Ponsel Hanya Memicu, Bukan Menyebabkan Gangguan Mental Gen Z

Bisa jadi Gen Z sebenarnya sudah punya masalah mental. Penggunaan ponsel dan akses media sosial hanya memicunya.

AP PHOTO/PAU VENTEO

Seorang pengunjung tengah mencoba produk ponsel buatan Huawei, Huawei Mate X5, pada Mobile Congress 2024 di Barcelona, Spanyol, 26 Februari 2024.

Anak tantrum setelah ponsel atau gawainya diambil orangtua sering terlihat di tempat-tempat umum. Anak-anak itu berteriak, menangis kencang, hingga memukul atau menendang apa saja di sekitarnya. Bahkan, pada kasus di Cirebon, Jawa Barat, seorang anak sampai mengalami depresi kala ponselnya diambil.

Media Inggris, The Independent, Senin (13/5/2024), menulis semakin banyak anak dan remaja terserang kecemasan dan penurunan suasana hati. Media tersebut mengutip konsultan psikolog untuk Cygnet Health Care, Seb Thompson.

Baca juga: Anak di Cirebon Depresi Setelah Ponselnya Dijual untuk Makan Sehari-hari

Kecemasan akan muncul karena kekhawatiran terhadap masalah-masalah tertentu, misalnya sekolah. Ketika sudah dilanda kecemasan, mereka akan mengalami gangguan panik, obsesif-kompulsif, stres pascatrauma, kesulitan dalam menjalin keterikatan, dan depresi.

Di India, seorang mahasiswa mengalami depresi sampai masuk rumah sakit. Ankush Patil (20) tertekan setelah ponselnya disita kala ketahuan curang dalam ujian.

AP/MARK LENNIHAN

Anak balita bermain ponsel di kereta bawah tanah di New York, Amerika Serikat, pada Desember 2017.

Ada banyak kasus lain di banyak tempat. Risiko dan dampak negatif penggunaan ponsel atau gawai seperti ini yang menjadi ”senjata” perlawanan warga terhadap industri teknologi komunikasi.

Puluhan negara bagian di Amerika Serikat, termasuk New York dan California, misalnya, menggugat Meta Platforms Inc. Pemilik Facebook dan Instagram itu dinilai merugikan anak muda.

Baca juga: Refleksi Mentalitas Kita di Media Sosial

Meta juga dinilai berkontribusi pada krisis kesehatan mental remaja. Meta dituding sengaja merancang fitur-fitur yang dapat membuat anak-anak kecanduan.

Krisis mental

Kekhawatiran akan krisis kesehatan mental anak dan remaja ini meningkat. Dalam 10 tahun terakhir, remaja dan dewasa muda di AS semakin banyak yang mengalami depresi, kecemasan, dan masalah kesehatan mental lain.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Salah satu proses produksi konten untuk live Tiktok yang dilakukan oleh Tim Medis Sosial Harian Kompas di Jakarta, Rabu (5/4/2023).

Guru besar psikologi di San Diego State University, Jean Twenge, menemukan ada peningkatan signifikan pada remaja dan dewasa muda yang mengalami depresi berat, putus asa. Bahkan, dalam risetnya, ia menemukan anak muda berpikir untuk menyakiti diri sendiri hingga bunuh diri.

Masa remaja AS berubah drastis. Tiga dekade lalu, ancaman kesehatan masyarakat yang paling parah terhadap remaja di AS datang dari pesta minuman keras dan mengemudi dalam keadaan mabuk.

Ancaman juga datang dari kehamilan remaja dan kebiasaan merokok. Kini, kasus-kasus itu menurun. Penggantinya berupa peningkatan gangguan kesehatan mental.

Baca juga: Gen Z Cemaskan Perubahan Iklim dan Dampak Bencana yang Ditimbulkan

Dalam laporan pada 3 Mei 2022, The New York Times menulis, krisis kesehatan mental sering dikaitkan dengan penggunaan ponsel yang berlebihan dan maraknya media sosial. Terlalu lama menggunakan ponsel menyebabkan remaja kurang tidur dan olahraga. Mereka juga tak banyak bertemu secara langsung dengan teman-temannya.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Gaya pengunjung saat berfoto dengan latar bangunan kuno dan suasana Kota Lama, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (10/5/2024).

Padahal, interaksi langsung penting untuk perkembangan fisik dan psikis yang sehat. Banyak remaja semakin menarik diri dari lingkungan sosialnya. Dalam jangka panjang, hal itu bisa berakibat kecemasan, depresi, perilaku kompulsif, menyakiti diri sendiri, dan bahkan bunuh diri. Contoh kasusnya seperti yang terjadi pada Fat Cat, remaja China yang bunuh diri.

Pembatasan penggunaan

Khawatir pada nasib masa depan anak-anak muda Perancis, Presiden Emmanuel Macron membuat tim khusus. Tim itu menyusun aturan pembatasan penggunaan ponsel pintar dan media sosial bagi anak dan remaja. Anak-anak di bawah usia 11 tahun dilarang memiliki ponsel.

Baca juga: Penganggur Berlimpah, Gen Z Lelah dan Gerah pada Pameran Kemewahan di Media Sosial

Sementara penggunaan telepon pintar dengan akses internet dilarang bagi siapa pun di bawah usia 13 tahun. Aplikasi media sosial juga dilarang bagi siapa pun yang berusia di bawah 15 tahun. Mereka hanya boleh mengakses pelantar terbatas yang dinilai ”mendidik”. Anggota parlemen akan menentukan pelantar media sosial itu.

Sementara lembaga kesehatan mental anak dan remaja di Inggris, Place2Be, menyampaikan, satu dari lima anak mengalami masalah kesehatan mental. Pada 2021-2022, hampir 1 juta anak dan remaja mengakses layanan bantuan kesehatan mental.

Anak-anak yang kecanduan ponsel, gawai, dan gim video lebih mungkin menderita gangguan psikotik di kemudian hari. Para ilmuwan Kanada menjelaskan, penggunaan ponsel pintar dan media sosial pada masa remaja dapat memicu paranoia, delusi, halusinasi, dan ”ide-ide aneh” ketika seseorang mencapai usia 23 tahun.

Tim peneliti Kanada yang menulis di jurnal JAMA Psychiatry menyebut, sebenarnya teknologi informasi dan komunikasi itu bukan penyebab utamanya. Bisa jadi si anak sudah rentan terhadap penyakit mental.

”Meningkatnya penggunaan media dan masalah kesehatan mental tampaknya memiliki faktor risiko yang sama, seperti masalah kesehatan mental orangtua, kesepian, intimidasi, dan masalah hubungan orangtua-anak,” ujar para peneliti dalam jurnal itu.

Studi tersebut mengamati kebiasaan media dan pengalaman psikotik dari 2.120 warga Kanada yang lahir pada 1997 dan 1998. Studi tersebut menemukan, mereka yang secara drastis mengurangi penggunaan komputer masih lebih sering mengalami pengalaman psikotik pada masa dewasa.

Penelitian ini juga mengatakan, penggunaan internet lebih terkait erat dengan depresi dibandingkan bermain gim video atau menonton televisi. Sementara itu, bermain gim mungkin lebih mendukung pengaturan emosi dan pengembangan keterampilan sosial dibandingkan bentuk teknologi ”pasif”, seperti televisi.

Baca juga: Fat Cat, Wajah Fenomena Bunuh Diri Pencengkeram Gen Z

Simona Skripkauskaite dari Universitas Oxford mengatakan, penggunaan teknologi digital yang tinggi pada masa remaja dapat menjadi penanda awal masalah mental. Penggunaan itu bukan penyebab.

Dia menambahkan, para ahli sudah tidak lagi melihat teknologi digital sebagai akar penyebab semua masalah. Bisa jadi, kondisi kesehatan mental seseorang sudah ”kurang baik”. Penggunaan ponsel hanya memicunya.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Anak-anak warga penyintas kebakaran di kawasan Sukabumi Selatan bermain bersama saat mengikuti sesi dukungan psikososial oleh BPBD dan PMI DKl Jakarta di posko pengungsian halaman Gedung Badan Pusat Statistik Kota Jakarta Barat, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Selasa (1/11/2022).

Awal tahun ini, Millennium Cohort Study, yang mengamati 18.000 keluarga, menemukan hampir separuh remaja Inggris merasa kecanduan media sosial. Penelitian terbaru yang dilakukan King's College London menyimpulkan, satu dari tiga orang memenuhi kriteria kecanduan ponsel pintar secara klinis.

Pencandu mungkin kehilangan kendali atas berapa lama mereka menggunakan ponsel. Mereka lalu menjadi tertekan ketika tidak dapat mengakses perangkat mereka dan mengabaikan semua hal yang lebih berarti dalam hidup mereka.

Tanda depresi

Lalu, bagaimana cara mengetahui bahwa anak atau remaja sedang depresi? Rachel Melville-Thomas, psikoterapis anak dan remaja serta juru bicara Association of Child Psychotherapists (ACP), berpendapat, tanda-tandanya bisa terjadi ketika anak atau remaja tidak mampu keluar dari rasa sedih yang berkepanjangan.

Atau, ketika suasana hatinya sedang buruk dan kehilangan minat pada aktivitas apa pun, termasuk aktivitas yang selama ini disukai. Mereka juga biasanya mudah tersinggung dan merasa lelah terus. ”Remaja yang depresi merasa perasaannya mati atau merasa hampa. Depresi biasanya disertai kecemasan berlebihan. Ini yang menyebabkan perubahan pola makan atau tidur,” ujarnya.

Anak dan remaja yang mengalami depresi cenderung tidak mau keluar rumah dan mungkin menarik diri dari keluarga. Mereka juga tidak akan mau menceritakan masalahnya. Alarm orangtua atau siapa pun harus segera menyala jika anak atau remaja mengaku merasa sedih, tetapi tidak dapat menjelaskan penyebabnya.

Baca juga: Anak Jadi Korban Kekerasan, Kesehatan Mental Orangtua Perlu Perhatian

Melville-Thomas menjelaskan, sangat sulit bagi anak muda untuk menggambarkan perasaan yang tampaknya tidak rasional. Biasanya mereka hanya akan sakit. Bisa sakit kepala, menstruasi, atau masalah perut.

”Kebanyakan orang ingin menemukan solusi logis dengan cepat. Akibatnya, mereka mengabaikan gejala-gejala depresi itu dan menganggapnya hanya gara-gara ’hormon’ atau ’suasana hati remaja yang naik turun’. Anak-anak dan remaja yang begitu harus diperhatikan makan dan tidurnya. Kalau bisa juga diajak pelan-pelan untuk mau membicarakan apa yang ada dalam pikiran mereka,” kata Melville-Thomas.

KOMPAS/ADRYAN YOGA PARAMADWYA

Warga bermain bola di kawasan Gelora Bung Karno, Jakarta, Jumat (16/2/2024). Menurut penelitian yang dipublikasikan di The British Medical Journal, berolahraga, seperti berjalan kaki, joging, yoga, dan latihan kekuatan fisik, dapat membantu meredakan depresi.

Jika orangtua mencurigai anak mereka mengalami depresi, langkah pertama yang harus dilakukan adalah datang ke dokter umum. Perawatan psikoterapi anak bisa diberikan dengan mengajak bicara atau ikut dalam permainan. Setelah itu, bisa dilakukan terapi perilaku kognitif yang menantang pola pikir dan tambahan pengobatan jika diperlukan. (REUTERS/AFP/AP)