Sebelum lahir konsep mengenai batas-batas kawasan hutan konservasi, kita telah mengenal sistem serupa yang berbasis kearifan lokal. Patanjala, salah satunya.
Pegiat Patanjala memainkan iringan Kidung Pangauban dengan alat musik Karinding di Desa Laksana, Ibun, Kabupaten Bandung, 7 Februari 2015. Kidung Pangauban itu adalah musik pengiring selama proses penanaman tanaman endemik yang menjadi batas area hutan larangan, tutupan, dan baladahan menurut kearifan lokal Patanjala.
Sebelum lahir konsep mengenai batas-batas kawasan hutan konservasi, kita telah mengenal sistem serupa yang berbasis kearifan lokal. Patanjala, salah satunya.
Patanjala mengajarkan manusia agar menjaga kawasan aliran sungai. Hal itu pun terus dilestarikan sekelompok orang hingga kini demi kelangsungan hidup.
Patanjala adalah kearifan lokal Sunda yang telah tertulis dalam naskah kuno Amanat Galunggung, ditemukan di Situs Ciburuy di kaki Gunung Cikuray, Kabupaten Garut. Rachmat Leuweung dari Komunitas Cimanuk Hulu pernah menjelaskan, berdasarkan catatan sejarah Kerajaan Sunda, naskah-naskah Amanat Galunggung itu dibuat oleh Eyang Prabu Darmasiksa, raja di Kerajaan Sunda, abad ke-13 (Kompas, 22/9/2018).
Patanjala berasal dari kata "patan" yang berarti air, dan "jala" yaitu sungai atau wilayah yang harus dijaga sebagai kabuyutan (situs leluhur). Leluhur Sunda telah membagi wilayah sungai menjadi empat kawasan, yaitu walungan (sungai induk), wahangan, solokan, dan susukan atau sungai-sungai kecil.
Kawasan hutan alam juga dibagi menjadi leuweung larangan, leuweung tutupan, serta lahan baladahan. Leuweung (hutan) larangan dan leuweung tutupan adalah area hutan yang tidak boleh dirambah untuk kepentingan apa pun. Sementara, hanya lahan baladahan yang boleh dijadikan area untuk budidaya pertanian.
Dalam tradisi Sunda, kabuyutan adalah situs yang harus dipelihara dan dilestarikan. Dalam naskah Galunggung disebutkan, siapa yang tidak bisa memelihara kabuyutan, derajatnya lebih buruk dari kulit musang yang dibuang di tempat sampah.
Menjaga kelestarian
Prinsip menjaga kelestarian itu dijunjung tinggi sejumlah pegiat Patanjala saat ini. Anwar Maulana (48) yang menekuni Patanjala sejak 2009, berusaha tetap menjaga kawasan leuweung larangan, leuweung tutupan, dan lahan baladahan di kewilayahan aliran sungai atau yang disebutPangauban Cimanuk.
Sukarelawan Patanjala di Pangauban Cimanuk turut memelihara tanaman-tanaman keras sebagai batas kawasan leuweung larangan, leuweung tutupan, dan lahan baladahan. Tanaman keras dipilih dari pohon endemik di lingkungan setempat sekaligus berfungsi sebagai batas kawasan.
Menurut Anwar, leuweung larangan adalah kawasan yang tidak perlu diintervensi oleh manusia. “Dalam konsep Patanjala, leuweung larangan ini akan pulih sendiri tanpa diurusi oleh manusia. Tugas kita adalah menjaga agar kawasan itu tidak dicampuri tangan manusia,” ungkapnya.
Leuweung larangan dan leuweung tutupan punya fungsi sebagai penghasil sumber air yang berkelanjutan selain pengendali iklim mikro.
Meski begitu, pada sejumlah area yang ditetapkan leuweung larangan kerap terjadi aktivitas perambahan. Anwar menjelaskan, kondisi itu dalam konsep Patanjala dikenal sebagai lara atau kritis.
KOMPAS/DEDI MUHTADI
Para sukarelawan lingkungan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk menggelar pertunjukan musik tradisional Sunda, karinding, di Bukit Tanjung, Desa Pakualam, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Jumat (31/8/2018). Perhelatan sederhana di perbukitan Waduk Jatigede itu dalam rangka gelar budaya untuk melestarikan kearifan lokal patanjala, konsep pengelolaan DAS warisan leluhur Sunda.
Agus Ridwan (42), sukarelawan Patanjala incu putu Cisangkan, berpandangan bahwa dengan batas kewilayahan dari Patanjala, dirinya jadi sadar tentang hak-hak manusia di wilayah hutan alam. Konsep hutan alam, manusia, dan makhluk di sekitarnya, harus berjalan selaras dan tidak saling mengganggu. “Dari Patanjala, kita tahu sebenarnya hak manusia itu ada di mana. Ketika manusia berusaha menyelaraskan diri dengan alam, maka alam pun akan kembali mengasihi. Saling memberi secara timbal-balik, menjadi keseimbangan dan keselarasan,” jelas Agus.
Begitu pula Caca, Sukarelawan Kelompok Pangauban Citarum di Desa Laksana, Ibun, Kabupaten Bandung. Dia yang menekuni Patanjala sejak 2016 berprinsip menjaga lingkungan sebagai bentuk kesadaran. Keseimbangan alam itu perlu dijaga karena apa yang terjadi di alam juga akan memengaruhi masyarakat.
“Jika alam tidak seimbang, pada akhirnya itu juga akan menjadi penyakit di masyarakat. Bisa jadi (penyakitnya) kembali ke masyarakat dalam bentuk bencana banjir atau musibah kekeringan,” ujarnya.
Tokoh Sunda dari Majelis Cendekiawan Keraton Nusantara, Darma S Natarapraja, mengatakan, gelar budaya patanjala adalah peringatan terhadap semua pihak agar kembali menghormati air (Kompas, 22/9/2018). Begitu pula kawasan hutan alam yang berfungsi menjadi sistem penyangga kehidupan. Kearifan lokal itu perlu dijaga sebagai pengetahuan bersama sehingga kawasan hutan tetap terjaga.