Banjir Bandang dan Trauma yang Terus Membekas di Benak Korban
Kerusakan hutan di kawasan konservasi dan hutan lindung ditengarai turut memicu bencana banjir bandang di Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung dalam beberapa tahun terakhir. Warga tak bersalah harus terkena imbasnya.
Selasa, 20 September 2016 sekitar pukul 23.00, Bayu Prayoga (23) terbangun oleh teriakan sang ibu yang bersahutan dengan gemuruh air dari luar rumah. Bayu bergegas naik ke loteng sesaat sebelum air bah menggenangi bagian bawah rumahnya. Sesampainya di atas, dia berpegangan tangan dengan ibu dan adiknya sambil mengucap istighfar dalam hati.
Dalam hitungan menit banjir bandang dari Sungai Cimanuk, Kabupaten Garut, Jawa Barat itu merobohkan seluruh bangunan rumahnya. Ketiganya terlempar ke dalam air. Bayu terlepas dari pegangan sang ibu dan terseret arus banjir hingga ratusan meter. Dia tersangkut pada bangunan sekolah sebelum ditemukan oleh tim SAR beberapa jam kemudian.
"Allahu Akbar, kata-kata terakhir ibu. Setelah itu saya terlepas dari pegangan ibu dan adik karena licin. Semuanya gelap karena saya tenggelam ke dalam air bercampur tanah," ungkap Bayu ketika menceritakan kembali tragedi banjir bandang yang pernah dialaminya, Selasa (31/5/2022) siang.
Adik Bayu yang saat itu berusia 9 tahun ditemukan sehari pasca kejadian. Sementara sang ibu ditemukan pada hari ketiga di lokasi yang berjarak puluhan kilometer, tepatnya di Bendungan Jatigede, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Keduanya dinyatakan meninggal dunia.
Selain ibu dan adiknya, Bayu juga kehilangan adik tiri yang meninggal akibat tertimpa reruntuhan bangunan. Sementara ayah tiri Bayu yang selamat tak pernah lagi berkomunikasi dengannya semenjak kejadian. Bayu kini tinggal sebatang kara.
Kejadian banjir bandang enam tahun lalu itu terpatri dalam ingatan Bayu. Gelombang air bak ombak lautan yang meliuk-liuk dari sisi kanan ke kiri sungai malam itu sulit dia lupakan. Suara histeris permintaan tolong warga dibarengi gemuruh juga masih mengiang. Bahkan selama lebih dari setahun pasca kejadian, Bayu nyaris tak bisa tidur nyenyak.
"Saya tinggal di rumah wali kelas sampai lulus SMK. Kalau tidur selalu kebangun setiap mendengar suara-suara," ujar Bayu yang saat kejadian masih duduk di bangku kelas XI SMK.
Keluarga Bayu kala itu tinggal di bantaran Sungai Cimanuk, tepatnya di RT 02/01 Kelurahan Sukakarya, Kecamatan Tarogong Kidul, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Rumah yang hanya berjarak sekitar dua meter dari bibir sungai membuat mereka mustahil untuk menghindari terjangan banjir bandang.
Kini, kampung tersebut tak lagi berpenghuni dan berubah menjadi lahan kosong yang ditumbuhi dengan semak belukar. Sekitar puluhan meter dari lokasi bekas rumah Bayu, terdapat sebuah taman. Di tengahnya berdiri monumen peringatan banjir bandang Garut 2016.
Supriatna (53) yang saat kejadian tinggal di RT 01/01 Kelurahan Sukakarya menyebut banjir bandang tahun 2016 merupakan banjir terparah sejak pertama kali tinggal di sana tahun 2000. Sebelumnya, banjir dari luapan Sungai Cimanuk tidak pernah melewati betis orang dewasa. Sementara malam itu ketinggian air mencapai empat kali lipatnya.
Beruntung, Supriatna dan keluarga yang belum tertidur kala itu masih sempat menyelamatkan diri ke lokasi yang lebih tinggi. "Rumah rusak (diterjang banjir). Pohon bambu pada masuk ke dalam rumah. Kami (sekeluarga) lari ke jalan raya. Waktu itu air sudah segini (di atas perut)," katanya.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, banjir bandang Garut 2016 menyebabkan 34 orang meninggal dunia, 19 orang hilang, dan 6.361 orang mengungsi. Setidaknya 2.309 unit rumah mengalami kerusakan dari ringan hingga berat.
Selain curah hujan yang tinggi, BNPB menyebut banjir bandang disebabkan oleh rusaknya vegetasi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk dan anak sungainya. Hutan yang seharusnya dapat menyangga air hujan justru dialihfungsikan menjadi kebun sayuran.
Banjir Bandung
Tak hanya Bayu dan Supriatna yang terimbas bencana ekologis akibat alih fungsi lahan di kawasan hulu. Dua tahun setelah banjir bandang Garut, salah satu banjir terparah juga menerjang kawasan Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Banjir pada 22 Februari 2018 itu menyebabkan rumah Elis Rosmawati (48) di RT 03/04 Desa Talun, Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung, Jawa Barat terendam air setinggi 1,5 meter. Luapan air menjebol tembok pembatas rumahnya sekaligus merobohkan kanopi.
Rumah Elis hanya berjarak sekitar 10 meter dari bantaran Sungai Cipalemahan. Sungai itu merupakan salah satu sodetan dari Sungai Citarum. Saat banjir terjadi, beberapa warga menyaksikan debit air di Sungai Citarum tengah tinggi-tingginya pasca diguyur hujan deras sejak sore. Air dari sodetan pun meluap dan mulai membanjiri rumah warga sekitar pukul 22.00.
Hingga kini, Elis masih khawatir banjir serupa kembali terjadi. Setiap turun hujan deras pada malam hari, Elis memilih untuk tak tidur. Jika debit air sungai mendekati permukaan, Elis langsung menutup pintu pagar rumahnya menggunakan papan kayu untuk membendung air agar tidak masuk ke dalam rumah. Celah-celah papan ditutup menggunakan tanah yang dibungkus dalam karung.
"Kalau sudah naik airnya, langsung dipasang papannya. Pakai tanah liat pinggirnya. Biar enggak rembes," ujar Elis sambil menunjuk karung-karung berisi tanah di halaman rumahnya.
Perasaan was-was juga kerap membayangi Wilman Gugun Wiguna (42) setiap kali hujan deras turun. Pemilik bengkel sepeda motor di RT 03/12 Desa Majalaya, Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, ini khawatir banjir besar yang terjadi pada 2018 kembali terulang. Banjir setinggi hampir 1,5 meter kala itu merendam 16 unit sepeda motor yang berada di bengkelnya.
"Ada yang punya pribadi, ada yang punya orang. Punya pribadi lima unit. Alhamdulillah (yang punya sepeda motor) enggak apa-apa," katanya.
Sejak menetap di Majalaya pada 2005 Wilman mengaku kerap kebanjiran. Hanya saja banjir 2018 lalu tak pernah diduga sebelumnya. Tak seperti biasa, air dari Sungai Citarum yang berjarak sekitar 10 meter dari bengkelnya meluap berkali-kali.
"Biasanya air masuk sore, malam sudah surut. Waktu itu air masuk sore, subuh baru surut," katanya.
BNPB mencatat, banjir setinggi 30-200 sentimeter empat tahun silam itu melanda tujuh kecamatan di Kabupaten Bandung. Sedikitnya 9.938 rumah tergenang dan 29.814 jiwa terdampak.
Peneliti Senior Pusat Pengkajian, Perencanaan, dan Pengembangan Wilayah, IPB University Ernan Rustiadi menjelaskan, keberadaan hutan di kawasan hulu berperan penting dalam menyerap air hujan. Tanpa hutan, air hujan yang jatuh akan menjadi aliran permukaan dan segera menuju sungai. Hal ini dapat membuat debit air sungai melonjak signifikan dan akhirnya menyebabkan banjir.
"Kalau air banyak disimpan di dalam tanah, maka bisa berbakti untuk kehidupan lebih lama. Tetapi kalau langsung dikirim ke hilir, bisa menimbulkan bencana dulu, bahkan menimbulkan longsor dulu, menimbulkan banjir dulu, dan sebagainya," ujarnya.
Menurut Ernan, jenis vegetasi yang ideal di kawasan hulu adalah tanaman berakar dalam. Selain memiliki kemampuan menyerap air hujan lebih dalam, tanaman berakar dalam mampu mengikat tanah agar tak mudah longsor.
Longsor dan erosi yang terjadi di kawasan hulu dapat terakumulasi dan memicu terjadinya banjir bandang. Longsoran tersebut dapat menutupi aliran sungai. Jika terjadi hujan secara terus menerus, tutupan longsor akan jebol dan dapat mengalirkan air secara cepat.
"Tapi biasanya bertahap. Longsor, menutup sungai, jebol, membendung lagi di bawah. Bisa jadi faktor penahannya ada batuan yang ditebang atau batuan yang menggelincir. Pada satu saat mungkin membendungnya dengan skala yang besar dan itu yang menyebabkan banjir bandang," jelas Ernan.