Santubong dan Jejak Industri Besi Purba di Sarawak
Menelusuri situs-situs arkeologi di Santubong, Sarawak, membawa ingatan pengunjung kembali ke masa lampau.
Santubong di Kota Kuching, Sarawak, Malaysia, sejak lama diyakini sebagai salah satu pusat peleburan besi purba sekitar abad ke-10 hingga ke-13 Masehi. Temuan tungku peleburan besi dalam penelitian terbaru semakin mengukuhkan.
Sebuah tanah lapang terhampar dikelilingi pepohonan rindang. Permukaan tanahnya bergelombang dan tertutupi rumput liar, dedaunan kering, serta bebatuan besar berlumut. Di beberapa sudut terdapat lubang persegi hasil penggalian yang dipagari tali kuning.
Hamparan itu terbelah oleh beberapa cabang jalan setapak. Di tepian jalan dengan mudah ditemukan sebaran terak besi (iron slag), bijih besi yang telah diproses dan diambil iron ingot-nya. Warnanya abu kecoklatan dan sebagian sisinya mengilap. Bobotnya relatif berat dan sekilas mirip besi berkarat.
”Lokasi ini adalah situs arkeologi yang dikelola oleh Tom Harrisson (berkisar 1952-1966). Di sini, dia melakukan penelitian arkeologi dan menemukan sejumlah iron slag,” kata Mohammad Sherman bin Sauffi, kurator Bagian Penyelidikan Kajian Budaya, Sejarah, dan Alam Semulajadi, Jabatan Museum Sarawak, di situs Sungai Jaong, Jumat (23/2/2024).
Pagi itu, Sherman mengajak Kompas dan jurnalis dari Malaysia dan Brunei mengelilingi dua situs arkeologi penting di Sarawak, yakni Sungai Jaong dan Bongkisam di Santubong. Kunjungan ini bagian dari Santubong Heritage Trail yang diadakan Sarawak Tourism Board.
Desa Santubong berada di kaki Gunung Santubong, sekitar 30 kilometer sebelah utara Kota Kuching, Ibu Kota Negara Bagian Sarawak. Waktu tempuh dengan mobil dari pusat kota ke Santubong sekitar 1 jam.
Baca juga: Sarawak Targetkan Tiga Juta Wisatawan di Tahun 2023
Menurut Sherman, Santubong di masa lampau merupakan salah satu pelabuhan purba, selain Lembah Bujang di Kedah, Semenanjung Malaysia, yang juga punya jejak industri peleburan besi. Bedanya, Santubong lebih kecil dibandingkan dengan Lembah Bujang.
”Santubong kurang lebih sebagai feeder port (pelabuhan pengumpan), termasuk industri peleburan besi. Namun, industri peleburan besi lebih menonjol, berdasarkan bukti arkeologi yang kami jumpai. Kemudian, juga perdagangan dengan sistem barter,” ujar Sherman.
Bukti-bukti arkeologi yang ditemukan di Santubong antara lain sisa peleburan besi, patung Buddha tanpa kepala, dan barang-barang peninggalan Tiongkok, termasuk dari Dinasti Song. Beberapa temuan itu tersimpan di lantai keempat Borneo Cultural Museum, Kota Kuching.
Sungai Jaong dan Bongkisam
Ada sejumlah situs arkeologi di Santubong yang menjadi bagian Taman Arkeologi Santubong di kawasan Delta Sungai Sarawak, dua di antaranya adalah Situs Sungai Jaong yang juga terkenal dengan batu gambar dan Situs Bongkisam dengan kuil tantra-nya.
Daniel Perret dan Mohammad Sherman Bin Sauffi dalam ”The Sungai Jaong and Bongkisam Archaeological Project, Sarawak, Malaysia” (2019) menyebutkan, penelitian arkeologi di Sarawak dimulai tepat setelah Perang Dunia Kedua. Penelitian dipimpin oleh Tom Harrison, kurator Museum Sarawak, yang juga dikenal sebagai ahli burung dan antropolog.
Harrison menjelajahi berbagai lokasi di Delta Sungai Sarawak seluas 600 km. Desa Santubong merupakan lokasi pertama yang menarik perhatian Harrison karena pengamatan dan berbagai penemuan yang dilakukan di sana sejak abad ke-19, termasuk Batu Gambar (petroglif) dan patung terakota Hindu.
Baca juga: Sarawak Targetkan Tiga Juta Wisatawan di Tahun 2023
Di situs Sungai Jaong, Harrison menemukan terak besi di kaki Batu Gambar. Temuan itu mendorongnya melakukan survei pada 1948 dengan detektor tambang untuk mencari konsentrasi terak besi yang menunjukkan lokasi potensial untuk penggalian.
Ia mengidentifikasi lima lokasi di antaranya yang kemudian digali secara berkala antara tahun 1952 dan 1966, yaitu Sungai Jaong, Sungai Buah, Bongkisam, Bukit Maras, dan Kampung Ayer.
Pada penggalian di Sungai Jaong, Harrison menemukan terak besi—beberapa berbobot 3 kg—dan keramik Tiongkok dalam jumlah besar, selain juga 30 lembar emas polos, 15 lembar kertas emas berhias, tiga cincin kecil, dua manik-manik, serta beberapa manik-manik kaca dan bejana kecil China utuh.
Di Bongkisam pada 1955, Harrison menemukan 67.000 pecahan tembikar, 49.000 pecahan periuk dan porselen, lebih dari 600 pecahan manik-manik dan gelang kaca, serta lebih dari 22 ton terak besi.
Namun, temuan yang tak kalah penting di Bongkisam adalah kuil Tantra (Tantricshrine) tahun 1966. Struktur batu berukuran 3 m x 2,40 m menghadap utara-selatan ini masih menjadi satu-satunya monumen Hindu-Buddha yang dibangun dari bahan permanen yang ditemukan di Sarawak.
Sherman menjelaskan, kuil Tantra itu peninggalan abad ke-10 hingga ke-13 M. Fungsinya sebagai tempat persembahan. Penduduk setempat menyebutnya Bongkisam. ”Kenapa ini satu-satunya di Sarawak? Karena di sini adalah feeder port,” ujarnya.
Di atrium tengah kuil itulah Harrison menemukan gold leaf, manik-manik, dan keramik yang diyakini sebagai persembahan. ”Mereka memberikan persembahan agar selamat pada perjalanan (pelayaran) selanjutnya,” kata Sherman.
Penelitian lanjutan
Penelitian lanjutan terhadap situs Sungai Jaong dan Bongkisam mulai dilakukan pada 2018. Misi arkeologi ini merupakan kerja sama antara Ecole française d'Extrême-Orient (EFEO) dan Jabatan Museum Sarawak. Sherman menyebut, penelitian lanjutan ini berupaya mengonfirmasi dan mengisi kekosongan dari apa yang dikerjakan Harrison.
”Kami mengonfirmasi tentang mineral dan juga mencoba melihat ke mana tempat iron ingot ini pergi, adakah pergi ke Indonesia, Filipina, atau Kepulauan Nusantara,” kata Sherman.
Hasil penelitian lanjutan itu dimuat dalam artikel ”Archaeological Investigations at Sungai Jaong (2018, 2019, 2022), Sarawak, Malaysia: First Observations and Reflections” yang ditulis oleh Daniel Perret, Mohammad Sherman bin Sauffi, Stéphanie Leroy, dan Yohan Chabot serta diterbitkan tahun 2023.
Salah satu temuan penting dalam penelitian terbaru adalah sisa-sisa bangunan di Sungai Jaong yang luput dari perhatian Harrison. Sisa-sisa ini termasuk lantai bengkel peleburan besi yang terbuat dari lapisan tanah liat terbakar yang kurang lebih padat setebal beberapa cm, dicampur dengan limbah metalurgi.
Baca juga: Mereka Saudara meski Beda Negara
Sejauh ini, sebanyak 13 lantai telah diidentifikasi, termasuk delapan di kaki bukit dan lima di punggung bukit. Penanggalan radiokarbon pada lima lantai ini menunjukkan adanya aktivitas metalurgi di Sungai Jaong antara abad ke-10 dan ke-13. Walakin, lantai yang dianggap tertua di kaki bukit belum diketahui penanggalannya.
”Sepanjang sepuluh tahun Harrison mengolah riset, setelah 70 tahun, pada 2022, kami menemukan tungku perapian (furnace),” kata Sherman. Temuan tungku perapian itu semakin menguatkan bahwa industri peleburan besi memang pernah eksis di Santubong.
Misteri
Meskipun jejak industri peleburan besi di Santubong semakin kuat, para pelakunya sampai sekarang belum terjawab. Dikutip dari Perret dan Sherman (2019), Harrison meyakini industri besi tersebut skala besar dan merupakan karya masyarakat adat.
Cheng Te-K’un, arkeolog Tiongkok yang mengunjungi lokasi penggalian pada 1966, meyakini, Santubong adalah pos perdagangan yang sering dikunjungi orang asing, terutama orang Tionghoa. Orang asing itu secara tidak sengaja menemukan bijih besi dan memulai industri peleburan besi.
Hipotesis Harrison dan Cheng Te-K’un mengenai situs Santubong dibahas Jan Wisseman Christie pada 1998. Ia menolak hipotesis Te-K’un tentang dominannya kehadiran perajin Tiongkok dan saran Harrison tentang besarnya industri besi di Santubong dan lainnya.
Menurut Christie, peleburan besi ini dipelopori orang lokal karena sisa-sisa yang terkait dengan aktivitas tersebut tidak menunjukkan pengaruh teknis asing ataupun kehadiran populasi asing dalam jumlah signifikan.
Terlepas dari berbagai pendapat itu, Sherman menyatakan, teknologi pengolahan bijih besi di Santubong mungkin dari luar, tetapi sumber bahan bakunya dari dalam negeri. Seluruh kawasan pesisir dari Southern Region Sarawak ditemukan terak besi, dari Teluk Melanau, Sematan, Lundu, Kampung Sibu Laut, Telaga Air, hingga Santubong.
”Teknologinya dari luar, sebagian orang berpendapat mungkin dari India, Sri Lanka, atau mungkin dari daerah lain di Nusantara karena masa zaman proto sejarah, Nusantara jauh lebih aktif dibandingkan dengan Eropa. Namun, sumber daya alamnya dari sini,” kata Christie.
Penelitian lebih lanjut direncanakan untuk menentukan geomorfologi konteks situs dan untuk melengkapi data litostratigrafi yang telah dikumpulkan. Hal itu diharapkan membantu memahami interaksi antara pendudukan kuno di situs itu dan lingkungan dalam jangka waktu lama.
Pariwisata
Keberadaan Taman Arkeologi Santubong sangat menarik untuk perjalanan wisatawa. Selain Batu Gambar yang terkenal, juga ada beberapa ukiran batu lainnya di Sungai Jaong. Jangan lupakan pula kuil Tantra di Bongkisam serta situs Bukit Maras di seberangnya. Pengunjung bisa menikmati kawasan situs berjalan kaki di jalan setapak.
Dari sekitar lokasi, sembari berjalan kaki, pengunjung juga dapat mengamati keindahan puncak Gunung Santubong. Beberapa destinasi wisata juga berjarak beberapa kilometer saja dari situs, seperti Kampung Budaya Sarawak, Pantai Batu Buaya, dan makanan laut (seafood) di Kampung Buntal.
Santubong kurang lebih sebagai feeder port (pelabuhan pengumpan), termasuk industri peleburan besi.
Upaya mengintegrasikan taman arkeologi dengan pariwisata telah dimulai. Di Sungai Jaong dan Bongkisam, pembangunan sarana dan prasarana penunjang sedang dikerjakan. ”Kami sedang berada pada fase terakhir, insya Allah tahun depan dibuka,” kata Sherman.
Pada tahap yang lebih luas, pemerintah tengah mengusulkan Sarawak Delta Geopark sebagai UNESCO Global Geopark. Geopark nasional keenam di Malaysia ini juga mencakup wilayah Taman Arkeologi Santubong.
Sarawak Delta Geopark mencakup area seluas 3.112 kilometer persegi. Geopark ini kaya akan lanskap unik, termasuk 28 geosite batuan, 12 geosite biologis yang beragam, dan 14 geosite budaya.
Kawasan memiliki beragam formasi bumi dan merupakan rumah bagi spesies endemik Kalimantan seperti orangutan, bekantan, dan tokek batu peri. Geopark ini juga merayakan warisan budaya yang kaya di kawasan ini, termasuk seni bangunan, alat musik, senjata, dan beragam makanan etnis.
CEO Sarawak Tourism Board Sharzede Datu Hj Salleh Askor di Kuching, Kamis (22/2/2024), mengatakan, Sarawak Delta Geopark ditargetkan menjadi UNESCO Global Geopark tahun 2026. Pulau Jeju di Korea Selatan menjadi tolok ukurnya (benchmark).
Sharzede menjelaskan, UNESCO memiliki standar kriteria yang ketat. Selain menjadi daya tarik pengunjung, status UNESCO Global Geopark diharapkan pula membantu menjaga keasrian geopark. ”Anda akan bisa membangun area itu dengan sejumlah batasan, tetapi tetap menguntungkan terhadap komunitas di sekitarnya,” ujarnya.