Mereka sudah kehilangan harta dan harga diri. Penipu telah memperdaya mereka mentah-mentah lewat cinta palsu.
Oleh
INSAN ALFAJRI, IRENE SARWINDANINGRUM, DHANANG DAVID ARITONANG, ANDY RIZA HIDAYAT
·5 menit baca
KOMPAS/IRENE SARWINDANINGRUM
Tiga korban penipu berkedok cinta Faris Ahmad Faza (31), yaitu Tr (31), Li (25) dan Il (28), melapor bersama-sama ke Polres Kediri Kota, Jawa Timur, Minggu (20/3/2022).
Rasa bersalah dan takut diolok-olok lingkungan sekitar membuat korban penipuan berkedok cinta tak mudah percaya orang lain. Mereka cenderung menutup diri. Ingin terus menyendiri. Karena itu, bisa dipahami jika mereka skeptis kepada wartawan yang mau wawancara.
Dengan situasi itu, kami menyesuaikan keinginan korban agar mau didekati. Di Semarang, seorang korban berinisial WT (25) meminta surat perjanjian. Isinya? Permintaan untuk merahasiakan semua identitas pribadinya.
Suratnya juga harus surat resmi dengan kepala surat logo Kompas disertai tanda tangan basah dan meterai. WT hanya mau menerima surat fisik secara langsung, dari tangan si pewawancara, seorang diri. ”Jika bersedia, silakan. Saya bisa ditemui di Semarang,” kata WT di ujung telepon, Maret lalu.
Kami mendiskusikan permintaan WT. Ini pengalaman baru menghadapi narasumber yang minta surat perjanjian agar semua identitasnya tidak ditulis. Biasanya, permintaan seperti itu disampaikan lisan ke kami. ”Ini lebih pada kenyamanan narasumber, silakan,” kata Subur Tjahjono, Sekretaris Redaksi Kompas, memberi lampu hijau.
Ketika itu, anggota tim yang menghubungi WT berada di Purwokerto dan sedang menuju Yogyakarta. Rute liputan menjadi panjang karena anggota tim itu mengarahkan perjalanan ke Semarang, Jawa Tengah, setelah dari Yogyakarta.
WT menentukan waktu dan tempat pertemuan, yakni di sebuah pusat perbelanjaan di Kota Semarang, Kamis (24/3/2022) siang. WT sudah duduk di salah satu gerai makanan sendirian. Dia terlihat membawa map plastik dan telepon genggam. Dia memberi tanda bahwa dia sedang menunggu seseorang.
”Apakah benar Mbak yang mau ketemu saya? Saya dari Kompas,” sapa anggota tim kami. Dia mengiyakan dan mempersilakan duduk di depannya. WT mulai obrolan dengan pelan. Sepertinya masih geram, marah, dan terpukul dengan penipuan yang dialaminya akhir Januari lalu. Pertemuan sekitar 1 jam 30 menit itu lancar. Kami mendapat cerita detail dan bukti-bukti pendukung kejahatan terduga pelaku bernama Mohammad Iqbal Pangestu (29).
Pengalaman mendekati WT mirip dengan pendekatan kepada AM, perempuan yang juga korban Iqbal, setelah WT. Awalnya, ia tidak yakin ketika kami yang menghubunginya via telepon. Dia meminta kami menunjukkan identitas kartu pers dan nama lengkap melalui aplikasi Whatsapp. Dia pun meminta panggilan video dengan salah satu anggota tim untuk memastikan foto profil yang terpasang tidak palsu.
”Saya ingin memastikan kalau Bapak memang jurnalis Kompas,” kata narasumber itu. AM memastikan itu sebelum ia menyatakan kesediaannya diwawancarai. Kami membuat janji pertemuan, akhir Maret lalu. Karena AM masih dirundung kesedihan dan tidak memiliki banyak uang lagi setelah dikuras penipu, kami menawarkan menjemput di tempat kosnya di Jakarta Utara. Ia bersedia.
Namun, pada hari H, AM tiba-tiba membatalkan pertemuan dengan alasan yang tidak kami mengerti. ”Maaf, saya tiba-tiba tidak siap. Saya belum siap bertemu langsung untuk wawancara,” kata AM. Kami tidak bisa memaksa, dan memahami kondisinya.
Mendampingi korban
Masih ada sembilan korban yang kami temui di Jateng dan Jawa Timur. Untuk memudahkan komunikasi dengan mereka, kami menggagas grup percakapan. Isinya hanya kami dan korban.
Sebelum grup itu dibuat, kami rutin mengobrol dengan salah seorang korban di Purwokerto, CB (33). Bahkan, salah satu dari kami sudah menjadi teman curhat. Peran CB penting karena dia yang menjalin kontak dengan korban-korban di wilayah lain. CB juga memiliki banyak informasi tentang orang yang diduga sebagai pelaku atas nama Faris Ahmad Faza (31).
KOMPAS/IRENE SARWINDANINGRUM (IR
Korban penipu berkedok cinta Faris Ahmad Faza memperlihatkan barang bukti sebelum melapor ke polisi di Kota Kediri, Jawa Timur, Sabtu (4/3/2022). Dalam 2021 sampai awal 2022, terlacak 9 korban oleh pelaku sama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Setelah melewati obrolan panjang, kami berangkat ke Jatim, bertemu beberapa korban. Di sini, kami menyaksikan pertemuan korban dengan korban lain yang sebelumnya dituding ”kaki tangan” penipu. Nama inisialnya TR (31).
Sosok TR dapat kami temui berkat jalinan komunikasi sesama korban di Kediri. Korban Faza yang lain mengajak TR ngobrol bersama agar jelas duduk perkaranya. Kebetulan mereka saling kenal karena satu alumni di SMA. TR sepakat bertemu menjelaskan keterlibatannya dengan Faza.
Kami berada di antara para korban di pertemuan itu. TR menceritakan kisahnya panjang lebar. Pertanyaan muncul bertubi-tubi selama obrolan. Belum terjawab satu pertanyaan, air mata korban keburu rebas. Beberapa di antara mereka tak henti-henti mengutuk diri sendiri, ”Kok, aku bodoh banget, ya?”, ”Kok, aku bisa percaya waktu itu, ya?”
Di antara korban yang kami temui di Kediri, ada LL, mahasiswi fakultas hukum di Kediri. Ia kehabisan uang tabungan, berbohong ke orangtua untuk mendapatkan pinjaman uang, dan yang pasti terbelit utang pinjaman daring.
Ia terlihat murung. Orangtuanya belum tahu dia menghadapi masalah ini. LL belum berani cerita. Mau jujur, takut dimarahi, sementara jika terus terang, dia khawatir akan memperburuk kondisi kesehatan ayah dan ibunya.
Pertemuan diawali rasa saling curiga, tangis, lalu diselingi tawa bersama. Kegetiran mereka masih belum sirna. Setelah obrolan itu, beberapa korban melaporkan dugaan penipuan ke pihak berwajib. Kami ikut mendampingi mereka berjam-jam sebelum melapor.
KOMPAS/IRENE SARWINDANINGRUM
Tiga korban penipu berkedok cinta Faris Ahmad Faza (31), yaitu Tr (31), Li (25) dan Il (28) ,saat melapor bersama-sama di Polres Kediri Kota, Jawa Timur, Minggu (20/3/2022).
Di lain kasus, kami harus meyakinkan dua orang terlebih dahulu agar dapat mewawancarai admin akun Instagram @aliskamugemash. Mereka tak ingin identitas admin dikutip dengan terbuka. Akun ini berisi testimoni orang-orang yang merasa ditipu Leonardus Wahyu Dewala (32).
Salah seorang yang pernah berhubungan dengan Dewala ini menyimpan trauma. Untuk melihat riwayat percakapan di masa lalu dengan sesama korban, dia tak kuasa. Dia masih menyimpan beberapa dokumen yang bisa dijadikan petunjuk mencari keberadaan Dewala saat itu.
Dokumen-dokumen itu tersimpan di percakapan grup di Twitter. Kami mengira dia akan menyalin dokumen-dokumen tersebut. ”Kakak log in ke akun Twitter-ku saja. Nanti aku kasih password-nya,” kata SF (27), Sabtu (5/3) sore. Ia masih trauma dan meminta kami melihat sendiri percakapan di grup Twitter SF.
Untuk semua korban, kami berikan kesempatan bersuara. Semoga mereka mendapatkan keadilan yang selama ini berusaha digapai.