Tegang Selepas Serangan Crocus
Teror Crocus jadi alasan meneruskan serangan ke Ukraina. Rusia punya banyak persenjataan dan pasukan untuk melakukannya.
Setelah sepekan Balai Crocus, Moskwa, diserang, ketegangan terus meningkat di Rusia dan Ukraina. Saling tuding Barat dan Rusia sama-sama memicu kecurigaan tentang siapa penanggung jawab serangan.
Suasana di Moskwa pada Sabtu (30/3/2024) berangsur-angsur pulih. Walakin, penjagaan masih ketat selepas Balai Crocus diserang pada 22 Maret 2024. Di berbagai penjuru Moskwa, polisi dan tentara bersenapan terus melakukan patroli.
Baca juga: Rusia Tenggelam dalam Duka
Sejumlah warga menceritakan, sebelum terjadi serangan teror, tidak ada pemeriksaan saat memasuki gedung tempat mereka bekerja. Namun, setelah serangan, polisi memeriksa dokumen dan barang bawaan mereka.
Rusia akan mencari cara lain untuk meningkatkan serangan ke Ukraina.
Hal serupa tampak di stasiun-stasiun, kompleks ATOM Pavillion, dan Lapangan Merah. Pemeriksaan di pintu imigrasi pun menjadi lebih ketat. Sejumlah warga negara asing sempat mengalami pemeriksaan berulang di Bandara Sheremetyevo, Moskwa.
”Tentu membuat agak tidak nyaman. Namun, dapat dipahami karena faktor keamanan, dampak serangan kemarin,” kata seorang warga yang menolak identitasnya diungkap.
Penembakan itu mencoreng wajah Pemerintah Rusia dan semua aparat keamanannya. Kejadian Jumat malam itu juga hanya berselang empat hari setelah kemenangan petahana, Presiden Rusia Vladimir Putin, di pemilu.
Sigap menuding
Putin dan sejumlah pejabat Rusia serta-merta menuding Ukraina terlibat dalam serangan itu. Direktur Badan Keamanan Federal (FSB) Alexander Bortnikov malah menuding Amerika Serikat dan Inggris di balik serangan itu. ”Kami percaya bahwa tindakan tersebut dipersiapkan oleh kelompok Islam radikal itu sendiri dan difasilitasi oleh badan khusus Barat,” kata Bortnikov.
Baca juga: Rusia Tuding Ukraina Terlibat Serangan di Dekat Moskwa, Korban Tewas Jadi 133 Orang
Ukraina jelas menyangkal keras. Sementara AS dan sekutunya segera menyebut Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) bertanggung jawab. NIIS juga mengklaim bertanggung jawab pada serangan itu.
Rusia telah menangkap 11 orang selepas serangan itu. Sebagian merupakan pekerja migran dari Tajikistan. Karena itu, Rusia menggandeng Tajikistan untuk memburu orang-orang terkait serangan tersebut.
Direktur Kajian Eurasia dan Rusia pada Georgetown University, Angela Stent, menyebut tudingan Moskwa dan Washington justru memicu pertanyaan. ”Sampai sekarang, tidak ada bukti yang benar-benar kuat soal siapa yang bertanggung jawab,” ujarnya kepada BBC.
Baca juga: Cikal Bakal NIIS di Rusia, Mengapa Mereka Serang Jantung Pemerintahan Putin?
Direktur Kajian Eurasia pada James Martin Center for Nonproliferation Studies Hanna Notte berpendapat senada. Ia mengingatkan, perbatasan Rusia-Ukraina dijaga amat ketat. Karena itu, sulit dipahami jika kelompok penyerang Crocus bisa leluasa bolak-balik Rusia sebelum dan selepas serangan.
Stent mengatakan, Rusia pasti menjadikan peristiwa Crocus sebagai alasan meningkatkan serangan ke Ukraina. Insiden itu juga menjadi alasan untuk meneruskan serbuan ke Ukraina.
Meski demikian, ia ragu Rusia akan kembali memobilisasi pasukan dari warga sipil. Terakhir kali Rusia memobilisasi, ribuan warganya lari ke luar negeri. ”Rusia akan mencari cara lain untuk meningkatkan serangan ke Ukraina,” katanya.
Notte mengatakan, satu-satunya kebutuhan Rusia terkait perang Ukraina saat ini adalah alasan untuk mempertahankan perang. Rusia mendapat pasokan senjata dari Iran dan Korea Utara. Pasukan dan persenjataan Rusia lebih banyak dari Ukraina.
Baca juga: Tersangka Teror Moskwa Jalani Persidangan Awal
Memang, ada lonjakan serangan Rusia ke Ukraina. Kementerian Pertahanan Rusia menyebut, 58 gelombang serangan dilancarkan ke Ukraina pada 23-30 Maret 2024. Rusia menggunakan rudal dan pesawat nirawak yang diluncurkan dari darat, laut, dan udara.
Sasaran serangan diklaim obyek-obyek militer dan infrastruktur pendukung operasi militer Ukraina. ”Perusahaan pada industri pertahanan, pusat komando, pusat produksi wahana nirawak, gudang amunisi, gudang persenjataan dimusnahkan,” demikian pernyataan pada Sabtu malam.
Rusia tidak menyebut secara pasti lokasi-lokasi yang disebut sebagai obyek militer itu. Hal yang jelas, serangan Rusia kerap menghancurkan bangunan di area permukiman sipil. Berulang kali rumah susun, pusat perbelanjaan, perkantoran, hingga sekolah di Ukraina diledakkan rudal dan pesawat nirawak Rusia.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy mengatakan, Rusia selalu menutupi sasaran serangannya. Sejak awal perang, Rusia, antara lain, rutin menyerang infrastruktur energi Ukraina. ”Teroris Rusia melancarkan serangan keji dalam upaya menghabiskan daya Ukraina,” katanya.
Baca juga: Rudal Inggris Hantam Pangkalan Rusia di Crimea
Para pekerja sektor energi Ukraina berusaha mengatasi dampak serangan itu. ”Pekerja sektor energi, tim perbaikan, pekerja konstruksi bekerja tanpa lelah sepanjang pekan. Mereka berusaha memulihkan setelah serangan Rusia,” katanya pada Sabtu malam.
Ia kembali meminta dikirimi arhanud dan rudal untuk mempertahankan Ukraina dari Rusia. Mitra-mitra Ukraina disebutnya paham kebutuhan itu.
Tamparan keras
Serangan Crocus menampar Putin dan aparat Rusia. Aparat dinilai terlalu sibuk mengawasi oposisi sehingga melalaikan potensi serangan.
Presiden Yayasan Politik St Petersburg Mikhail Vinogradov menilai ada yang salah dalam sistem keamanan dalam negeri Rusia. Akibatnya, Rusia jadi sasaran salah satu serangan paling mematikan dalam beberapa tahun terakhir. Apalagi, sebenarnya banyak aparat di sekitar Balai Crocus sebelum serangan terjadi.
Analis pada UCL School Slavonic and Eastern European Studies London, Mark Galeotti, menyebut serangan itu melemahkan citra Putin. Selama ini, Putin dicitrakan kuat. Ternyata, setelah kejadian Crocus, kemampuan pemerintahan Putin menjaga keamanan dalam negeri diragukan.
Baca juga: Putin Mengakui Keterlibatan Kelompok Radikal dalam Serangan di Moskwa
Karena itu, Putin berusaha mencari solusi dengan cara menyalahkan Ukraina dan sekutunya. Setelah itu, Putin akan mencari cara meneruskan serbuan ke Ukraina.
”Jadi, dari sudut pandangnya, kapan pun dia bisa mengemukakan sesuatu, menambahkan sesuatu sebagai bukti bahwa Kyiv berada dalam cengkeraman negara teroristik. Kondisi itu bagus baginya,” kata Galeotti. (AFP/REUTERS)