Tidak hanya sulit mengakses pupuk bersubsidi, petani menanggung beban pembelian produk paketan. Produk yang tidak dibutuhkan petani, diwajibkan sejumlah pengecer.
Oleh
ANDY RIZA HIDAYAT,DHANANG DAVID,IRENE SARWINDANINGRUM,INSAN ALFAJRI,RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
INDRAMAYU, KOMPAS - Petani di sejumlah daerah diharuskan membeli produk paketan demi mendapatkan pupuk bersubsidi. Ini membuat petani harus menanggung beban ganda. Selain pupuk subsidi kerap dijual di atas harga eceran tertinggi, petani juga harus membeli produk paketan yang tidak mereka butuhkan.
Di Indramayu, Jawa Barat, petani di dua kecamatan mengeluhkan sistem paketan ini. Produk paketan didistribusikan bersamaan dengan pupuk bersubsidi menggunakan truk, pertengahan Desember 2021 di Desa Kertasemaya, Kecamatan Kertasemaya.
Pengecer kemudian menjualnya bersamaan dengan penebusan pupuk bersubsidi oleh petani. Di Kios Ajiy Jaya, Desa Jengkok, Kecamatan Kertasemaya, petani setempat tidak berkutik saat pengecer mewajibkan pembelian paketan bersama pupuk bersubsidi. Padahal, Ajiy Jaya adalah kios resmi pupuk bersubsidi.
Di kios itu, Irul (30), petani Desa Jengkok membeli pupuk urea bersubsidi Rp 300.000 per 100 kg. Namun, selain itu, dia harus membeli produk paketan, seperti Fertiphos (produk CV Saprotan Utama) Rp 175.000 per 50 kg.
Sebenarnya dia tidak mau membeli karena tidak membutuhkannya. Namun, karena dipaketkan dengan pupuk bersubsidi, dia terpaksa menebusnya. ”Kalau tidak beli paketan, tidak dapat pupuknya,” kata Irul, Minggu (23/1/2022). Saat Kompas menyamar sebagai pembeli pupuk bersubsidi, penjaga kios meminta agar sekalian membeli dua paket pestisida untuk setiap dua kuintal pupuk bersubsidi. ”Ini demi hubungan bisnis supaya lancar,” kata Mansur penjaga kios.
Saat dikonfirmasi, pemilik Kios Ajiy Jaya, Juhadi, selalu mengelak. Namun, pemilik kios tidak ada di tempat. Lewat sambungan telepon, dia hanya menjawab belum saatnya membicarakan soal pembelian paketan pupuk bersubsidi oleh petani. ”Untuk saat ini mungkin belum tepat waktu karena posisi saat ini lagi sibuk tanam padi,” tutur Juhadi.
Pengalaman serupa dialami petani di Kecamatan Lelea, Indramayu, Sukalim (53). Dia terpaksa membeli insektisida meski tidak membutuhkan di kios pengecer resmi. ”Jika tidak beli pupuk dengan paketan tak dapat pupuk bersubsidinya. Saya tidak kenal merek itu,” katanya.
Untuk menebus 1 kuintal urea bersubsidi, dia harus membeli produk paketan 4 kg. Dia menebus urea 1 kuintal Rp 230.000, sementara produk paketannya Rp 70.000 per 4 kg sehingga total menjadi Rp 300.000. Dia membeli pupuk bersubsidi dengan paketan itu di salah satu kios di Desa Nunuk, Kecamatan Lelea, Indramayu.
Maulani, pengelola Kios Bogor Tani, Desa Tenajarlor, Kecamatan Kertasemaya, Indramayu, mengakui adanya produk titipan distributor. Dia menunjukkan produk tersebut di kiosnya. Meski produk itu dari distributor, dia kadang menolak diturunkan di kiosnya. Tetapi itu tidak selalu dilakukan. "Karena saya tidak enak dengan distributor,” kata Maulani.
Dani, Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Indramayu dengan nama samaran, mengakui banyak laporan petani tentang paketan. Namun, petani belum berani mempermasalahkan secara terbuka. ”Ini bukan rahasia lagi, banyak orang sudah tahu soal ini,” ujarnya.
Produk paketannya antara lain insektisida, pestisida, dan obat-obatan pembasmi hama tanaman lainnya. Dani tidak tahu apakah Komisi Pengawas Pupuk dan Pestisida (KP3) memantau hal ini.
Saat dikonfirmasi, pihak distributor menampiknya. Syahrul, Accounting Manager PT Mega Utama Sakti, Indramayu, mengatakan, produk paketan tidak dipaksakan kepada petani. Menurut Syahrul, petani pasti membutuhkan obat-obatan. ”Jika hanya pupuk bersubsidi, misalnya, kualitas kurang bagus,” ujarnya.
Di Boyolali, kios penyalur juga menerima produk paketan dari distributor. Namun, tidak semua kios mau menjualnya, salah satunya Tedi, seorang pengecer dengan nama samaran. Menurut Tedi, kios diikat perjanjian kerja sama dengan distributor mengenai paketan. ”Itu (paketan) ada di surat pernyataan terpisah. Penyalur wajib membuat proposal berisi surat pernyataan kios untuk mengakomodasi kepentingan distributor,” kata Tedi.
Di kiosnya, ada 38 botol produk paketan pupuk organik cair yang tidak dijual ke petani. Tedi belum pernah menerima pembekalan penggunaan produk itu. Apakah ada sanksi bagi kios jika tidak menjual produk distributor, Tedi menjawab, ”Sanksinya berantem.”
Di wilayah kerjanya, petani tidak meminta alokasi pupuk organik cair seperti yang tertuang dalam e-RDKK. Namun, distributor memberikan pupuk organik cair. Ini yang membuat Tedi tidak tega menjual ke petani. Petani pun keberatan menebus produk yang mereka belum tahu kualitasnya. ”Buat apa ada produk paketan kalau kami tidak membutuhkan,” kata Edy, petani di Boyolali.
Niken, distributor dari CV Persada Tani, Pupuk Sriwijaya, membantah ada produk paketan. ”Kalau di kami tidak ada produk paketan. Kami hanya menyalurkan pupuk subsidi,” ujarnya.