Jalinan Masa Lalu dan Masa Kini di Tepian Sungai Yarra
Orang Aborigin telah mendiami Australia selama 50.000 tahun. Lembah Sungai Yarra salah satu kediaman mereka.
Masa lalu dan masa kini terjalin lestari di tepian Sungai Yarra, Melbourne. Di sana, kisah orang Aborigin diceritakan ulang. Di sana juga, kehidupan modern Australia terus bergerak.
Dalam setiap pertemuan di sepanjang tepi Sungai Yarra, penghormatan kepada penduduk asli Australia terus bergaung. Perdana Menteri Australia Antony Albanese melakukan itu kala membuka Konferensi Tingkat Tinggi Khusus ASEAN-Australia pada awal Maret 2024.
”Saya mulai dengan mengakui pemilik tradisional tanah tempat kami bertemu, masyarakat Wurundjeri Woi-wurrung. Saya memberikan penghormatan kepada para tetua mereka, dulu dan sekarang,” ujarnya.
Baca juga: Harmoni Alam di Perdesaan Melbourne
Salam itu penghormatan kepada klan Wurundjeri Woi-wurrung. Mereka adalah penduduk awal di hilir Sungai Yarra yang sekarang menjadi kota Melbourne.
Australia mempunyai dua kelompok penduduk pribumi, yaitu suku Aborigin dan penduduk Pulau Selat Torres. Mereka disebut First Peoples atau Masyarakat Pertama.
Orang Wurundjeri Woi-wurrung adalah suku Aborigin bagian dari bangsa Kulin. Bangsa Kulin merupakan gabungan dari lima suku Aborigin yang awalnya menghuni Lembah Sungai Yarra. Kini, lembah itu bagian selatan dari Negara Bagian Victoria.
Karena digelar di hilir Sungai Yarra, KTT Khusus ASEAN-Australia tidak hanya dibuka dengan salam dari Albanese. Pertemuan juga dibuka dengan ritual asap yang lazim dilakukan klan Wurundjeri Woi-wurrung.
Baca juga: Kalah Referendum, Bendera Aborigin Dikibarkan Setengah Tiang
Setelah menggelar tarian dengan iringan musik Aborigin, tetua kelompok itu mengasapi para kepala negara yang hadir. Satu per satu, para kepala negara ASEAN itu menerima asap dari sejenis daun yang dibakar.
Sungai kabut
Keturunan Wurundjeri dari keluarga Wandan, Dan Gavi, menyebut dulu orang-orang Wurundjeri Woi-wurrung terpusat di hilir sungai. Dulu, nama sungai itu Birrarung yang berarti ’sungai kabut dan bayangan’.
Secara kultural, hilir sungai itu merupakan situs penting bagi masyarakat Wurundjeri Woi-wurrung. Di sana jadi tempat pertemuan mereka. Dulu, mereka berkemah di kedua tepi sungai, menangkap belut di rawa-rawa dan menangkap ikan di sungai beramai-ramai.
Kini, lokasi pertemuan menjadi Gedung Pemerintahan dan Stadion Melbourne Cricket Ground. ”Melbourne punya nama asli Narrm untuk orang Wurundjeri Woi-wurrung. Sekarang sudah banyak orang lupa nama asli Narrm ini,” kata Gavi yang sekarang bekerja sebagai salah satu pemandu wisata di kawasan Sungai Yarra, Melbourne.
Baca juga: Aborigin Ratapi Hasil Referendum yang Menolak Akui Suku Pribumi
Birrarung menjadi Yarra karena kesalahpahaman pendatang Eropa yang bermukim di sana sejak 1835. John Wedge, salah satu pengamat yang dikirim organisasi pendatang Port Phillip Association, mendengar penduduk asli berseru ”Yarro Yarro” saat ia bertanya nama aliran di bawah sungai.
Padahal, yarro dalam bahasa Wurudnjeri berarti ’mengalir’. Ia menganggapnya sebagai nama sungai itu dan hingga sekarang nama yang salah itu masih bertahan.
Lebih dari 180 tahun kemudian, hilir Sungai Yarra itu menjadi pusat kota modern Melbourne. Kawasan hilir itu sekarang disebut Yarra River Precint, kawasan setara kelurahan, di dalam kota Melbourne.
Terintegrasi dengan berbagai moda transportasi modern, kawasan itu merupakan pusat bisnis, wisata, hingga pusat kuliner Melbourne. Beragam kedai makanan buka dari pagi sampai malam di tepian sungai itu. Sementara kapal untuk susur sungai tersedia dari pagi sampai sore.
Baca juga: Hidangan Perajut Simpul Keindonesiaan di Melbourne
Adapun sebagian artefak orang Aborigin disimpan di Koorie Heritage Trust. Lembaga itu merawat dan memamerkan sebagian artefak Aborigin. Pengelola menyediakan tur bagi turis yang ingin tahu tentang bumerang, mantel kulit dan bulu, serta tongkat khas suku Aborigin.
”Ini adalah ruang yang aman bagi semua orang untuk mempelajari Masyarakat Pertama dan membantu kita memelihara, menghormati, dan merayakan perjalanan berkelanjutan Masyarakat Pertama di Australia tenggara ini,” kata Kieran, salah satu pemandu di Koorie Heritage Trust.
Santapan kuno
Tak hanya artefak, kuliner kuno penduduk pribumi Australia juga lestari di Restoran Mabu Mabu. Restoran itu didirikan dan dipimpin Nornie Bero. Ia anggota klan Komet, bagian dari suku Meriam di Selat Torres. Bero menjadi koki lebih dari 25 tahun.
Restoran yang juga berada di tepi sungai tak jauh dari Koorie Heritage Trust itu khusus menyajikan santapan kuno dari Masyarakat Pertama Australia itu. Ada acar semangka yang segar dan kudapan dari asam yang manis dan sedap. Selain itu, ada masakan daun sukulen dan kudapan dari semak garam.
Untuk hidangan utamanya, terdapat beragam masakan daging dari satwa asli Benua Australia. Daging walabi, burung emu, dan burung gemak disajikan.
Baca juga: Warga Aborigin Tuntut Waktu Pensiun Lebih Cepat di Australia
Seluruh bahan pangan di restoran itu merupakan bahan yang dipanen secara lokal. Masakan-masakan dengan bumbu asli Masyarakat Pertama itu sungguh unik tiada banding.
Pegawai restoran itu antara lain Lily, orang Aborigin. Menurut Lily, Mabu Mabu bermulai dari kedai penjual rempah dan saus. Belakangan, kedai itu menjadi restoran dengan takaran sajian banyak. Dengan cara ini, pengunjung didorong makan bersama dan saling berbagi.
Model hidangan ini berakar dari arti Mabu Mabu yang berasal dari pepatah penduduk pribumi Selat Torres yang berarti ’silakan ambil sendiri’. Pepatah ini biasanya diucapkan sebelum memulai pesta bersama teman dan keluarga. ”Budaya pangan kami adalah tentang berbagi dan pengalaman berbagi ini sangat penting bagi kami,” kata Lily.
Museum tercanggih
Masa lalu Masyarakat Pertama Melbourne itu berpadu dengan teknologi modern kota. Tak jauh dari Koorie Heritage Trust dan Mabu Mabu terdapat museum yang disebut telah menggunakan teknologi tercanggih di kawasan Asia Pasifik. Dibuka secara resmi pada 2002, Australian Center for The Moving Image (ACMI) merupakan ruang pameran sejarah budaya layar dari televisi, bioskop, video gim, hingga seni layar modern.
Baca juga: Masyarakat Adat Australia Barat Meminta Lebih Dilibatkan dalam Pengambilan Keputusan
Museum ini bermula dari pusat film Negara Bagian Victoria pada 1940-an. Kini, museum itu menyediakan beragam pertunjukan. Ada film, ada pameran tiga dimensi, ada juga tayangan visual.
Salah satu pameran itu bertajuk Works of Nature (Karya Alam) besutan artis Marshmallow Laser Feast. Pameran yang ditayangkan Maret-April 2024 ini menampilkan sisi-sisi alam yang selama ini tersembunyi dari mata telanjang. Ada jaringan akar di hutan Amazon hingga jaringan pembuluh darah, jantung yang berdenyut, dan percikan sinyal neuron di otak manusia.
Memasuki ruang pameran ini, pengunjung seolah-olah terhipnotis dan dibawa ke alam yang begitu asing. Padahal, sebenarnya semua sangat dekat dengan kehidupan, bahkan ada dalam tubuh setiap manusia. Pengunjung juga bisa berinteraksi dengan sinar laser yang merespons gerak tubuh.
Setiap pengunjung ke ruang pameran dibekali alat setipis kartu yang bernama The Lens. Kartu itu untuk menyimpan karya seni digital yang dipilih pengunjung dari pameran. Cukup tempelkan kartu di titik tertentu pada pameran, maka karya seni bisa tersimpan.
”The Lens adalah salah satu hal yang paling modern yang kami kembangkan di sini. Jadi, orang bisa menikmati karya seni yang ditampilkan di sini dari mana pun,” kata Direktur Eksekutif Program ACMI, Kerry Elmsly.
Kendati modern, ACMI juga tak melupakan Penduduk Pertama. Pengelola museum itu telah meluncurkan Rencana Aksi Rekonsiliasi (RAP) sebagai penghormatan kepada Masyarakat Pertama.
Program ini komitmen ACMI untuk memastikan budaya Masyarakat Pertama diakui sebagai pusat kebudayaan Australia. Program itu juga komitmen memberikan ruang serta memperjuangkan seniman, praktisi, dan pencerita dari Masyarakat Pertama tersebut.
Baca juga: Miripnya Rumah Adat Aborigin dengan Rumah Honai Papua
Semangat melestarikan kultur penduduk pribumi Australia ini terasa kuat di tengah gelora wisata Sungai Yarra. Keberadaan mereka pasang surut. Diyakini sudah tinggal di Australia sejak 50.000 tahun lalu, saat ini suku Aborigin merupakan kelompok minoritas dengan hanya 3 persen saja dari populasi.
Pada Oktober 2023, sebagian warga pribumi Australia menyatakan kecewa dengan hasil referendum yang menolak amendemen konstitusi untuk memasukkan pengaturan khusus hak pribumi. Di tengah arus pasang surut itu, roh Wurungdjeri Woi-wurrung terus bergema di tepian Birrarung.