Suku Bunga Fed Bertahan hingga 2025, Efeknya Relatif Netral
Mengharapkan Fed menurunkan suku bunga masih sulit. Era suku bunga tinggi di negara-negara maju tetap bertahan.
Ketagihan akan uang mudah memunculkan desakan pada Bank Sentral Amerika Serikat (Fed) untuk segera menurunkan suku bunga. Namun, jawaban Gubernur Bank Sentral AS Jerome Powell tetap kukuh bahwa suku bunga inti tidak akan diturunkan hingga inflasi inti di AS benar-benar mencapai 2 persen.
Ada saran agar Bank Sentral AS tidak terlalu kaku dengan target inflasi 2 persen. Dengan demikian, suku bunga bisa segera diturunkan tanpa harus menunggu inflasi mencapai 2 persen. Tentang hal ini, Powell menegaskan bahwa target inflasi harus tetap 2 persen sebagai dasar penurunan suku bunga.
”Tidak ada alasan untuk berpikir bahwa target inflasi 2 persen sulit dicapai,” kata Powell, Rabu (6/3/2024).
Baca juga: Target Inflasi Fed Tetap 2 Persen, Sinyal Penting bagi Negara Berkembang
Pertanyaannya, kapan target inflasi 2 persen bisa tercapai. Perkiraan yang dituliskan pada situs Harvard Business Review (HBR) menunjukkan, inflasi baru akan kembali ke level 2 persen pada 2025. Satu perkiraan lagi yang dituliskan di situs Biro Statistik Ketenagakerjaan (Bureau Labor Statistics/BLS) AS menunjukkan, inflasi akan berada pada kisaran 2,3 persen hingga 4,8 persen pada akhir 2024.
Inflasi di AS sudah menurun dari ketinggian 9,06 persen pada Juni 2022. Pada Januari 2024 inflasi di AS sudah turun menjadi 3,1 persen dibandingkan dengan Januari 2023. Inflasi, tanpa memasukkan item pangan dan energi, pada Januari 2024 sebesar 3,9 persen dibandingkan dengan Januari 2023.
Untuk Februari 2024, inflasi mencapai 3,2 persen dibandingkan dengan Februari 2023. Inflasi tanpa item pangan dan energi 3,8 persen pada Februari 2024 dibandingkan dengan Februari 2023.
Tetap bandel
Secara umum, inflasi cenderung menurun, tetapi butuh waktu untuk menuju 2 persen. HBR dan BLS menyebutkan, akar inflasi adalah stimulus pada masa Covid-19 yang melonjakkan permintaan, tetapi dihadapkan pada gangguan pasokan produksi, disertai lonjakan harga pangan dan energi.
Dalam dua tahun terakhir ada kecenderungan penurunan, tetapi ada kalanya dalam rentang bulanan terjadi kenaikan kecil inflasi. Pada Februari 2024, kenaikan inflasi terbesar terjadi pada unsur transportasi, terutama asuransi mobil. Ini didorong kenaikan polis asuransi mobil sehubungan dengan banyaknya kecelakaan transportasi.
Penurunan suku bunga inti Fed sebelum inflasi benar-benar mencapai 2 persen, bisa menaikkan lagi uang beredar dan penyulut baru inflasi.
Oleh sebab itu, Fed harus menunggu inflasi sampai stabil pada level 2 persen untuk menurunkan suku bunga. Penurunan suku bunga inti Fed sebelum inflasi benar-benar mencapai 2 persen, menurut Powell, bisa menaikkan lagi uang beredar dan penyulut baru inflasi.
Ada frasa ”inflasi membandel” di AS, merujuk pada inflasi yang sudah turun, tetapi tidak konsisten turun. Ada saja efek-efek pendorong inflasi pada sektor industri tertentu. Tambahan pula, masalah gangguan pada pasokan masih mewarnai perekonomian AS walau hambatan pasokan sudah berkurang.
Baca juga: Inflasi di AS Tidak Mereda, Pasar Global Bergolak
Akan tetapi, masalah lain dalam inflasi AS adalah Fed tidak cukup ketat dalam meredam peredaran uang. Fed dan lembaga terkait di AS masih direpotkan dengan kebangkrutan perbankan sehingga harus menalangi dana bank-bank bangkrut, penyebab kenaikan uang beredar.
Masalah lain ada penutupan defisit anggaran Pemerintah AS lewat penumpukan utang dari tahun ke tahun. Defisit anggaran pemerintah yang ditutupi dengan utang serupa saja dengan penambahan uang beredar, dan pasti turut menyulitkan penurunan inflasi.
Kebijakan di Jepang
Dengan demikian, mengharapkan Fed menurunkan suku bunga masih sulit. Era suku bunga tinggi di negara-negara maju tetap bertahan. Menambah tekanan pada suku bunga tinggi adalah tindakan Bank Sentral Jepang (BoJ) yang menaikkan suku bunga inti menjadi 0-0,1 persen dari -0,1 persen. Bank Sentral Eropa (ECB) juga mempertahankan suku bunga pinjaman ke perbankan di zona euro 4,7 persen.
Khusus untuk Jepang, untuk pertama kali dalam 17 tahun terakhir, BoJ mengakhiri zona suku bunga negatif secara nominal. Alasannya, menurut Gubernur Bank Sentral Jepang Kazuo Ueda, untuk meredam inflasi inti sebesar 3,5 persen pada Januari 2024.
Bagaimana efek kenaikan suku bunga Jepang terhadap dunia? Ueda mengatakan, suku bunga inti di Jepang masih tetap pada zona negatif secara riil. Ini mengingat rata-rata inflasi di Jepang dalam 5-10 tahun terakhir berada pada kisaran 1-1,5 persen. Sekarang inflasi di Jepang ada di atas 3 persen. Itu artinya, suku bunga inti di Jepang ada pada zona negatif secara riil karena masih tetap di bawah angka inflasi.
Dengan kata lain, tidak akan ada efek besar berupa pelarian yen dari seluruh dunia yang kembali ke Jepang. Ekonomi Jepang yang menciut dan kini ada di urutan keempat setelah AS, China, serta Jerman, maka perekonomian Jepang bukan harapan besar untuk keuntungan investasi.
Baca juga: Jerman Gusur Jepang sebagai Negara Ekonomi Terkuat Nomor 3 Dunia
Tambahan lain, seperti dituliskan Padhraic Garvey, CFA, Kepala Riset Regional Amerika dari ING, peran Jepang dalam pasar uang internasional tidak signifikan. Efeknya tidak akan banyak pada pasar dunia.
Tak berdampak besar
Demikian halnya Fed, dengan mempertahankan suku bunga yang ada, tampaknya hal itu tidak berdampak besar. Tindakan Fed yang sudah menaikkan suku bunga sejak Maret 2022 dan sempat dikhawatirkan akan menggoyang sektor keuangan negara-negara berkembang, tidak terjadi, atau—setidaknya sampai sekarang—tidak berefek besar.
Sebuah studi tentang kenaikan efek suku bunga Fed terhadap negara-negara berkembang telah dilakukan Şebnem Kalemli-Ozcan, profesor ekonomi dari University of Maryland bersama Filiz Unsal, Kepala Divisi Analisis Struktural pada Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (Organization for Economic Cooperation and Development/OECD). Hasil studi mereka dituangkan dalam tulisan berjudul ”Global Transmission of Fed Hikes: The Role of Policy Credibility and Balance Sheets”.
Kalemli-Ozcan dan Unsal bertutur tentang studi mereka lewat podcast yang disiarkan situs The Brookings. Dua ekonom itu tidak menemukan pola kerusakan besar secara ekonomi pada negara-negara berkembang di Amerika Latin setelah Fed menaikkan suku bunga pada dekade 1970-an dan 1980-an. Keduanya juga tidak melihat efek yang pernah menimpa Turki, Rusia, Meksiko, Afrika Selatan, hingga Asia setelah AS menaikkan suku bunga pada 1990-an.
Kalemli-Ozcan menyatakan, efek pelarian dollar AS besar-besaran dari negara berkembang setelah Maret 2022 tidak terjadi. Tentu ada efek temporer, seperti depresiasi mata uang di beberapa negara berkembang, dan ada sejumlah negara yang gagal bayar utang (default). Akan tetapi, intinya, tidak ada depresiasi dan default massal seperti di masa silam.
Unsal menambahkan, bank sentral negara-negara berkembang memang belajar dari kekacauan masa silam. Ada kredibilitas pasar pada otoritas moneter di sejumlah negara berkembang bahwa situasi akan bisa dikendalikan. Ada lindung nilai (hedging) yang dilakukan di negara-negara berkembang untuk mengantisipasi pelarian dollar AS sebagai efek kenaikan suku bunga Fed. Ada pemeliharaan rambu-rambu ekonomi untuk mencegah efek pelarian dollar AS yang dijalankan bank-bank sentral negara berkembang.
Efek China
Mark LJ Wright dan Amy Smaldone di situs Federal Reserve Bank St Louis melihat ada efek awal pada sejumlah negara berkembang setelah Fed menaikkan suku bunga inti pada Maret 2022. Akan tetapi, Wright dan Smaldone menyimpulkan bahwa gejala default massal pada dekade 1970-an, 1980-an, dan 1990-an memang tidak terjadi sejauh ini.
Muyang Chen, lulusan Berkeley yang kini profesor pembangunan internasional di Peking University, menyebutkan, peran penting China di balik kekebalan negara-negara berkembang. Jika pada dekade 1970-an hingga 1990-an AS menjadi sumber utama utang negara-negara berkembang, sejak dekade 2000-an, China termasuk sebagai pemasok utama pinjaman untuk negara-negara berkembang.
Dalam kasus utang negara berkembang terancam default, China cenderung memperpanjang masa pembayaran utang. Muyang menambahkan, kreditor China memang tidak mau bergabung dengan konsorsium kreditor internasional di bawah Paris Club. Dengan pola ini, kreditor Barat kerap memakai Dana Moneter Internasional (IMF) untuk menyelesaikan pembayaran utang, termasuk dengan perombakan kebijakan ekonomi nasional.
China juga tidak menuntut perombakan kebijakan ekonomi nasional jika terjadi krisis utang. China melakukan restrukturisasi utang, tidak dengan menawarkan potongan utang, tetapi bersedia memperpanjang pembayaran utang.
Seiring dengan perpanjangan utang ini, China melanjutkan pola lama yang pernah ada, seperti mengandalkan pembayaran utang dari penerimaan negara-negara pengutang yang memiliki kekayaan alam. China memperpanjang utang Venezuela, tetapi terkadang mengharapkan pembayarannya dari hasil ekspor migas. Hal lebih kurang serupa terjadi untuk kasus Angola dan Sri Lanka.
Pola ini membuat negara-negara tertimpa krisis utang tidak mengalami beban terlalu berat akibat pelarian utang. China akomodatif tentang pembayaran utang. Akan tetapi, muncul tuduhan Barat bahwa China telah menekan negara-negara pengutang dengan memanfaatkan kekayaan alamnya. Akan tetapi, Muyang menambahkan, Jepang dan kreditor internasional lainnya pernah melakukan hal serupa.
(Reuters/AP/AFP)