Salah memilih layanan perawatan wajah dan tubuh dapat berisiko pada kecacatan permanen. Pastikan layanan yang dipilih ditangani oleh dokter yang kompeten.
Oleh
JOG/SKA/DIV/FRD/ILO
·3 menit baca
Layanan perawatan wajah dan tubuh yang kian diminati kaum hawa dari berbagai kalangan turut memuat bisnis salon dan klinik kecantikan di Tanah Air bergeliat. Namun, sebelum menentukan jenis perawatan tertentu, pastikan bahwa layanan kecantikan tersebut aman agar Anda terhindar dari risiko kesehatan.
Sebab, peluang bisnis layanan perawatan wajah dan tubuh yang menggiurkan ini turut memicu munculnya praktik kecantikan ilegal. Untuk itu, keinginan untuk tampil menarik perlu disertai kehati-hatian dalam memilih layanan kecantikan.
Praktik kecantikan tertentu membutuhkan keahlian yang hanya dimiliki dokter umum ataupun dokter spesialis. Jika dilakukan sembarangan oleh orang yang tidak berkompeten dengan bahan-bahan yang berbahaya, hal itu dapat berakibat fatal bagi kesehatan pasien, bahkan bisa sampai menimbulkan kematian.
Untuk itu, konsumen harus memastikan jaminan keamanan dari setiap layanan kecantikan yang hendak dipilih. Dokter spesialis bedah plastik rekonstruksi dan estetik Qori Haly menilai, konsumen sering tidak memperhatikan aspek keamanan dari layanan kecantikan yang ditempuh. Padahal, tindakan itu bisa berdampak secara jangka panjang, bahkan permanen, bagi konsumen.
”Kita saja kalau makan mikir-mikir enak atau enggak, matang atau tidak, halal atau tidak, begitu pula dengan treatment yang kita masukkan ke tubuh. Jadi, enggak terima-terima saja,” ujar Qori yang juga tergabung dalam Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik Indonesia (Perapi).
Izin praktik
Qori menyarankan, konsumen harus memastikan latar belakang lokasi layanan kecantikan yang dituju. Tempat itu semestinya ditangani oleh dokter yang berkompeten dan punya surat izin praktik (SIP). Adapun SIP bisa ditemukan terpampang di lokasi praktik. Konsumen berhak menanyakan plang SIP saat berkunjung ke lokasi praktik.
Menurut Ketua Dewan Kedokteran Estetik Indonesia David S Perdanakusuma, SIP adalah bentuk kepastian seorang dokter memiliki kompetensi terkait dengan klinik yang ditangani. Untuk mendapat SIP pun butuh tahapan cukup panjang, seperti melalui serangkaian kompetensi dari kolegium kedokteran, rekomendasi perhimpunan kedokteran, hingga akhirnya diteruskan menjadi SIP yang dikeluarkan oleh dinas kesehatan wilayah setempat.
”Jadi, seorang dokter bisa praktik itu melalui jalur yang panjang dan filternya cukup ketat sehingga tidak mudah untuk praktik begitu saja. Karena itu semua menyangkut keselamatan masyarakat. Itu yang dijaga,” tutur David.
Perihal memilih dokter, ada baiknya pasien memastikan kembali apakah datang ke dokter yang tepat. Pasien bisa menilik identitas dokter dari laman resmi Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) di kki.go.id. Dokter yang resmi pasti akan tercatat dalam basis data KKI, termasuk kualifikasinya.
Hal selanjutnya adalah berkonsultasi dengan dokter terkait tindakan medis yang akan dilakukan. Perlu dipahami bahwa dalam setiap perawatan, hak pasien adalah memilih dokter. Maka itu, sebaiknya pasien banyak bertanya kepada dokter terkait konsekuensi tindakan medis yang akan ditempuh.
Tindakan operasi atau tindakan invasif semestinya dilakukan oleh dokter spesialis. Sebab, dokter spesialis telah memiliki bekal kompetensi yang dibutuhkan apabila terjadi komplikasi.
Qori tidak menganjurkan operasi dilakukan oleh kalangan bukan medis. Hal ini terutama karena orang bukan medis kemungkinan tidak memiliki kecakapan serta pengalaman apabila terjadi komplikasi pada pasien. Salah penanganan pada tindakan medis tentu akan berakibat fatal.
Cermat
Penting pula untuk selalu teliti menanyakan kepada dokter tentang apa yang akan dilakukan pada tubuh. Dokter spesialis kulit dan kelamin Listya Paramita menyatakan, pasien berhak menanyakan setiap tindakan yang akan dilakukan oleh dokter.
”Sebelum tindakan, mestinya ada persetujuan tindakan medis, lalu pasiennya tanda tangan. Yang legal begitu. Harus konsultasi dulu keluhannya apa, lalu tindakannya apa. Enggak mungkin ujug-ujug langsung tindakan,” ujarnya.
Pasien juga berhak meminta dokter untuk memperlihatkan obat atau cairan yang akan dimasukkan ke tubuh. Kemudian bisa pula ditanyakan, apakah obat yang digunakan itu sudah mendapat izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) serta tidak kedaluwarsa.
”Sebelum disuntikkan, bisa minta diperlihatkan kemasan obat tersebut apakah terdapat izin dari BPOM atau tidak. Yang mesti diwaspadai juga kalau cairannya sudah ada di dalam suntikan karena kita enggak tahu isinya apa,” lanjut Qori.