Kunjungan Yellen Mengingatkan Tragedi Bisnis Opium di China
Isu produksi dan perdagangan antara China dan Barat sudah sangat sensitif sejak zaman Dinasti Qing.
Produksi China berlebihan dan prosesnya tidak berdasarkan mekanisme pasar serta didukung subsidi pemerintah. Hal ini bisa mengganggu produksi perusahaan-perusahaan negara lain, seperti India dan Meksiko. Jadi, China sebaiknya mengurangi produksi dan berpulang ke mekanisme pasar, bukan campur tangan negara.
Demikian antara lain pesan Menteri Keuangan Amerika Serikat Janet Yellen kepada China, 6 April 2024. Ia tiba di Guangzhou pada 4 April untuk kunjungan lima hari di China.
Baca juga: China Menjawab Taktik ”Devide et Impera” AS
Walau Yellen tidak menyebutkan langsung, media-media Barat mengungkap Uni Eropa juga memiliki kekhawatiran yang sama. Mereka mendukung tekanan AS pada China.
Tema kunjungan Yellen ke China kali ini tentang produksi berlebihan telah dianalisis para pakar dan pejabat China sebelum ia tiba. Opini pakar, para pejabat China, hingga Presiden China Xi Jinping senada, yakni Yellen telah membawa tekanan baru. Yellen tidak menepis pengenaan sanksi baru terkait produksi berlebihan China. Tekanan itu bisa diluncurkan berdasarkan aturan dagang, Section 301.
Dalam mengenakan saksi ke banyak banyak negara, AS menempuhnya tidak dengan mengutamakan peran Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), tetapi lewat Section 301. Sebaliknya, China menantang AS untuk mengajukan setiap persoalan lewat sengketa banding WTO.
Kunjungan Yellen kali ini tidak menyebabkan heboh tingkat tinggi soal perang ekonomi dua negara. Akan tetapi, perlawanan keras China amat terasa. Pandangan China sangat menyeluruh, sebagai reaksi atas tekanan terbaru dari Yellen.
Pandangan itu menyingkap hingga ke sejarah masa lalu, kala Inggris pernah menekan Dinasti Qing agar China membuka pasar. ”Tekanan di masa lalu berkembang hingga harga diri negara China ada di titik nadir,” kata Prof Rana Mitter dari University of Oxford.
Sejak Dinasti Qing
Kunjungan Yellen ini relatif tidak dipandang terlalu menakutkan oleh China. China sekarang adalah pusat pertumbuhan global dan siap melawan. Maka, solusi atas tekanan AS sangat krusial. Diharapkan AS-China memahami efek perseteruannya.
”Saya berharap relasi AS-China tetap berjalan baik,” kata Ketua Boao Forum for Asia Ban Ki-moon, yang juga mantan Sekretaris Jenderal PBB, 6 April, seperti dikutip The China Daily.
Globalisasi sekarang jauh lebih massal ketimbang masa lalu. Perekonomian global sangat terkait erat. Bentrokan keras relasi dagang AS-China akan merugikan kubu China dan non-China. Jika solusi bagus tidak didapatkan, hal itu akan mengganggu kubu China dan non-China.
Akan tetapi, solusi tidak akan mudah. Isu produksi dan perdagangan antara China dan Barat sudah sangat sensitif sejak zaman Dinasti Qing. Sejarah China dipermalukan oleh delapan negara, termasuk Jepang, didasarkan isu produksi dan perdagangan.
Pencaplokan Hong Kong oleh Inggris, lewat Traktat Nanking 1842, juga didasarkan pada kepentingan perdagangan. Salah satu tujuannya adalah memuluskan ekspor opium Inggris ke China. Hal serupa diikuti AS karena tidak mau ketinggalan dari inggris yang meraih untung menggiurkan dari bisnis opium.
Reaktif defensif
Maka, tidak heran komentar reaktif sudah muncul dari China terhadap kunjungan Yellen, seperti terlihat dari artikel berjudul ”The Real Reason for US, EU Complaints about Chinese Overcapacity”, 5 April, di harian The South China Morning Post. Artikel tersebut ditulis oleh Zhou Xiaoming, peneliti dari Centre for China and Globalization di Beijing dan mantan Wakil Misi Tetap China untuk PBB di Geneva.
Banyak ruang tembak yang diajukan untuk mementalkan argumentasi Yellen tentang kelebihan produksi. Apakah keluhan Yellen murni karena masalah produksi China berlebihan? Atau masalah terjadi karena perusahaan-perusahaan AS tidak beradaptasi terhadap selera konsumen tentang harga dan modifikasi produksi, seperti mobil listrik, panel tata surya, turbin angin, baterai lithium-ion? ”Bagi dunia, sudah jelas apa alasan AS di balik isu produksi berlebihan China,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Wang Wenbin, 3 April.
China berpendapat, misi Yellen adalah cara halus AS untuk memaksa China membuka pasar. Di sisi lain, seperti disampaikan Presiden Xi bahwa AS terus menekan China dalam industri cip dengan berbagai alasan. Tuduhan Yellen disebut sebagai kampanye sumir oleh Li Yong, peneliti senior pada China Association of International Trade, kepada The Global Times, 3 April.
Kerajaan Inggris bahkan menggunakan kapal perang untuk membuat China membuka pasar terhadap produk-produknya, termasuk opium, pada 1840-an.
Zhou menuliskan, Pemerintah AS tidak mengeluh ketika perusahaan-perusahaan teknologi informasi AS memiliki pangsa pasar tinggi di China. AS tidak mengeluh ketika industri otomotif AS dan Eropa berjaya di pasar China. Keluhan muncul setelah Barat kaget dengan mobil listrik dan produk-produk hemat energi dan bersih lingkungan. AS mengeluh karena kalah bersaing.
Kedatangan Yellen membuat Zhou mengingatkan modus Inggris di masa lalu untuk membuka pasar China. ”Kerajaan Inggris bahkan menggunakan kapal perang untuk membuat China membuka pasar terhadap produk-produknya, termasuk opium, pada 1840-an,” demikian Zhou.
Baca juga: AS-China Mencari Titik Temu
Apakah China mendominasi produksi dunia? Salah satu indikator tentang dominasi produksi negara-negara adalah pangsa ekspor-impornya terhadap total ekspor-impor global. Pangsa pasar China terhadap total ekspor global, baik barang maupun jasa, sebesar 11,267 persen pada 2023. Pangsa pasar impor China terhadap total impor global sebesar 10,254 persen terhadap total impor global pada 2023.
Data ini menunjukkan China memiliki surplus dalam perdagangan barang, tetapi selalu defisit dalam perdagangan jasa. Ekspor jasa China naik dari 57,68 miliar dollar AS pada 2003 menjadi 368,95 miliar dollar AS pada 2022. Impor jasa China naik dari 55,55 miliar dollar AS pada 2003 menjadi 461,25 miliar dollar AS pada 2022. Apakah ini cukup untuk menggambarkan kapasitas China berlebihan?
Opium gantikan perak
Masalah perdagangan Barat dengan China tidak saja peka. Isu ini telah mengkristal sebagai akar permusuhan dan kebencian China terhadap Barat. Jika China sekarang ini menjadi maju dalam perekonomian dan menakutkan Barat dari sisi produksi global, hal itu didasarkan pada sejarah perdagangan sejak zaman Dinasti Qing. China telah belajar dari sejarah agar tidak terulang, kata Xu Jin, penulis buku The Empire of Silver.
Sejak menjadi kekuatan utama dunia dan menjajah di mana-mana, Inggris ingin membuat China menjadi tujuan ekspor. Persoalan terjadi karena China tidak terlalu membutuhkan barang-barang dunia dengan produk-produk seperti rum, bulu, ginseng, cendana, dan teripang. Di sisi lain, produk-produk China bernilai lebih tinggi dan menggiurkan dunia, seperti porselen, sutra, dan karya seni.
Baca juga: China-Amerika Serikat Berebut Kekuasaan
Hal ini menjadi pemikiran Inggris sejak Raja George III hingga Ratu Victoria. Masalah lain adalah East India Company, perusahaan dagang negara Inggris, kesulitan membayarnya dengan perak, yang diminta China sebagai alat bayar. Impor Inggris dari China melampaui ekspornya. Situasi ini membuat Inggris kekurangan perak sebagai alat transaksi. The East India Company mengatasi hal itu dengan menyelundupkan opium. Kemudian opium menjadi alat bayar untuk produk-produk impor dari China (Opium-Captions | Cambridge University Library).
Dinasti Qing menyadari efek negatif opium. Sepertiga warga China telah kecanduan. Dinasti Qing menciduk opium milik Inggris dan membakarnya. Hal ini berujung pada serangan militer Inggris ke China dan memunculkan Traktat Nanking pada 1842. Dengan traktat ini Inggris tidak saja berhasil merebut Hong Kong, tetapi juga memaksa China membuka lima pelabuhan lain, selain hanya Kanton (Guangzhou).
Hal itu tidak cukup, kata Prof Robert Bickers, dari University of Bristol. Inggris ingin merambah keuntungan lebih banyak dari bisnis opium dengan memperluas pemasaran opium ke China daratan, bukan hanya sekitar pelabuhan.
Dipicu pencidukan kapal Inggris oleh pemerintahan Dinasti Qing, karena curiga berisikan opium, Inggris kembali menyerang China, termasuk membakar Istana Musim Panas di Beijing. Kali ini Perancis ikut-ikutan menyerang. China kalah telak dan lahirlah Traktat Tianjin 1858. Traktat ini memberi keleluasaan bagi asing untuk bermukim di China, termasuk keleluasaan soal hukum.
AS dan Jepang
AS, diwakili kelompok pebisnis kulit putih asal Boston dan Wilayah Timur Laut AS, turut memberi tekanan. AS dan China meneken pula Traktat Wangxia 1844. Isi traktat meniru isi perjanjian China-Inggris, dan keleluasaan bisnis opium asal AS.
Kemudian, Jepang muncul sebagai kekuatan baru. Jepang turut menekan China, termasuk demi kepentingan kolonisasi dan bisnis. Jadilah China dikuasai delapan negara asing, termasuk Rusia. Kepentingan dagang yang mencakup bisnis opium membuat harga diri China luluh lantak.
Hampir semua traktat itu meminta agar semua biaya serangan militer asing dibayari China, yang dianggap tidak tunduk. Efeknya adalah pemberontakan rakyat China, yang menilai dinasti amat lemah dan negara tidak punya harga diri lagi. Hampir seabad China hidup dengan status negara pariah. Kepentingan bisnis opium berkembang menjadi kesemena-menaan Barat di segala bidang, dan China tidak memiliki kedaulatan lagi.
Tekanan-tekanan seperti ini melekat dalam memori China. Bagi China, telah tertanam bahwa berbagai cara akan terus dilakukan Barat terhadap China. Presiden Xi sudah berkali-kali mengingatkan agar sejarah jangan pernah dilupakan. Tekanan terbaru Barat lewat kunjungan AS telah dijawab China.
”Boleh saja relasi AS-China diperbaiki dan China siap untuk itu. Namun, setiap tekanan tidak akan membuat China diam, dan rencana China untuk maju tidak bisa dihambat dan tak akan terhentikan,” demikian pesan Presiden Xi saat berbicara melalui telepon dengan Presiden AS Joe Biden, seperti dilaporkan The China Daily, 3 April.
Claire Reade, mantan Wakil Kepala US Trade Representative (USTR) untuk urusan China, mengatakan, mengingat posisi China sekarang sudah sangat beda, misi Yellen sebaiknya tidak membuat relasi kedua negara tergelincir. Ia melihat ada masalah dengan sistem perekonomian China, tetapi negosiasi yang baik merupakan keharusan. (REUTERS/AP/AFP)