Kekerasan fisik terhadap wartawan umumnya bermula dari perundungan siber. Mereka menerima ancaman daring.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·2 menit baca
PERUGIA, MINGGU — Era media sosial mengakibatkan perempuan wartawan menghadapi semakin banyak perundungan hingga ancaman daring. Sejumlah kasus di antaranya bereskalasi kepada kekerasan fisik. Penyaringan konten berisi ujaran kebencian dan imbauan melakukan kekerasan di media sosial mendesak dilakukan.
Fakta tersebut disampaikan oleh Julie Posetti, Direktur Penelitian Pusat Jurnalis Internasional (ICJF), ketika memberi pemaparan di Festival Jurnalisme Internasional Perugia (PIJF), Italia, Sabtu (20/4/2024).
”Sebelum ada media sosial, perempuan wartawan menghadapi lebih banyak ancaman dibandingkan kolega mereka yang laki-laki. Umumnya berupa pelecehan seksual, komentar yang tidak profesional, hingga ancaman kekerasan fisik,” tuturnya.
Maraknya media sosial, lanjut Posetti, membawa ancaman ini ke ranah daring. Akun-akun media sosial perempuan jurnalis ada yang dibombardir ujaran kebencian, ancaman pemerkosaan, hingga diretas dan diblokir.
Terjadi pula beberapa kasus foto-foto perempuan jurnalis diambil tanpa seizin mereka dan kemudian diedit agar mengandung unsur pornografi. Foto-foto palsu itu lalu diedarkan di internet.
ICJF bersama Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) mengadakan survei terhadap 900 perempuan wartawan dari 125 negara sejak 2022. Sebanyak dua pertiga dari responden mengatakan pernah mengalami perundungan daring, bahkan menerima ancaman pembunuhan atas diri mereka ataupun anggota keluarganya. Sebanyak seperlima dari responden mengaku ancaman-ancaman daring itu bereskalasi menjadi kekerasan fisik.
Marianna Spring, misalnya, wartawan BBC yang khusus mengulas hoaks dan disinformasi, mengungkapkan di dalam laporan ICJF-UNESCO tersebut bahwa dirinya menerima pesan-pesan daring dari akun anonim yang mengancam hendak membunuhnya. Ancaman itu bermunculan setelah Spring menulis serangkaian hasil liputan investigasi soal penjualan pelantar media sosial Twitter dan perubahan namanya menjadi X.
Wartawan dari Perancis, Nadia Daam, pernah menulis mengenai keberadaan berbagai komunitas daring dan dampaknya bagi masyarakat. Sejumlah pihak yang tersinggung membuntutinya secara daring. Daam bahkan sampai harus dua kali berpindah rumah saking merasa terancam.
Sejatinya, para wartawan, baik perempuan maupun laki-laki, rentan terhadap berbagai bentuk ancaman dan tindak kekerasan. Perbedaannya ialah, berdasarkan kajian Free Press Unlimited, mayoritas ancaman yang ditujukan kepada perempuan wartawan berbasis jender. Ancaman pemerkosaan dan wujud-wujud pelecehan seksual lainnya mendominasi.
Ancaman-ancaman daring ini tidak boleh dianggap remeh. Pada 2018, Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) menerbitkan laporan bahwa 40 persen kasus pembunuhan wartawan diawali dengan berbagai surat kaleng ataupun ujaran kebencian yang menyasar mereka di internet. Contohnya kasus pembunuhan Daphne Caruana Galizia, perempuan wartawan dari Malta yang ikut mengungkap Berkas Panama (Panama Papers) di negaranya.
Di India, tahun 2017, terjadi pembunuhan atas Gauri Lankesh, perempuan wartawan sekaligus redaktur di surat kabar mingguan Lakesh Patrike yang didirikan ayahnya. Ia sangat kritis terhadap Perdana Menteri India Narendra Modi dan Partai Bharatiya Janata (BJP) yang dinilai masyarakat semakin populis, bahkan cenderung ke ekstrem kanan. Baik Galizia maupun Lankesh, berbulan-bulan sebelum dibunuh, menerima ancaman-ancaman daring yang diunggah di berbagai pelantar media sosial.
Pencegahan
Posetti bekerja sama dengan Organisasi Kerja Sama dan Keamanan Eropa (OSCE) tengah menggodok perangkat pematauan, analisis, pencegahan, dan penanganan ancaman daring terhadap wartawan. Meskipun begitu, ia mengimbau agar berbagai perusahaan media arus utama, perusahaan teknologi, dan pemerintah menyiapkan sistem pencegahan dan perlindungan wartawan terhadap serangan siber.
Jessica Ziegerer, wartawati harian HD Sydsvenskan dari Swedia, menjelaskan, di redaksinya sudah terjalin kerja sama dengan konsultan keamanan. ”Setiap kali kami hendak menerbitkan hasil liputan yang sensitif, konsultan keamanan membantu menghitung risiko ancaman secara daring ataupun fisik sehingga redaksi bisa mengambil langkah untuk melindungi wartawannya,” katanya. (AFP)