Rayuan kosmetik abal-abal seakan tak berhenti menelan korban. Alih-alih mengubah wajah menjadi menarik, para korban justru kewalahan mengembalikan wajah kembali dilirik.
Memiliki kulit kinclong menjadi dambaan banyak perempuan. Namun, impian itu dapat menjelma menjadi mimpi buruk jika salah pilih kosmetik. Terlebih, jika kosmetik yang dipakai tidak berizin dan mengandung bahan berbahaya.
Hal itu yang terjadi pada Pitrianti (20). Perempuan asal Ciamis, Jawa Barat, ini mengenang masa SMA sebagai salah satu yang terkelam akibat salah pilih krim kulit atau skincare.
Empat tahun yang lalu, jerawat-jerawat mengerikan pernah merenggut keceriaan masa remaja Pitrianti. Foto-foto di akun Instagram-nya menunjukkan jerawat itu memenuhi seluruh area wajahnya. Di area pipinya, jerawat terlihat menggumpal, menghitam, bahkan mengeluarkan darah.
Kondisi itu membuat Pitrianti merasa semua temannya jijik melihatnya. Jangankan untuk sekadar mengobrol, teman-teman Pitrianti sering kabur saat dihampiri. Pitrianti pun semakin menutup diri. Bahkan dia sempat berniat untuk berhenti sekolah. ”Paling kalau di rumah nangis terus. Itu aku sempat pengen berhenti sekolah. Sampai bilang ke mama, mah aku mau berhenti sekolah,” ungkapnya.
Aku tahu itu abal-abal gara-gara nonton berita. Di berita itu ada krim abal-abal. Pas aku lihat kok sama dengan yang aku pakai.
Pitrianti mengakui jerawat di wajahnya kala itu memang tergolong parah. Kondisi itu dipicu penggunaan krim abal-abal saat masih duduk di bangku kelas IX SMP. Kala itu Pitrianti membeli krim bernama HN seharga Rp 200.000 atas rekomendasi dari bibinya. Krim tersebut tidak memiliki label, apalagi nomor izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
”Aku tahu itu abal-abal gara-gara nonton berita. Di berita itu ada krim abal-abal. Pas aku lihat kok sama dengan yang aku pakai,” ujar Pitrianti.
Dia lalu memberanikan diri untuk berkonsultasi dengan dokter. Berdasarkan publikasi BPOM, krim HN merupakan salah satu krim yang mengandung merkuri.
Untuk menyembuhkan jerawatnya, Pitrianti beralih menggunakan obat-obatan dari dokter yang terdiri dari krim, sabun muka, dan pil. Celakanya, biaya untuk membeli obat itu lebih mahal ketimbang krim abal-abal yang sebelumnya dia pakai. Untuk konsultasi dan obat, setidaknya Pitrianti harus merogoh kocek hingga Rp 450.000.
Tentu saja karena masih berstatus siswa sekolah, jumlah uang tersebut sangatlah besar. Dia harus menyisihkan uang sakunya untuk biaya berobat. Itu pun dia hanya mampu berkonsultasi dengan dokter minimal tiga bulan sekali atau menunggu tabungannya cukup. Padahal, konsultasi seharusnya dilakukan rutin sebulan sekali.
”Makanya, pengobatannya jadi lambat. Pas udah kelas XII SMA aku dikasih pengobatan gratis sama dokter selama enam bulan. Katanya kasihan lihat semangatnya pengin sembuh,” ucap Pitrianti.
Dijual daring
Tak hanya secara konvensional, produk kosmetik abal-abal juga berseliweran di pasar daring. Eliwati (27), perempuan asal Kota Bandung, Jawa Barat, menjadi salah satu korban dari produk krim pemutih yang dijual di sana.
Mimpi untuk mendapatkan wajah putih dan bersih mendorong Eli untuk mencari krim pemutih secara daring enam tahun yang lalu. Pilihannya saat itu jatuh pada krim seharga Rp 100.000 yang dijual oleh pemilik lapak ”pusat racikan medis”. Penjual mengklaim krim tersebut diracik oleh apoteker dan aman digunakan.
Namun, sebulan setelah pemakaian kulit di wajah Eli justru malah mengelupas dan memerah. Lama-kelamaan, area hidung dan mulutnya menghitam. Bercak-bercak merah juga bermunculan di kedua pipinya. Setelah mencari informasi, Eli menduga gejala itu adalah efek hiperpigmentasi yang diakibatkan steroid dalam krim yang dia pakai.
”Saya ke dokter kulit. Benar saja yang saya pakai adalah krim yang mengandung merkuri dan steroid,” ungkap Eli.
Sebelumnya, kulit wajah Eli sulit lepas dari penggunaan krim tersebut. Mau tak mau dia harus terus memakainya hingga dua tahun lamanya. Setiap kali berhenti, kulit wajah Eli terasa seperti terbakar dan perih. Efek itu hanya bisa hilang setelah dia memakai krim kembali.
Eli berhenti memakai krim itu setelah berkonsultasi dengan dokter. Butuh waktu setidaknya dua tahun agar wajahnya kembali normal seperti sebelum menggunakan krim apa pun. Selama dua tahun tersebut, dia hanya menggunakan obat krim dari dokter.
Penderitaan lain dirasakan oleh Valencia (25), wiraswasta asal Tangerang, Banten. Valencia mulai bermasalah dengan jerawat 11 tahun yang lalu. Untuk mengobatinya, dia memakai krim dari salah satu klinik ternama di Kota Bandung, Jawa Barat, selama enam tahun dan baik-baik saja.
Namun, setelah berhenti menggunakannya pada 2017, seminggu berselang jerawat di area pipi Valencia terus-menerus bermunculan. Di saat bersamaan, muncul bintik-bintik merah di area dahi dan hidungnya.
”Saya pikir, oh ini jerawat biasa. Tapi, kok, tambah banyak dan kulitnya jadi kayak makin sakit gitu. Kayak merah-merah dan sakit,” ungkapnya.
Valencia yang saat itu berpindah domisili ke Jakarta kemudian beralih ke dokter lain. Kali ini dia mendatangi semacam seminar kecantikan yang diadakan di sebuah ruang pamer mobil mewah di Jakarta. Dari informasi yang didapat, pengisi seminar adalah seorang dokter spesialis kulit dan kelamin.
Valencia pun berkonsultasi dengan dokter itu mengenai masalah yang diderita. Dia kemudian diminta untuk membeli satu paket produk-produk kosmetik seharga belasan juta rupiah. Namun, sehari setelah pemakaian, jerawat di wajah Valencia justru langsung bernanah dan terasa perih.
”Tahun 2017 itu puncak terparahnya. Saya cari di Google, ada apa dengan produk tersebut. Sempat ada yang bilang ada kandungan merkurinya,” kata Valencia.
Butuh waktu setidaknya satu tahun bagi Valencia untuk mengembalikan kondisi wajahnya seperti semula. Biaya penyembuhan pun tak semurah krim kosmetik pertama yang dibeli sebelas tahun silam. Kala itu krim yang dia beli hanya seharga Rp 200.000-Rp 300.000. Sementara dia menaksir biaya penyembuhan wajahnya mencapai puluhan juta rupiah.
Direktur Pengawasan Kosmetika BPOM Arustiyono menjelaskan, salah satu dampak dari penggunaan kosmetik yang berbahaya adalah terjadinya okronosis atau munculnya bintik-bintik hitam. Jika sampai pada fase ini, mustahil untuk disembuhkan.
”Paling dia harus memakai make-up yang tebal supaya setiap hari enggak terlalu kelihatan bintik hitam,” katanya.
Selain itu, dampak dari penggunaan kosmetik abal-abal juga bisa menyebabkan kulit menjadi kemerah-merahan. Bedanya dampak ini masih bisa diatasi dengan pengawasan ketat dari dokter.
Rayuan kosmetik abal-abal seakan tak berhenti menelan korban. Risiko kecacatan kerap bersembunyi di balik hasil instan dan harga murah. Alih-alih menyulap wajah menjadi menarik, para korban justru kewalahan mengembalikan wajah mereka seperti sedia kala.