Lansia Korban Berita Bohong, Bercerai hingga Kehilangan Penghidupan
Karena gagap teknologi, berita bohong merusak kehidupan para lansia di Taiwan. Sebuah gerakan muncul melawannya.
Berita bohong atau berita palsu (hoaks)telah merusak kehidupan banyak warga lanjut usia lansia di Taiwan. Ada yang bercerai hingga kehilangan penghidupan di masa tua gara-gara termakan berita palsu itu. Berangkat dari keprihatinan atas fenomea itu, sebuah gerakan tumbuh dengan tujuan menyelamatkan warga lansia dari kepungan berita bohong.
Relawan kelompok Fake News Cleaner atau Pembersih Berita Palsu bekerja sejak fajar menyingsing, Senin (1/4/2024), untuk menyadarkan warga akan bahaya berita bohong. Kepada para lansia yang ditemui, mereka membuka percakapan dan bertanya bagaimana dampak berita palsu pada kehidupan mereka.
Melody Hsieh, salah satu pendiri kelompok itu, bercerita sempat terharu melihat banyak perpecahan karena berita palsu. Ada pasangan yang bercerai, seorang ibu yang mengusir anaknya dari rumah, hingga lansia yang kehilangan tanah dan penghidupannya karena berita bohong.
Cerita-cerita itu mulai banyak ia dengar pada 2018. Saat itu, kondisi Taiwan tegang karena sedang mengadakan referendum nasional mengenai sejumlah isu sosial.
Mereka menjadi tidak punya cara untuk berkomunikasi. Seluruh masyarakat sedang terkoyak, dan ini mengerikan.
Beberapa isu sosial di antaranya mengenai energi nuklir, pendidikan seks, dan pernikahan sesama jenis. Berita bohong yang memecah belah warga pun bertebaran. Kelompok lansia menjadi kalangan yang paling rentan menjadi korban.
Pada saat banjir berita bohong itulah Hsieh mendirikan Fake News Cleaner bersama Shu-huai Chang. Mereka bertemu dengan para lansia korban berita palsu. Salah satunya petani dan penjual sayuran pakis yang kehilangan penghidupan gara-gara berita palsu. Berita itu menyebutkan, sayuran pakis atau guomao dalam bahasa lokal itu dapat menyebabkan kanker.
Usahanya jatuh. Ia harus menjual sebagian tanahnya. Selama setahun, tak ada yang berani makan sayur guomao, bahkan restoran pun tidak lagi memesan. ”Teruskan pekerjaanmu, ini sangat penting,” kata petani sayuran itu kepada Hsieh dan Chang.
Baca juga: Usia Tak Hambat Seseorang Menjadi Teladan
Pada awal berdirinya, kelompok kecil di Taipei ini bergerak dari gereja, kuil, dan taman serta mendirikan kios kaki lima untuk mencari para lansia. Kepada mereka, Fake News Cleaner berusaha menjelaskan dan menyadarkan pentingnya memeriksa kebenaran sebuah berita.
Salah satu hal terpenting, mereka mengajarkan cara mengetahui apabila berita itu bohong serta cara mengetahui kebohongannya. Mereka mengajari kepada lansia melihat hal-hal yang tidak logis dalam teori konspirasi untuk menemukan fakta di balik narasi palsu. Tak lupa, kelompok ini juga menawarkan sabun batangan gratis kepada para lansia itu sebagai simbol pembersihan yang mereka lakukan.
Gagap teknologi
Seperti masyarakat demokratis lainnya, Taiwan dibanjiri berbagai jenis disinformasi. Ada soal teori konspirasi mengenai vaksin dan klaim soal kesehatan yang sebenarnya bertujuan mempromosikan suplemen tertentu. Ada pula rumor tentang perusahaan-perusahaan besar hengkang dari Taiwan.
Meskipun bersifat publik, disinformasi memiliki dampak yang sangat pribadi dan menyentuh kehidupan warga secara langsung. Fenomena ini terutama terjadi di kalangan lansia Taiwan.
Baca juga: Warga Lanjut Usia Rentan Mengalami Disabilitas
Penyebab utamanya, para lansia gagap teknologi. Berita bohong memanfaatkan kesenjangan komunikasi antargenerasi dan kemudian membuatnya semakin lebar hingga menimbulkan gejolak. ”Mereka menjadi tidak punya cara untuk berkomunikasi. Seluruh masyarakat sedang terkoyak, dan ini mengerikan,” kata Hsieh.
Saat ini sudah banyak organisasi pengecekan fakta di Taiwan. Salah satunya Co-Facts, bot pengecekan fakta berbasis kecerdasan buatan (AI) yang didirikan sekelompok peretas sipil. Ada juga Pusat Pemeriksaan Fakta Taiwan dan MyGoPen.
Namun, pengguna tentunya harus melek teknologi terlebih dulu untuk menggunakannya. Setidaknya mereka harus dapat menemukan dan membuka laman organisasi itu atau menambahkan bot pengecekan fakta. Kenyataannya, banyak lansia yang menjadi korban berita bohong itu tak dapat menggunakannya.
Untuk mengatasi kesenjangan itu, Fake News Cleaner memilih pendekatan kuno, yaitu datang langsung. ”Banyak lansia dibelikan ponsel mahal oleh anak-anak mereka, tetapi tak tahu cara menggunakannya. Terkadang anak-anak mereka membuatkan akun Facebook atau Line, tetapi tidak menjelaskan fenomena berita bohong yang tengah melanda,” kata Moon Chen, Sekretaris Jenderal Fake News Cleaner.
Hal itu menimbulkan masalah. Algoritma menyajikan laman tak jelas, sumber utama informasi menjadi kabur, dan orang menjadi bingung. Salah satu peserta lansia, Chuang Tsai-yu, yang mengikuti ceramah kelompok tersebut sempat memukul-mukul dadanya hanya karena melihat pesan daring yang menyarankan orang memukul dada mereka saat jantung terasa tak nyaman.
Dia baru sadar cara itu salah saat dokternya memberi tahu segera ke rumah sakit saat jantung terasa tak nyaman. ”Kami benar-benar percaya berita yang dikirimkan orang kepada kami. Ketika menua, kita tidak punya banyak pemahaman tentang dunia luar,” katanya.
Jaga independensi
Fake News Cleaner telah menjadi suara kunci dalam upaya membersihkan Taiwan dari berita bohong dan segala masalah yang ditimbulkannya. Sejak berdiri, kelompok itu telah menyelenggarakan lebih dari 500 acara. Enam tahun kemudian, sasaran mereka meluas. Selain lansia, kelompok ini sekarang berkembang dengan mengajar di perguruan tinggi dan sekolah dasar.
Baca juga: Gagap di Dunia Maya
Mereka mengisi ruang sekolah dasar hingga kampus dan terus mengajar para lansia di desa nelayan, gereja, atau kuil tempat banyak lansia berkumpul. Semuanya dilakukan hanya dengan satu karyawan formal dan beberapa anggota sukarelawan. Kini kelompok tersebut terus berkembang dan membuka kursus satu semester di kampus komunitas di Kaohsiung.
Prinsip yang terus mereka pegang adalah menjaga independensi. Fake News Cleaner menghindari politik dan tidak menerima dana dari pemerintah atau partai politik. Alasannya, lingkungan politik Taiwan sangat terpolarisasi. Media sering kali merujuk pada warna partai politik yang mereka dukung.
Sebaliknya, kelompok tersebut fokus pada topik sehari-hari, seperti kesehatan, pola makan, atau penipuan ekonomi. Salah satunya terlihat di pusat komunitas di Gereja Bangkah di Wanhua, Taipei.
Baca juga: Kabar Bohong Masih Akan Membayangi 2024
Sekelompok lansia terlihat antusias mendengarkan sukarelawan, Tseng Yu-huan (28). Ia tengah menjelaskan mengapa berita palsu begitu menarik serta bagaimana berita sensasional menghasilkan uang untuk pihak yang menyebarkannya.
Berita pertama adalah soal campuran smoothie daun ubi jalar dan susu dikatakan sebagai minuman pembersih racun (detoks). Berita bohong lainnya adalah rumor yang menyebut Coviid-19 menyebar dari India karena adanya mayat di sungai. Tseng banyak mengambil berita bohong itu dari Line, aplikasi pesan asal Korea Selatan yang populer di Taiwan.
Tseng mengatakan, kuncinya adalah mengajari masyarakat untuk berpikir tentang apa yang mereka konsumsi dan tidak hanya membaca artikel yang sudah diperiksa faktanya. ”Apa yang kita hadapi bukanlah soal benar atau salah. Ini sebenarnya tentang hubungan keluarga dan teknologi,” katanya.
Tseng menjelaskan, berita palsu mengandalkan emosi untuk menghasilkan klik. Sering kali, berita utama bersifat sensasional dan langsung menarik tiga jenis emosi, yaitu kebencian, panik, atau kejutan. ”Sebuah klik atau tampilan halaman berarti lebih banyak uang untuk laman tersebut,” kata Tseng di hadapan para lansia dan pensiunan. (AP)