an, sekitar tiga perempat dari total pengeluaran pendidikan tinggi di India ditanggung pemerintah.
Kala itu biaya operasional sekolah dan sumbangan lainnya bersifat sukarela. Kebijakan terus bertransformasi. Hingga kini ada beasiswa dan pinjaman pendidikan bersubsidi dengan bantuan jaminan kredit dari pemerintah pusat.
Dana pinjaman pendidikan yang sudah dikeluarkan juga besar. Tahun 2019, ada 250 ribu mahasiswa peminjam di India dengan total dana yang dikeluarkan sebesar Rp 46,4 triliun. Jumlah pinjaman ini meningkat 33,9 persen dibandingkan tahun 2016 yang masih sebesar Rp 34,6 triliun.
Kebijakan itu membuat akses masyarakat pada pendidikan tinggi terus naik, meski angkanya masih rendah. Sebagai catatan, angka partisipasi kuliah di India tahun 1995 sebesar 6 persen dan tahun 2020 menjadi 29,4 persen.
Kondisi ini diperparah oleh banyaknya tren anak muda di India khususnya dari kalangan ekonomi menengah ke atas lebih menyukai belajar di luar negeri.
Prioritas
Peningkatan akses dan kualitas pendidikan tinggi juga memerlukan konsistensi pemerintah. Hal ini yang diterapkan Australia yang konsisten meletakkan pendidikan sebagai prioritas utama, meski berulangkali berganti perdana menteri.
Salah satu kebijakan yang masih berlangsung beberapa dekade terakhir adalah program Higher Education Contribution Scheme (HECS). Melalui program yang dikenalkan sejak tahun 1989 ini, Pemerintah Australia memudahkan akses warganya untuk menjangkau pendidikan tinggi. Hingga 2020, APK kuliah negara ini mencapai 114 persen.
HECS atau kini disebut Higher Education Loan Program (HELP) merupakan subsidi silang. Biaya kuliah dibebankan mereka yang mampu membayar biaya kuliah. Sedangkan bagi mereka yang tidak mampu, diberikan pinjaman pemerintah dan dapat dibayar dengan mencicil setelah lulus dan mendapatkan kerja.
Hingga tahun 2019 ada 2,8 juta mahasiswa penerima program ini dengan pinjaman maksimal setiap orang antara Rp 50 juta-Rp 200 juta per tahun sesuai program studi.
Pemerintah Indonesia juga membebankan biaya kuliah bagi mahasiswa yang mampu. Biaya kuliah di perguruan tinggi negeri menggunakan sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang besarannya berbeda sesuai dengan jalur masuk serta penghasilan orang tua.
Adapun bagi mahasiswa yang tidak mampu, pemerintah Indonesia memiliki beberapa bantuan biaya kuliah, walau belum ada yang berupa pinjaman kuliah. Salah satunya Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) untuk mahasiswa tidak mampu. Tahun 2021 lalu pemerintah melalui Puslapdik Kemendikbudristek menargetkan 200 ribu mahasiswa penerima bantuan ini dengan anggaran Rp 2,5 triliun.
Selain KIP-K, ada juga beasiswa jalur prestasi. Diantaranya Beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dari Kementerian Keuangan. Total dana yang dikelola LPDP sejak 2016-2021 sebesar Rp 99 triliun untuk 29.872 mahasiswa.