Perambahan hutan di hulu daerah aliran sungai bukan satu-satunya faktor pemicu bencana. Namun, hutan bervegetasi memadai tetaplah bakal menekan risiko terjadinya bencana ekologi.
Oleh
PANDU WIYOGA, FABIO MARIA LOPES COSTA, INSAN ALFAJRI, ICHWAN SUSANTO, JOHANES GALUH BIMANTARA, ADITYA DIVERANTA, FAJAR RAMADHAN, HARRY SUSILO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS-Tidak berlebihan jika menyebut nyawa kita bergantung pada keberlangsungan hidup hutan. Hutan dengan pohon-pohon yang tetap lestari menjauhkan ancaman bencana alam.
Mengerti tentang daerah aliran sungai (DAS) membantu memahami cara hutan melindungi kita. DAS ialah suatu wilayah daratan yang satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya. Di DAS, terdapat daerah hulu dan hilir. “Daerah hulu di dalam suatu DAS biasanya fungsinya adalah tempat meresapkan air ke dalam tanah. Jadi, supaya air itu diresapkan dengan baik di hulu, fungsi vegetasi itu penting,” ucap akademisi IPB University Bogor, Ernan Rustiadi, saat dijumpai Jumat (10/6/2022).
Ernan menjelaskan, tanaman dengan daun dan batangnya berperan menahan air agar tidak langsung jatuh ke tanah. Lewat proses di dalam tanaman, air melambat sebelum masuk ke dalam tanah melalui akar. Air lantas tersimpan dalam tanah.
“Nah ketika vegetasi di hulu itu hilang atau berkurang, maka air hujan yang jatuh ke tanah bisa jadi sebagian besar menjadi aliran permukaan,” ujar Ernan. Aliran permukaan itu begitu cepat sehingga air dalam waktu singkat masuk sungai dan segera dikirim ke hilir, lalu meluap jadi banjir.
Selain menahan air, tanaman hutan lewat peran akar berfungsi mengikat tanah agar tidak mudah erosi dan longsor. Namun, bukan berarti semua tanaman bisa punya peran itu. Ernan menyebutkan, jika tanaman berakar dangkal, kemampuan meresapkan air ke dalam tanah serta kekuatan mengikat tanahnya juga lebih minim. Tanaman sayuran tergolong berakar dangkal.
Ernan menambahkan, keberadaan vegetasi secara memadai memungkinkan tanah memiliki kandungan organik yang bersifat seperti lem dan merekatkan butir-butir tanah sehingga tanah memiliki struktur yang lebih tahan erosi. Jika kondisi vegetasi tidak baik, struktur tanah semacam lebih berpasir dan mudah lepas.
Pertalian kerusakan hulu DAS dan bencana tergambar dari tiga kawasan konservasi yang ditelusuri Kompas, yaitu Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di Sumatera, hutan di kawasan konservasi Kawah Kamojang Jawa Barat dan Cagar Alam (CA) Pegunungan Cycloop di Provinsi Papua,
Perambahan CA Pegunungan Cycloop berkorelasi dengan bencana di kabupaten dan kota sekitarnya. Salah satunya yang amat mematikan yaitu banjir bandang 16 Maret 2019 di Kabupaten Sentani. Sebanyak 112 warga meninggal dunia dan 17 orang dilaporkan hilang.
Ahli Geologi Papua dan Dosen Fakultas Teknik Universitas Cenderawasih, Prihananto Setiadji, menuturkan, lapisan tanah bagian atas Cycloop sangat tipis membuat tanah mudah longsor saat terjadi hujan deras. Saat itulah air tidak hanya membawa material tanah tetapi juga bebatuan berukuran besar ke dataran rendah.
Kondisi kian parah jika pohon-pohon ditebangi. “Hujan yang deras mengenai tanah dengan top soil yang rendah dan tidak memiliki pohon bagaikan linggis yang menghantam tanah. Air akan membawa material tanah bersama batu dengan kecepatan tinggi,” papar Prihananto.
Lapisan tanah bagian atas Cycloop sangat tipis membuat tanah mudah longsor saat terjadi hujan deras. Saat itulah air tidak hanya membawa material tanah tetapi juga bebatuan berukuran besar ke dataran rendah
Adapun kerusakan hutan di TNKS menyebabkan banjir bandang di perkampungan warga Nagari Kampung Tengah, Kecamatan Ranah Ampek Hulu (Rahul) Tapan, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Air banjir mengalir dari hulu sungai di dalam rimba TNKS, tak jauh dari kampung itu.
Gelondongan kayu-kayu besar juga terlihat berserak di beberapa sudut jalan di kampung. Menurut warga, kayu terbawa saat banjir pada Desember 2021. Tahun lalu, Kecamatan Rahul Tapan dilanda empat kali banjir bandang.
Faktor risiko
Kerusakan sebagian hutan lansekap Gunung Guntur Papandayan, khususnya di sekitar CA Kawah Kamojang, Jawa Barat diduga ikut memicu banjir bandang di Kabupaten Garut tahun 2016. Catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kejadian itu mengakibatkan 34 jiwa melayang dan 19 orang hilang.
Meski demikian, Erri N Megantara, Guru Besar Biologi Konservasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran, mengingatkan, bukti data ilmiah diperlukan untuk menyatakan perambahan di suatu kawasan hutan memicu bencana tertentu. “Tidak bisa langsung kita menyimpulkan, kerusakan Kamojang sekarang penyebab banjir di Garut,” ucapnya.
Menurut Erri, faktor risiko lainnya juga perlu diselidiki, seperti dampak dari pendakian, olahraga sepeda gunung, dan sepeda motor trail. “Kalau merusaknya, semua sama, tetapi intensitas yang berbeda,” ujar dia.
Ernan sependapat dengan Erri. Ia mencontohkan, erosi dan longsor bisa disebabkan oleh faktor alamiah, misalnya akibat dangkalnya lapisan tanah di atas bahan induk (batuan, sedimen, dan lain-lain) pada area tertentu. Di lokasi seperti itu, pohon sulit untuk berakar dalam.
Terkait faktor risiko di Cycloop, Prihananto menyebutkan, Kabupaten Jayapura rawan gempa karena adanya Patahan Mamberamo dan Patahan Sorong. Ini bisa memicu longsoran tanah dan bebatuan yang menutup jalur daerah aliran sungai di kawasan cagar. Kondisi ini membentuk kolam alami di beberapa titik.
"Air di beberapa kolam ini akan meluap secara bersamaan saat terjadi hujan deras selama berjam-jam. Saat itulah yang memicu terjadi banjir bandang yang sangat berbahaya bagi masyarakat. Sebab, jarak air ke lokasi pemukiman warga di Sentani hanya sekitar dua kilometer,” ungkapnya.
Meski demikian, faktor-faktor non antropogenik (bukan karena aktivitas manusia) itu bukan alasan untuk "menormalkan” perambahan hutan. Terlalu besar energi untuk memperbaiki vegetasi yang rusak. Sebagai gambaran, komunitas pegiat lingkungan di kawasan Kawah Kamojang, Yayasan Saung Monteng, menanam beragam pohon endemis yang salah satunya bernama huru kuning (Litsea angulata Bl). Salah satu pohon yang ditanam dari sejak bibit pada tahun 2016, saat dikunjungi akhir Mei 2022 lalu baru setinggi tiga meter.