Saran penghematan mencakup mengabaikan ritual seperti menyewa mobil dan fotografer mewah serta suvenir.
Oleh
IRENE SARWINDANINGRUM
·3 menit baca
SHANGHAI, SELASA — Pemerintah China menganjurkan pernikahan hemat di tengah turunnya angka kelahiran dan tingginya biaya hidup di negara itu. Pasangan yang menikah diminta mengabaikan tradisi jamuan tradisional dengan ratusan tamu dan pengeluaran besar lainnya untuk pernikahan.
Artikel berisi anjuran yang diterbitkan badan pemerintah yang membidangi hak-hak perempuan, Federasi Perempuan Seluruh China, itu menjadi salah satu topik viral di China pada Selasa (26/3/2024). Artikel tersebut berada di daftar terpopuler mesin pencari China, Baidu.
Disebutkan, pasangan mengalami kelelahan karena biaya dan waktu yang diperlukan untuk pernikahan besar dan mewah. Anjuran itu menyebut agar pasangan memilih pesta skala kecil dengan tamu undangan hanya dari lingkaran keluarga dan teman dekat.
Saran penghematan juga mencakup mengabaikan ritual seperti menyewa mobil mewah, fotografer mewah, dan suvenir untuk para tamu. Sepasang suami istri yang diwawancara dalam artikel itu mengatakan mereka hanya menghabiskan sekitar 6.000 yuan (Rp 13,1 juta) untuk pernikahan mereka.
Pengeluaran ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan pesta pernikahan tradisional yang menghabiskan biaya lebih dari 200.000 yuan (Rp 437,6 juta).
Dari sudut pandang sosial, perayaan acara bahagia yang mewah adalah kebiasaan buruk.
Artikel itu mengungkap, peralihan ke gaya yang lebih sederhana penting untuk mengembangkan kebiasaan baik di masa depan. ”Dari sudut pandang sosial, perayaan acara bahagia yang mewah adalah kebiasaan buruk. Semakin banyaknya pernikahan minimalis sesuai dengan pernikahan hemat dan akan membawa kebiasaan baik,” sebut artikel itu.
Pada 2023, jumlah pernikahan baru di China melonjak 12,4 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kenaikan ini membalikkan penurunan angka pernikahan yang berlangsung dalam hampir 10 tahun.
Peningkatan jumlah pernikahan disebabkan banyak pasangan muda melangsungkan pernikahan setelah menundanya karena pandemi Covid-19. Saat ini, Pemerintah China tengah berupaya mencari cara untuk mengatasi penurunan angka kelahiran di China.
Dalam dua tahun terakhir, populasi China terus menyusut. Tingkat pernikahan di China terkait erat dengan tingkat kelahiran. Peningkatan jumlah pernikahan biasanya diikuti peningkatan jumlah kelahiran.
Meningkatnya angka pernikahan akan mendukung program pemerintah untuk membalikkan penurunan populasi China pada 2024 dan dapat meningkatkan jumlah kelahiran tahun ini.
Pada Maret, Perdana Menteri Li Qiang mengatakan, China akan berupaya mewujudkan masyarakat yang ramah terhadap kelahiran dan mendorong pembangunan populasi yang seimbang dalam jangka panjang. Untuk itu, Li berjanji untuk mengurangi biaya persalinan, pengasuhan anak, dan pendidikan.
Termahal di dunia
Banyak pasangan muda China yang menunda pernikahan serta punya anak karena mahalnya biaya persalinan dan membesarkan anak. China adalah salah satu negara termahal di dunia untuk membesarkan anak jika dibandingkan dengan persentase pendapatan domestik bruto (PDB) per kapitanya dengan biaya membesarkan anak.
Laporan yang diterbitkan lembaga penelitian demografi China, Yuwa Population Research, menyebutkan, biaya rata-rata membesarkan anak sejak lahir hingga lulus perguruan tinggi di China diperkirakan sekitar 680.000 yuan (Rp 1,5 miliar) pada 2023.
Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan dua tahun lalu. Hal ini mencerminkan peningkatan beban ekonomi dalam membesarkan anak di tengah semakin tingginya biaya hidup.
Keluarga di China menghabiskan sekitar 6,3 kali lipat PDB per kapita mereka untuk membesarkan anak hingga mencapai usia 18 tahun. Angka ini merupakan salah satu yang tertinggi di dunia, lebih tinggi dibandingkan dengan negara maju seperti Australia, Perancis, dan Swedia.
Selain biaya finansial, laporan itu menyebutkan dua faktor utama yang membuat warga China enggan punya anak, yaitu hilangnya waktu dan peluang. Beban waktu mencakup cuti melahirkan, penitipan anak, penjemputan di sekolah, membantu anak mengerjakan pekerjaan rumah, dan naiknya beban pekerjaan rumah tangga.
Adapun hilangnya peluang mencakup penurunan keterampilan kerja karena cuti panjang untuk melahirkan, melemahnya daya saing setelah kembali kerja, dipindahkan atau menerima pemotongan gaji, hingga kehilangan peluang promosi.
”Sebagian besar beban ini ditanggung perempuan dan merupakan alasan utama banyak orang memilih untuk tidak memiliki anak sama sekali. Karena melahirkan, para perempuan profesional mungkin mengalami penurunan tajam dalam jam kerja dan tingkat upah mereka,” kata He Yafu, salah satu penulis laporan, seperti dilansir The Global Times, media yang berafiliasi dengan Pemerintah China. (REUTERS)