Masyarakat seakan tak punya pilihan selain membalak dan merambah ke kawasan konservasi. Meski menghadapi risiko yang besar, mereka tetap melakukannya demi bertahan hidup.
Pohon-pohon besar dan tinggi berjajar di tepi Sungai Gambir, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Hutan semakin lebat dan rapat ke arah hulu sungai di perbukitan. Suara serangga bersahut-sahutan di kejauhan.
Rimba yang megah itu adalah Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang luasnya mencapai 1,389 juta hektar. Hutan hujan tropis itu wilayahnya membentang dari barat laut hingga tenggara Pulau Sumatera mencakup Sumbar, Jambi, Bengkulu, dan Sumatera Selatan.
TNKS merupakan benteng terakhir bagi berbagai jenis flora dan fauna endemis. Di sana tumbuh padma raksasa (Rafflesia arnoldii) dan bunga bangkai (Amorphophallus titanu) yang sangat langka.
TNKS juga menjadi habitat harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus), tapir (Tapirus indicus), beruang madu (Helarctos malayanus), macan dahan (Neofelis nebulosa), anjing liar asia (Cuon alpinus), Mentilin (Tarsius bancanus), dan Rangkong Badak (Buceros rhinoceros).
Karena kekayaannya itu, sejak 2004, TNKS dan dua taman nasional lain di Sumatera, yakni TN Gunung Leuser dan TN Bukit Barisan Selatan, diakui sebagai situs warisan dunia hutan hujan tropis oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan, Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).
Selasa (10/5/2022) sore, Ison (43) duduk di sebuah kedai kopi di tepi Sungai Gambir, membelakangi hutan TNKS yang menghampar sejauh mata memandang. Ia memesan teh panas, menyalakan rokok, lalu mulai bercerita.
"Sebenarnya enggak ada yang mau jadi pembalak karena nyawa taruhannya, tetapi mau gimana lagi itu demi untuk makan anak dan bini," ucap Ison.
Ison mulai sering menebang kayu di hutan TNKS sejak usia 17 tahun. Ia tidak suka disebut pembalak liar atau pencuri kayu, karena menurutnya warga sudah tinggal di sekitar hutan lama sebelum kawasan itu ditetapkan taman nasional.
Awalnya, Ison hanya menebang kayu di hutan untuk memenuhi kebutuhan material saat keluarganya membangun rumah. Namun, lama-lama, dia juga mulai sering diupah para cukong (pemilik pabrik pengolahan kayu ilegal) untuk pergi ke hutan menebang kayu.
Kayu yang biasa diambil adalah Meranti. Selain melelahkan, pembalak juga menanggung risiko besar saat mengambil kayu dari TNKS. Menurut Ison, ada beberapa pembalak tewas karena tertimpa pohon atau hanyut di sungai.
Ison juga pernah terluka karena terkena hantaman gergaji mesin yang terlempar saat sedang dipakai memotong pohon. "Kalau ada pilihan, mending kerja lain. (Hasil membalak hutan) enggak sebanding dengan risikonya. Yang untung besar cuma cukong," kata Ison.
Di kaki Gunung Kerinci, 85 kilometer dari kedai tempat Ison bercerita, seorang petani muda tengah menyemprot pestisida di ladang kentang. Pohon-pohon kering berdiri di antara tanaman kentang. Di situ terpaku sejumlah papan peringatan bahwa ladang itu ada di kawasan TNKS.
Nama daerah itu Kayu Aro yang terletak di Kabupaten Kerinci, Jambi. "Sebenarnya dilarang (berladang di sini). Tapi sejak kecil kami tahunya cuma soal bertani, enggak bisa kerja yang lain," kata Syahban.
Syahban mengaku, petugas TNKS pernah membagikan bibit pohon untuk ditanam di ladang warga agar lahan mereka kembali menjadi hutan. Namun, upaya penghijauan kembali tidak berhasil karena bibit pohon tersebut mati disemprot pestisida warga.
"Kalau ladang diubah lagi jadi hutan, terus kami kerja apa? Pokoknya kami ngeyel saja, karena hidup kami tergantung hasil bertani," ujarnya.
Kebutuhan ekonomi
Persoalan yang sama dihadapi HN, petani bawang di sekitar Puncak Rakutak, Desa Sukarame, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Setahun terakhir HN menggarap lahan di kawasan Cagar Alam Kawah Kamojang.
Meski menyadari aktivitasnya melanggar aturan, hal tersebut tetap dilakukan HN karena dia tak kebagian lahan di desanya. Ketimbang membeli lahan milik petani lain yang harganya mencapai puluhan juta per hektar, merambah kawasan cagar alam menjadi pilihan yang lebih realistis bagi HN. Setahun yang lalu, HN membuka lahan dengan bantuan dari petani lain. HN memberinya upah senilai Rp 100.000 perhari selama sebulan.
"Untuk 150 tumbak (2.100 meter persegi) ini modalnya Rp 15 juta mulai buka lahan sampai ke panen," katanya.
Sama halnya dengan HN, MI yang turut merambah ke dalam kawasan Cagar Alam Kawah Kamojang tak punya pilihan lain karena ketersediaan lahan semakin sedikit. “Ya kurang. Tanahnya tetap, masayarakatnya makin banyak. Sedangkan kami mayoritas petani. Jadi otomatis maksa masuk saja terus,” katanya.
Sementara lahan di hutan lindung yang bisa diolah melalui skema Pemanfaatan Hutan Bersama Masyarakat juga sudah dibagi seluruhnya.
Pelaksana Harian Kepala Balai Besar TNKS Teguh Ismail, Jumat (13/5/2022), mengatakan, pembalakan dan perambahan hutan erat kaitannya dengan kebutuhan ekonomi warga. Karenanya Balai Besar TNKS mengutamakan upaya pencegahan untuk menyelesaikan persoalan itu.
Teguh menjelaskan, sejak beberapa tahun belakangan kelompok masyarakat mulai dilibatkan dalam upaya penanaman hutan yang telah terdegradasi. Hal ini salah satunya telah mulai dilakukan di Desa Kebun Baru dan Desa Girimulyo, Kabupaten Kerinci.
"Kami bekerja sama dengan enam kelompok (masyarakat) di kedua desa itu. Setiap kelompok bekerja memulihkan 25 hektar hutan yang terdegradasi," katanya.
Teguh mengatakan terus berkoordinasi dengan Balai Pengelolaan Kawasan Hutan, Direktorat Jenderal Planologi, untuk mengecek ulang sejumlah batas-batas lokasi penting di kawasan TNKS. Untuk kawasan TNKS yang rawan dirambah, petugas juga telah memasang sejumlah patok penanda dan papan peringatan.
"Di Kabupaten Merangin dan Kerinci, kami menanam pohon jenis tertentu sesuai kesepakatan dengan masyarakat untuk menandai batas TNKS. Itu supaya batas hutan terlihat jelas dari udara dan bila dicek dengan citra satelit," ujarnya.
Pelaksana Harian Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jabar Himawan Sasongko mengatakan, perlu pendekatan khusus untuk menurunkan perambahan dari kawasan Cagar Alam Kawah Kamojang. Menurutnya, memenjarakan perambah yang merupakan masyarakat kecil bukanlah solusi terbaik.
"Jangan-jangan solusi bagi kita, itu masalah bagi mereka. Sama juga kebalikannya, solusi bagi mereka itu masalah bagi kita. Memang ada kemiskinan yang harus diatasi oleh berbagai pihak," katanya.