Mereka yang Terus Dihantui Banjir Bandang
Banjir bandang akibat kerusakan hutan di kawasan konservasi terus menghantui. Saat musim hujan tiba, warga di hilir kawasan konservasi was-was. Khawatir banjir kembali menerjang.
Eri Chan Pasnepil (42) berdiri di muka rumah yang sudah ditinggalkan lebih dari tiga tahun. Rumput liar menutupi dinding bagian depan rumah. Ia kesulitan memilih kata untuk mulai bercerita.
"Tiga tahun yang lalu, anak saya hampir mati di sini," kata Eri, Sabtu (7/5/2022).
Rumah papan beratap seng itu letaknya di Nagari Kampung Tengah, Kecamatan Ranah Ampek Hulu (Rahul) Tapan, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Butuh sekitar 6 jam perjalanan dari Kota Padang.
Rumah, sawah juga ladang warga di Nagari Kampung Tengah berjejer di sepanjang Sungai Batang Tapan yang hulunya ada di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Tak jauh dari kampung itu.
Sekilas Nagari Kampung Tengah terlihat biasa saja, seperti kampung-kampung kecil lain di tepi hutan. Namun, bila jeli melihat, rumah-rumah warga di sana memiliki kesamaan dalam beberapa hal.
Mereka menumpuk batu-batu sungai yang lumayan besar di depan rumah. Di dinding-dinding rumah warga juga terlihat garis kuning. Gelondongan kayu besar-besar juga terlihat berserak di beberapa sudut jalan.
Enggak sampai 10 menit air sudah datang, istri saya tak sempat kembali ke rumah. Rumah ini tenggelam dan cuma menyisakan atap
Warga setempat, Abu Yani (63), mengatakan, gelondongan-gelondongan kayu itu terbawa saat banjir melanda pada Desember 2021. Tahun lalu, Kecamatan Rahul Tapan dilanda empat kali banjir bandang.
"Garis kuning di dinding rumah itu bekas air banjir kemarin. Kalau batu-batu di depan rumah itu tanggul untuk mengurangi laju air yang masuk ke rumah," kata Abu.
Di Kecamatan Rahul Tapan, tak kurang 800 rumah warga terendam setiap kali banjir melanda. Bencana banjir terjadi terus menerus dan semakin parah sejak 2017. Salah satu desa yang paling parah terdampak adalah Nagari Kampung Tengah, tempat Eri dan keluarganya tinggal hingga 2018.
Ingatan Eri terlempar kembali ke suatu sore, awal November 2018. Waktu itu, Sungai Batang Tapan kembali meluap. Ia sedang bekerja di luar. Adapun istri dan tiga anaknya ada di rumah.
Waktu para tetangga berteriak air datang, istri Eri buru-buru membawa dua anak yang paling kecil ke luar rumah menuju tempat yang lebih tinggi. Sedangkan anak sulung ditinggal dalam rumah. Saat itu, ia duduk di atas tempat penyimpanan padi yang tingginya sedada orang dewasa.
"Enggak sampai 10 menit air sudah datang, istri saya tak sempat kembali ke rumah. Rumah ini tenggelam dan cuma menyisakan atap," ujar Eri.
Untung seorang tetangga menerobos masuk ke rumah karena mendengar teriakan anak sulung Eri. Saat itu, tumpukan padi yang menjadi tempat berlindung si anak sulung sudah hanyut terbawa banjir.
"Anak saya bergelantungan memegang atap rumah. Waktu itu air sudah sampai ke lehernya. Terlambat sedikit saja, saya enggak tahu gimana nasib dia," ucapnya.
Selain hampir merenggut nyawa satu anak Eri, banjir juga membawa pergi seluruh harta bendanya. Termasuk hasil panen padi yang nilainya lebih kurang Rp 25 juta.
Peristiwa itu menggores trauma yang dalam bagi Eri dan keluarganya. Awal 2019, mereka memutuskan pindah rumah menjauhi sungai Batang Tapan ke Nagari Ampang Tulak Tapan, sekitar 5 kilometer dari rumah lamanya.
Banjir Sentani
Di Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, warga juga masih was-was akibat banjir bandang tahun 2019 silam yang menyebabkan 80 orang. Ifon Welce Hokoyoku (32), turut menjadi korban waktu itu. Bersama suami dan empat anaknya, Ifon berhasil menyelamatkan diri persis satu jam sebelum banjir melanda. Mereka berhasil mengungsi ke Gereja Kristen Indonesia Sinai Dobokurung Doyo Baru yang posisinya lebih tinggi dari rumahnya.
“Saat itu saya orang terakhir yang kembali ke rumah untuk menyelamatkan pakaian dan sejumlah dokumen penting dalam waktu 10 menit saja. Air sudah memasuki rumah setinggi paha. Banjir di komplek kami disertai lumpur dan batu,” kata Ifon, ketika ditemui.
Kompleks Perumahan BTN Nauli di daerah Doyo Baru termasuk salah satu dari sembilan lokasi terdampak paling parah akibat banjir bandang yang terjadi pukul 20.00 WIT. Kompleks itu terletak persis di bawah Cagar Alam Cycloop yang berjarak sekitar satu kilometer.
Ifon dan keluarganya tinggal di Blok 3 Kompleks BTN Nauli. Adapun area terdampak banjir paling parah berada di Blok 2. Tidak satu pun bangunan rumah yang tersisa di blok tersebut akibat diterjang derasnya banjir bandang yang disertai longsoran batu dari Cycloop.
Tak ada pilihan
Terdapat empat blok di Kompleks BTN Nauli. Rata-rata rumah di sana tipe 36. Siang itu, sebagian bangunan yang rusak diterjang banjir masih dibiarkan terbengkalai. Rumah Ifon juga sudah mulai diperbaiki.
Ifon mengaku keluarganya kembali bermukim di perumahan ini karena tidak memiliki pilihan lain. Suaminya hanya tukang bangunan serabutan sehingga tidak berpenghasilan tetap untuk membeli rumah di tempat yang aman.
“Kami tidak mendapatkan bantuan biaya perbaikan rumah. Kami juga tidak ditawarkan Pemkab Jayapura untuk direlokasi ke tempat yang lebih aman,” ujarnya.
Baltasar Oyaitou, salah satu penyintas lainnya di Komplek BTN Nauli menuturkan, 14 tetangganya meninggal dunia akibat banjir bandang. Jenazah dua dari 14 orang itu belum ditemukan hingga sekarang. Baltasar dan keluarganya berhasil selamat setelah melarikan diri ke pegunungan Cycloop.
Pascabanjir, rumah Baltasar rusak berat. Lumpur menumpuk di dalam rumah. Tak ada perabotan yang tersisa. “Bunyi gemuruh air seperti pesawat terbang. Saya sangat bersyukur bersama istri dan lima anak bisa selamat setelah bersembunyi di gunung selama empat jam,” kata Baltasar.
Baltasar mengaku, status perumahan di BTN Nauli adalah kredit pemilikan rumah (KPR). Hingga kini belum ada kejelasan dari pengembang, bank maupun pemda ke para penghuni BTN Nauli untuk direlokasi serta kembali melanjutkan pembayaran kredit rumah atau dihentikan karena area tersebut berstatus lokasi rawan banjir.
Kami tidak mendapatkan bantuan biaya perbaikan rumah. Kami juga tidak ditawarkan Pemkab Jayapura untuk direlokasi ke tempat yang lebih aman
Trauma
Sementara itu, Ketua RT 2 Komplek BTN Nauli Yeni Alfosina Kreutha mengaku sangat bersyukur berhasil selamat walaupun rumahnya rusak berat. Anak Yeni, Tiara yang berusia 16 tahun berhasil selamat setelah terjebak dalam rumah selama tiga jam saat terjadi banjir bandang. Kaki Tiara terjepit bongkahan batu saat berupaya menyelamatkan sepeda motor.
Motor Tiara tidak berhasil diselamatkan karena arus air yang sangat kuat. Saat kakinya terjepit batu, Tiara berlindung di dinding rumahnya hingga sekitar pukul 00.00 WIT. Tiara dalam kondisi tidak sadarkan diri saat dievakuasi kerabatnya ke RS Yowari. Tiara masih dilanda rasa trauma setelah peristiwa itu.
Yeni memaparkan, kini hanya tersisa 50 keluarga yang memilih kembali tinggal walaupun Kompek BTN Nauli berada dalam zona merah rawan banjir bandang. Dulu terdapat sebanyak 143 keluarga atau sekitar 500 jiwa yang bermukim di komplek itu sebelum diterjang banjir bandang.
Keluarga Yeni mendapatkan bantuan dari pemerintah memperbaiki rumahnya yang rusak berat hanya senilai Rp 50 juta dan tidak ditawari untuk direlokasi ke tempat yang aman. Akhirnya Yeni dan keluarganya memilih tinggal di salah satu rumah di blok tiga yang telah ditinggalkan pemiliknya karena merasa trauma.
“Pemerintah hanya menawari bantuan untuk rehabilitasi rumah tanpa menyiapkan lokasi pemukiman yang baru. Kami tidak memiliki solusi lain sehingga kembali bermukim di komplek ini walaupun berada di zona merah,” tutur Yeni.