Area Abu-abu Praktik Kecantikan
Masih ada area abu-abu terkait wewenang dokter umum dan spesialis dalam menjalankan praktik kecantikan. Perlu ada pedoman untuk mempertegas batasan wewenang demi perlindungan konsumen.
”
JAKARTA, KOMPAS — Di kalangan medis, praktik kedokteran estetik dan kecantikan masih menjadi wilayah abu-abu antara dokter umum dan dokter spesialis. Di sisi lain, masyarakat memburu klinik kecantikan yang dikelola bukan oleh dokter atau yang berlatar belakang medis karena tarifnya yang murah.
Sampai saat ini, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), sebagai organisasi profesi yang menaungi para dokter, belum memiliki pedoman untuk menetapkan batas wewenang di antara dokter dan dokter spesialis di bidang kedokteran estetik. Pedoman tersebut sedang disusun Dewan Kedokteran Estetik Indonesia yang mewadahi perhimpunan dokter terkait praktik estetik, seperti dokter spesialis bedah plastik, dokter spesialis kulit dan kelamin, dokter umum estetik, Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian IDI, dan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran IDI.
Dewan Kedokteran Estetik Indonesia sendiri juga dibentuk agar dapat mempertegas wewenang seluruh dokter maupun pekerja medis di bidang kedokteran kecantikan sehingga dapat menjamin perlindungan konsumen.
”Saya memimpin (Dewan Kedokteran Estetik) karena dianggap irisan area abu-abu itu lebih banyak berada pada area dokter spesialis kulit dan dokter umum sehingga bedah plastik diharapkan dapat menengahi berbagai masalah yang mungkin timbul,” kata Ketua Dewan Kedokteran Estetik Indonesia Prof David S Perdanakusuma, Selasa (29/3/2022).
Kendati pedoman terkait praktik estetik belum selesai disusun, David menilai, tindakan invasif sudah dipastikan bukan ranah dokter umum. Dokter spesialis bedah plastik-rekonstruksi estetik ini mencontohkan, operasi kelopak mata (blepharoplasty) bisa dilayani dokter spesialis bedah plastik dan dokter spesialis kulit dan kelamin karena tergolong bedah invasif, tapi tidak oleh dokter umum.
Namun, dokter umum dengan kualifikasi tambahan bidang kecantikan boleh menjalankan sejumlah layanan minimal invasif, seperti suntik filler dan botoks, yang juga boleh dilakukan dokter kulit dan dokter bedah plastik. ”Area abu-abu” semacam ini rentan menimbulkan kebingungan bagi masyarakat.
Dokter spesialis kulit dan kelamin Listya Paramita mengonfirmasi kondisi itu. ”Karena sekarang perkembangan dunia estetika ini kan pesat sekali. Jadi, aturan yang di Indonesia ini belum bisa mengakomodasi semuanya,” ujar dokter yang akrab disapa Mita ini.
Mita menegaskan, selama pedoman terkait kewenangan dokter bidang estetik belum terbit, ia dan rekan dokter sejawat bertindak dengan mengacu pada standar kompetensi.
Mita mencontohkan, dokter kulit dan dokter umum sama-sama bisa menangani jerawat, tetapi dokter umum hanya dapat menerapi jerawat berlevel ringan-sedang. Jerawat level berat-sangat berat merupakan ranah dokter kulit.
Tidak adanya kejelasan wewenang dalam praktik kecantikan di mata psikolog sosial Risa Permanadeli tergolong bentuk lemahnya kontrol negara bagi perlindungan masyarakat. ”Saya tahu dulu bahkan di gang sini ada salon yang, dan itu dipasang lho di banner, melayani operasi plastik. Kok, bisa ya?” ujarnya saat ditemui di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Selasa (29/3/2022).
Menurut Risa, pemerintah kurang mengedukasi layanan yang boleh dan tidak boleh dilakukan di tempat layanan kecantikan berdasarkan kompetensi pemberi jasanya.
Di kalangan medis, batasan wewenang dokter spesialis dan dokter umum di klinik kecantikan memang masih membingungkan. Dinas Kesehatan yang berwenang mengawasi klinik-klinik kecantikan pun tak bisa memberikan jawaban soal batasan mana yang merupakan tindakan dokter dan dokter spesialis.
Pelaksana Tugas Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan DKI, dokter Dwi Oktavia Handayani, mengatakan, dalam menentukan batasan mana yang merupakan tindakan kedokteran, IDI merupakan organisasi yang berwenang memberikan informasi tersebut.
Salon kecantikan
Di sisi lain, pengawasan praktik estetik atau kecantikan selama ini belum optimal karena keterbatasan sumber daya pemerintah. Dengan melibatkan masyarakat dalam pengawasan, maka diharapkan publik berpartisipasi secara aktif untuk mengadukan salon maupun klinik yang menyediakan layanan kecantikan ilegal.
Karena itu, pemerintah dan pemda mesti menggandeng warga untuk waspada pada jasa kecantikan di kanan dan kiri mereka. Di DKI Jakarta, pemerintah provinsi menyediakan 14 kanal aduan termasuk Jakarta Kini (JAKI), Qlue, dan akun Twitter @DKIJakarta untuk diakses masyarakat yang mencurigai adanya tindakan-tindakan ilegal di sekitar mereka.
”Melalui kolaborasi berbagai pihak, pengawasan terhadap tindakan ilegal dan perbuatan tidak bertanggung jawab lainnya dapat dilakukan secara optimal dan berkesinambungan,” ujar Dwi.
Meski demikian, Dwi menyatakan, Dinkes DKI aktif mengawasi klinik-klinik kecantikan yang diawaki dokter di wilayah Ibu Kota. Pengawasan melalui kegiatan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian (binwasdal) oleh suku dinas kesehatan (sudinkes) kota dan kabupaten secara periodik.
Dalam binwasdal, petugas sudinkes juga akan mengecek obat-obatan yang ada di lapangan. Pengecekan, antara lain, menyasar nomor izin edar obat dari Kementerian Kesehatan, tanggal kedaluwarsa obat, dan tata cara penyimpanannya.
Terkait salon kecantikan, Dwi menyebut salon tidak termasuk dalam fasilitas pelayanan kesehatan sehingga tidak memiliki dokter dengan surat izin praktik. Fenomena hadirnya salon yang melakukan tindakan kedokteran akibat adanya masyarakat yang menginginkan tindakan tersebut dengan harga murah dan mengabaikan risiko yang mungkin muncul.
Ancaman penjara
Dwi mengingatkan, setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode, atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi bisa dipidana penjara maksimal lima tahun atau denda paling banyak Rp 150 juta. Namun, untuk tindakan ilegal semacam ini, ia mendorong keterlibatan publik dalam pengawasan.
Sekadar menyediakan kanal pengaduan tidak akan berefek jika masyarakat tidak paham ada-tidaknya pelanggaran yang mengancam kesehatan dan keselamatan dari praktik estetik.
Sayangnya, sekadar menyediakan kanal pengaduan tidak akan berefek jika masyarakat tidak paham ada-tidaknya pelanggaran yang mengancam kesehatan dan keselamatan dari praktik estetik.
Kepala Bidang Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sularsi merekomendasikan pemerintah menetapkan standar klasifikasi tempat praktik kecantikan sesuai fasilitas dan tenaga kerja di sana, mirip klasifikasi hotel bintang satu-lima. Batas wewenang layanan juga jelas sesuai klasifikasi itu.
Klasifikasi tempat praktik sebaiknya mudah diketahui publik lewat penandaan di muka bangunan. Dengan demikian, masyarakat bisa melaporkan ke pihak berwenang jika pengelola tempat praktik ternyata menyediakan layanan yang tidak sesuai klasifikasinya.