Sejumlah kota metropolitan di Indonesia menjadi penyumbang sampah terbesar. Upaya mereka mengurangi sampah, tak sebanding dengan sampah yang mereka hasilkan.
Oleh
MARGARETHA PUTERI ROSALINA, SATRIO PANGARSO WISANGGENI, ALBERTUS KRISNA
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Indonesia belum dapat memenuhi target pengurangan sampah nasional sebesar 30 persen di 2025. Upaya sejumlah kota metropolitan mengurangi sampahnya belum sebanding dengan produksi sampah yang mereka hasilkan.
Harian Kompas menganalisis data paling lengkap tahun 2020 tentang pengurangan sampah setiap kabupaten dan kota yang diunggah ke Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Secara nasional, Indonesia baru dapat berhasil mengurangi 3,5 persen dari 33,3 juta ton timbulan sampah di 2020. Angka pengurangan ini masih lebih kecil ketimbang target 30 persen pada 2025 sesuai Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
Mengacu target itu, selama empat tahun berjalan, seharusnya pengurangan sampah yang sudah berlangsung adalah 11,25 persen pada 2020.
Pengurangan sampah dapat dilakukan antara lain melalui operasional bank sampah dan rumah kompos di tingkat masyarakat, hingga fasilitas skala besar seperti integrated treatment facility (ITF), pusat daur ulang, dan tempat pengolahan sampah terpadu (TPST).
Rendahnya tingkat pengurangan sampah secara nasional ini terkait dengan adanya sejumlah metropolitan dengan produksi sampah besar namun tidak diimbangi dengan hasil pengurangan sampah yang seimbang.
Data SIPSN mencatat, hanya 276 dari 514 kota dan kabupaten seluruh Indonesia yang mengunggah data pengurangan sampah. Timbulan sampah tidak tersebar merata ke setiap daerah. Sebesar 56,7 persen timbulan sampah nasional merupakan kontribusi dari hanya 58 kota dan kabupaten di Indonesia. Sisanya merupakan kontribusi dari 218 daerah lain.
Sebanyak 58 daerah ini memiliki jumlah penduduk sangat banyak dengan produksi sampah yang besar pula. Daerah ini juga yang memiliki peran signifikan dalam pengelolaan sampah di Indonesia, termasuk pada aspek pengurangannya.
DKI Jakarta sebagai daerah penghasil sampah terbesar se-Indonesia, ternyata hanya mampu mengurangi 1,7 persen dari timbulan sampah sebesar 289,2 kilogram/tahun/orang melalui bank sampah, komposting, dan fasilitas pengurangan sampah lainnya.
Medan dan Pasuruan
Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto mengklaim data terbarunya menunjukkan pengurangan sampah di Jakarta telah mencapai 5 persen. Namun ia juga mengakui bahwa angka ini masih tergolong rendah.
“(Pengurangan) dari rumah mungkin hanya 5 persen, sampai bulan lalu. Secara persentase itu masih kecil,” kata Asep, saat ditemui di Jakarta, Jumat (22/4/2022).
Selain Jakarta, ada juga dua daerah yang warganya menghasilkan sampah terbesar yaitu Kota Medan (271,1 kg per orang per tahun) dan Kabupaten Pasuruan (264,3 kg per orang per tahun). Pada kedua kota ini pun pengurangan sampahnya tidak lebih dari 1 persen.
Medan misalnya, dari timbulan sampah sebesar 622.208 ton per tahun, hanya 6.353 ton yang dikurangi. Begitu juga Pasuruan yang hanya mengurangi 653 ton dari 424.535 ton yang dihasilkan dalam setahun.
Di sisi lain, sejumlah metropolitan besar tercatat di SIPSN telah mengurangi sampah di atas rata-rata nasional. Bandung, misalnya, pada 2020, tercatat telah mengurangi 8 persen sampahnya. Bahkan, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Bandung Dudy Prayudi, mengklaim data pengurangan sampah terbaru Kota Bandung sudah mencapai 20 persen.
Upaya pengurangan dari sumber sampah dilakukan dengan berbagai cara. Di antaranya, melalui 180 kawasan RW bebas sampah, 600 bank sampah yang tersebar di kelurahan, kecamatan, sekolah, dan kantor, 5 unit TPS 3R (Reduce, Reuse, Recycle), dan Pusat Olah Organik.
Lalu ada juga pencanangan gerakan “Kang Pisman” (kurangi, pisahkan, dan manfaatkan) yang merupakan pengejawantahan lokal dari semangat 3R.
Meski demikian, Dudy pun mengakui, pencapaian Kota Bandung belum sesuai target pada Kebijakan dan Strategi Nasional (JAKSTRANAS) Pengelolaan Sampah Rumah Tangga yang mencapai 30 persen. Ke depan Pemkot Bandung akan menambah kawasan bebas sampah di tingkat RW dan bank sampah.
“Di tiap RW bebas sampah 30 persen sampah bisa terkurangi. Jika ini bisa direplikasi ke seluruh RW, target pengurangan 30 persen bisa tercapai,” kata Dudy.
Daerah lain yang juga telah melampaui rata-rata nasional adalah Kota Tangerang. SIPSN mencatat Kota Tangerang mampu mengurangi 4,4 persen sampahnya pada 2020. Jika mengacu data yang disebut oleh Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang, kini tingkat pengurangan sampah telah mencapai 18 persen.
Upaya pengurangan tersebut dicapai melalui 50 unit bank sampah dan 8 TPS3R. Kepala Bidang Kepala Bidang Pengendalian dan Pencemaran DLH Kota Tangerang Yudi Pradana mengatakan, upaya pengurangan sampah tersebut belum mencapai target yang ditetapkan. “Kami punya target pengurangan 20 persen. Tahun 2022 ini optimis tercapai,” sebut Yudi.
Ke depan, menurut Yudi akan ada pengangkutan secara terpisah. Sampah organik masuk ke ITF, sampah anorganik ke bank sampah terdekat, dan sisanya ke TPA. Pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) juga menjadi salah satu solusi pengolahan sampah di Kota Tangerang, khususnya untuk mengurangi sampah yang telah masuk ke TPA Rawa Kucing.
Untuk mencapai target 30 persen pada 2025, Direktur Pengelolaan Sampah KLHK Novrizal Tahar mengatakan, strategi yang dilakukan oleh pemerintah daerah harus beragam. Tidak hanya sekadar menambah jumlah truk pengangkut sampah tetapi juga berbagai kebijakan yang dapat memicu perubahan pada perilaku masyarakat.
“Jadi itu semua harus dilakukan pemda. Tidak hanya meningkatkan kapasitas penanganannya, tetapi juga harus ada upaya pengurangan di hulu. Perubahan perilaku, gerakan partisipasi masyarakat, itu juga harus simultan dilakukan,” kata Novrizal.
Memilah
Menurut Novrizal, pemerintah daerah perlu menemukan terobosan yang dapat mengurangi beban pengelolaan sampah mereka dengan anggaran yang terbatas di tengah target pemerintah untuk mengurangi sampah pangan sebesar 30 persen pada 2025.
Terobosan yang dimaksud dapat berwujud pada pengurangan sampah di fase hulu, seperti dengan peningkatan kesediaan masyarakat untuk memilah sampah rumah tangganya masing-masing.
“Dari hulu itu komitmennya tidak perlu banyak anggaran, misalnya dengan membuat kebijakan dan enforcement yang tegas. Pengelolaan sampah yang modern itu seperti itu. Semakin banyak yang diselesaikan di hulu artinya semakin modern. Asal buang ke TPA itu primitif,” kata Novrizal.
Ahli pangan dari Universitas Katolik Soegijapranata Budi Widianarko juga memberikan pendapat senada, bahwa pemerintah daerah harus menjalankan seluruh bentuk kebijakan pengurangan sampah secara simultan. Meski demikian, ia menilai target 30 persen yang dicanangkan pemerintah tergolong ambisius di rentang waktu yang relatif singkat.
“Kalau hanya mengimplementasikan strategi edukasi kepada masyarakat untuk mencapai target 30 persen ini jelas membutuhkan waktu. Jadi untuk melawan limbah pangan ini harus total football. Ada edukasinya, ada sisi legalnya, ada instrumen ekonominya,” kata Budi.
[kompas-video src='https://play-kompasvideo.streaming.mediaservices.windows.net/984a33f9-a832-47cf-82ee-39c8c0d6b9b5/kvms_1714307_20220517_vc_me_ns_m.ism/manifest(format=m3u8-aapl-v3)' caption='Sampah makanan berdasarkan komposisi, menjadi sampah yang paling dominan dibanding sampah lain. Sampah makanan porsinya mencapai 39,83 persen dibanding sampah plastik yang sekitar 17,24 persen saja. Data ini dirilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2020.' credit='KOMPAS' cover_src='https://azk-cdn-audio-kompas.azureedge.net/kvms//IMAGES/2022/05/1714307_p.png?v=35' /]