AS Diam-diam Kirim Bom dan Pesawat Tempur untuk Israel
AS mengirim ribuan bom dan puluhan jet tempur untuk Israel saat pejabatnya sering sebut perlu gencatan senjata di Gaza.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
WASHINGTON, SABTU — Pemerintah Amerika Serikat kembali mengirimkan ribuan bom dan puluhan jet tempur kepada Israel. Langkah itu dinilai kontradiktif dengan sikap AS yang sebelumnya meminta gencatan senjata untuk melindungi warga sipil di Gaza.
Presiden AS Joe Biden menyatakan, pemerintah ikut merasakan kesedihan yang dirasakan warga keturunan Arab di AS akibat perang di Gaza. Selama ini, warga keturunan Arab, warga Muslim, dan aktivis antiperang dibuat marah dan kecewa terhadap dukungan AS kepada Israel.
”Kita harus hening sejenak untuk menghormati penderitaan yang dirasakan komunitas warga keturunan Arab akibat perang di Gaza,” kata Biden dalam pidatonya memperingati Arab American Heritage Month, Jumat (28/3/2024) malam waktu setempat atau Sabtu dini hari waktu Indonesia.
Beberapa jam setelah pernyataan Biden tersebut dirilis Gedung Putih, The Washington Post melaporkan bahwa Pemerintah AS diam-diam kembali menyetujui pemberian bantuan senjata untuk Israel. Paket senjata yang dikirim AS kepada Israel meliputi 1.800 buah bom MK84 dan 500 buah bom MK82.
Bom MK84 yang beratnya 2 ton itu bisa meratakan kota dan menimbulkan lubang di tanah dengan lebar lebih dari 12 meter. Bom jenis ini tidak lagi digunakan militer Barat untuk berperang di kota padat penduduk karena besarnya risiko warga sipil yang bakal menjadi korban.
Israel menggunakan bom MK84 secara masif di Gaza, salah satunya untuk membumihanguskan pengungsian di Jabaliya pada 31 Oktober 2023. Para pejabat Perserikatan Bangsa-Bangsa mengecam serangan yang membunuh lebih dari 100 orang itu sebagai serangan tidak terukur dan dapat dikategorikan kejahatan perang.
Kementerian Kesehatan di Gaza mengatakan, jumlah korban tewas di Gaza per Sabtu (30/3/2024) sudah lebih dari 32.700 jiwa, mayoritas perempuan dan anak-anak. Serbuan Israel ke Gaza dilakukan setelah serangan Hamas ke Israel selatan, menewaskan 1.160 warga pada 7 Oktober 2023. Selain itu, Hamas juga menculik 250 warga Israel.
Sejumlah politisi Demokrat yang merupakan pendukung Biden mengatakan, Pemerintah AS saat ini punya tanggung jawab menghentikan bantuan senjata karena Israel belum menyatakan komitmennya mencegah warga sipil jadi korban dalam rencana serangan darat ke Rafah, yang disebut Israel sebagai benteng terakhir Hamas. Blokade Israel menghalangi bantuan kemanusiaan internasional membuat warga Rafah di ambang kelaparan.
”Sebelum mengirim lebih banyak bom ke Gaza, pemerintahan di bawah Presiden Biden harus menggunakan pengaruh mereka secara efektif dan harus mendesak (Israel) agar berkomitmen (mengurangi korban warga sipil). Kita harus membuktikan perkataan dengan tindakan,” ujar Senator Chris Van Hollen dalam wawancara dengan The Washington Post.
Pemerintah AS telah mendesak Israel agar tidak melancarkan serangan ke Rafah sebelum memiliki rencana matang untuk mengevakuasi warga sipil. Di Rafah terdapat 1,4 juta pengungsi dari kota-kota lain di Gaza yang terdesak serangan Israel sebelumya. Diprediksi 250.000 jiwa bakal tewas jika serangan ke Rafah tetap dilakukan.
Van Hollen menyoroti langkah Pemerintah AS yang tetap mengirim bantuan senjata ke Israel. Padahal, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tetap ngotot menyerang Rafah dan mengabaikan desakan AS.
”Mereka tidak melihat kontradiksi dalam hal itu. Jika ini disebut kemitraan, seharusnya berlaku dua arah,” ucap Van Hollen.
Minggu lalu, Departemen Luar Negeri AS juga menyetujui pengiriman 25 jet tempur F-35A yang nilainya sekitar 2,5 miliar dollar AS. Langkah itu telah disetujui Kongres pada 2008, sehingga Deplu AS tidak diwajibkan memberitahu lagi anggota parlemen. Hal yang sama berlaku soal pengiriman bom MK84 dan MK82.
Sikap Pemerintah AS mengabaikan suara internasional dengan terus mendukung Israel membuat marah sejumlah politisi Demokrat di Kongres, beberapa di antaranya meminta transparansi pengiriman senjata. Mereka juga mempertanyakan apakah otorisasi kebijakan lama, seperti pengiriman F-35A, adalah upaya pemerintah untuk menghindari pengawasan ketat dari Kongres.
Pengiriman jet tempur dan bom yang mengundang tanda tanya itu dilakukan AS menyusul kunjungan Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant ke Washington, beberapa hari lalu. Dalam kunjungan tersebut, ia meminta Pemerintah AS mempercepat pengiriman senjata.
Kamis lalu, Panglima Angkatan Bersenjata AS Charles Q Brown Jr mengatakan bahwa pejabat Israel selalu meminta senjata dalam setiap kali pertemuan. Menurut dia, AS tidak bisa menuruti semua permintaan karena keterbatasan kapasitas produksi maupun karena AS merasa belum saatnya memberikan bantuan.
Pernyataan Brown yang langsung diklarifikasi Pentagon beberapa jam setelahnya mencerminkan hal itu merupakan isu yang amat sensitif. Juru bicara Kantor Panglima Angkatan Bersenjata AS Kapten Jereal Dorsey menegaskan, tidak ada perubahan kebijakan, dan AS menimbang ketersediaan dalam negeri sebelum menyalurkan bantuan kepada sekutunya.
”AS terus memberikan bantuan keamanan kepada (negara) sekutu kami, Israel, saat mereka harus mempertahankan diri dari Hamas,” kata Dorsey. (REUTERS)