Terbatasnya alokasi pupuk bersubsidi memaksa petani memutar otak. Untuk membeli di jalur tidak resmi, perlu dana lebih besar. Sebagian nekat menabrak aturan demi mendapatkan jatah pupuk.
Oleh
ANDY RIZA HIDAYAT,DHANANG DAVID,IRENE SARWINDANINGRUM,INSAN ALFAJRI,RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
Hadi, bukan nama sebenarnya, pengecer pupuk bersubsidi di Tuban, Jawa Timur, ini, sudah merasa lelah. Berkali-kali dia harus menghadapi demonstrasi di depan kios miliknya. Adapun peserta demonstrasi adalah tetangganya sendiri.
Pria 56 tahun ini memutar otak dan kemudian merancang ide. Dia kumpulkan petani di desanya. Di hadapan mereka, Hadi berterus terang, alokasi pupuk bersubsidi tidak cukup untuk memenuhi 1.600 petani yang ada. Tahun 2021, petani yang masuk Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) hanya separuhnya, 800 orang.
Ia ingin petani yang tercatat dalam RDKK tetap mendapat bagian pupuk. Caranya, menyisihkan bagian pupuk petani yang dapat jatah untuk petani yang tidak dapat. Pada awalnya, ide ini ditentang petani yang tercatat dalam RDKK. Namun, karena kemampuannya menjelaskan, ditambah lagi rekam jejaknya sebagai sosok yang disegani, dia mampu meyakinkan petani yang menolak idenya.
Proporsional
Dari sini, dia menciptakan sistem sendiri berbasis karcis warna kuning, merah muda, dan biru. ”Jadi, tidak semua warga bisa datang terus beli pupuk. Harus pakai kartu yang saya bagikan,” katanya.
Meski semua dapat, pupuk yang terbatas tak terbagi rata kepada petani. Mereka yang dapat jatah di RDKK memang diberi lebih. Intinya, sistem yang diciptakan membagi pupuk secara proporsional kepada semua petani di desa itu. Semakin luas lahan petani, semakin banyak jatah pupuknya.
Namun, sistem ini tidak sesuai dengan mekanisme penebusan dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 49 Tahun 2020 tentang Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Tahun 2021. ”Apa boleh buat, saya lebih baik menabrak aturan sedikit daripada saya konflik dengan petani. Mereka itu tetangga saya sendiri,” katanya.
Alokasi pupuk subsidi di Tuban tahun 2021 sebanyak 185.568 ton. Jumlah ini jauh lebih kecil dari usulan sesuai RDKK sebanyak 363.251 ton. Data Dinas Pertanian Tuban menyebut, alokasi ini setara dengan 51 persen dari usulan petani.
Pupuk subsidi urea dan NPK Phonska di kios tak resmi dijual Rp 180.000-Rp 200.000 per zak (50 kilogram). Pupuk itu dijual bebas di beberapa kios di Kecamatan Kerek, Tuban. Ironisnya, stok di jalur tak resmi itu selalu ada, bahkan lebih banyak daripada stok di gudang resmi. Pupuk yang datang ke kios-kios tak resmi itu banyak. ”Dalam satu malam bisa lima sampai sepuluh rit,” kata Hadi. Sudah bertahun-tahun petani Tuban hidup dalam situasi ini.
Saking sedikitnya jatah pupuk, petani yang tidak memiliki modal membeli pupuk di luar kios resmi menebar pupuk apa adanya. ”Alhamdulillah, hasilnya masih lumayan bagus,” kata Nur, petani jagung di Tuban.
Mengalihkan jatah
Di Sumatera Selatan, penyalur resmi pupuk bersubsidi di Banyuasin, Beni, juga bukan nama sebenarnya, mengambil risiko hukum demi membagi pupuk secara adil. Ia mengalihkan jatah pupuk subsidi untuk warga yang tak memperoleh sama sekali. Caranya dengan mengalihkan lahan penerima.
”Saya kasihan orang tidak dapat. Maka, kalau ada pupuk yang mau dipakai ke kebun kelapa atau tambak, saya bilang tidak dahulu, ini ada yang belum dapat. Mereka biasanya ya terima,” katanya.
Pupuk subsidi menjadi bahasan paling hangat di Banyuasin. ”Bagaimana ini kelompokku cuma dapat 20 kantong, padahal jumlah anggota ada 30 orang. Bagaimana membaginya? Pada ke mana pupuk tahun ini,” ujar salah seorang petani di acara kumpulan tetangga, akhir 2021 lalu.
Musim tanam akhir 2021 hingga awal 2022 ini adalah masa yang berat bagi mereka. Alokasi pupuk subsidi berkurang, sedangkan harga pupuk nonsubsidi melambung sampai Rp 500.000-Rp 600.000 per kantong isi 50 kg. Pupuk subsidi yang ditebus Rp 125.000 per kantong amat mereka butuhkan.
Sebagai ketua kelompok tani, Suryadi (41) mudah jadi sasaran kecurigaan dalam situasi begini. Setiap musim penebusan pupuk subsidi, Ketua Kelompok Tani Maju Makmur, salah satu kelompok tani di Desa Sumber Mulya, Banyuasin, itu menerima titipan uang dari 30 anggota kelompoknya untuk menebus pupuk subsidi kepada pengecer.
Menolak
Saat petani kesulitan mendapatkan pupuk subsidi di kios resmi, para petani ini dikejutkan oleh pasokan pupuk subsidi yang melimpah ke desa-desa mereka di luar jalur resmi. Pupuk warna merah itu dijual bebas tanpa syarat KTP atau kartu tani dengan harga dua kali lipat dari harga pupuk subsidi. Terdesak kebutuhan, ada beberapa petani tergiur karena harga pupuk bersubsidi di jalur tak resmi ini masih jauh di bawah harga pupuk nonsubsidi.
Petani di Desa Sumber Mulya juga memperoleh tawaran pupuk subsidi di jalur tak resmi sebanyak 200 karung dengan harga Rp 250.000 per kemasan. Namun, hampir semua petani di sana menolak membeli. Mereka takut disebut penadah jika membelinya.
Mereka curiga karena pupuk subsidi di jalur resmi begitu terbatas, tetapi di luar jalur resmi justru berlimpah. ”Jangan-jangan pupuk itu dari alokasi kami yang dikurangi tahun ini, terus mau dijual dua kali lipat ke kami lagi,” kata Suryadi.
Poniman (45), petani Banyuasin, juga mempertanyakan kenapa banyak pupuk subsidi di jalur tak resmi ditawarkan ke desa-desa, termasuk desanya. Desa itu menerima kiriman 100 karung melalui perantara warga lokal dengan harga Rp 250.000 per kemasan.
Pupuk dijual lewat perantara yang juga satu desa dengan Poniman. Perantara itu minta pembayaran di muka, baru nanti pupuk didatangkan dengan kapal dari Palembang. ”Kan, seharusnya petani bisa beli lebih murah dari yang tak resmi itu kalau alokasi sesuai,” ujarnya.
Di desa Poniman, pupuk subsidi tak resmi itu laris. Namun, petani membeli dengan sembunyi-sembunyi. Mereka takut meski hanya membawa 1-2 karung saja. Sementara itu, ratusan ton pupuk subsidi melenggang bebas di jalur tak resmi selama bertahun-tahun.