Serikat Pekerja Australia Tolak Pembangunan Pangkalan Kapal Selam AUKUS
Australia mencari lokasi pangkalan baru kapal selam untuk kelak mendukung operasionalisasi kapal-kapal selam nuklir.
CANBERRA, RABU — Proyek aliansi pertahanan trilateral Amerika Serikat, Inggris, dan Australia atau AUKUS, dengan salah satu proyeknya berupa pembuatan kapal selam bertenaga nuklir, menghadapi penolakan sengit para serikat pekerja. Para pekerja tak ingin menjadi bagian dari rencana perang nuklir dan menolak rencana pembangunan pangkalan baru kapal selam di Australia.
Rencana pembangunan pangkalan tersebut merupakan bagian dari proyek pertahanan terbesar Australia sejak Perang Dunia II. Dalam skema kemitraan AUKUS, Australia berupaya memiliki kapal selam bertenaga nuklir yang akan menelan biaya hingga 368 miliar dollar Australia (sekitar Rp 3.779 triliun).
Media setempat pernah melaporkan, Pelabuhan Kembla di wilayah tenggara akan dipilih menjadi lokasi pangkalan baru kapal selam tersebut.
”Kami tidak ingin menjadi bagian dari rencana perang nuklir pihak lain,” kata Arthur Rorris, Ketua Dewan Buruh Pantai Selatan (South Coast Labor Council), yang dikutip kantor berita Reuters, Rabu (20/3/2024).
Dalam aksi unjuk rasa di luar gedung Parleman di Canberra, Australia, Senin (18/3/2024), ia mendesak pemerintah untuk membatalkan rencana pembangunan pangkalan baru kapal selam tersebut. Unjuk rasa itu merupakan aksi terbaru penolakan serikat pekerja. Beberapa demonstrasi sebelumnya diikuti hingga 5.000 pengunjuk rasa.
Dewan Buruh Pantai Selatan, yang dipimpin Rorris, terdiri dari serikat-serikat pekerja yang mewakili 50.000 pekerja di wilayah tersebut.
Mereka khawatir, pangkalan baru tersebut dapat menghambat pengembangan sektor energi bersih dengan diambilalihnya lahan-lahan yang sudah minim di kawasan itu. Mereka juga cemas, pembangunan pangkalan baru itu akan diikuti dengan kebijakan pengetatan keamanan serta kehadiran secara permanen kapal-kapal perang AS.
Baca juga: Dampak AUKUS, Bakamla Prediksi Eskalasi Meningkat di Laut Natuna Utara
Pakta keamanan AUKUS ditandatangani pada tahun 2021 antara Australia, Inggris, dan AS. Pakta ini memacu upaya Australia untuk membangun atau memperbarui infrastruktur militernya. Banyak kalangan melihat, proyek pertahanan AUKUS ini lebih ditujukan untuk melawan pengaruh China yang semakin besar di kawasan Pasifik.
Menyusul reaksi keras dari serikat pekerja dan kelompok pegiat lingkungan hidup, Pemerintah Australia mengatakan, mereka belum memutuskan Port Kembla sebagai lokasi pembangunan pangkalan kapal selam itu. Port Kembla berlokasi di wilayah basis pendukung pemerintahan Partai Buruh yang berhaluan kiri-tengah.
Baca juga: AUKUS Lanjutkan Pembahasan Kapal Selam Nuklir untuk Australia
Meskipun mewarisi perjanjian tersebut dari pemerintahan Konservatif sebelumnya, Perdana Menteri Australia Anthony Albanese berusaha mempertahankan perjanjian AUKUS tersebut. Ia menyebut AUKUS diperlukan dalam menghadapi peningkatan kekuatan militer China di kawasan.
Penolakan serikat-serikat pekerja yang terkait dengan Partai Buruh itu pada sisi lain juga mencerminkan kegelisahan masyarakat Australia mengenai dampak perjanjian AUKUS. Kecemasan ini meliputi penggunaan energi nuklir dan semakin eratnya hubungan Australia dengan AS.
Baca juga: Tidak Berdaya Menolak AUKUS
Mantan perdana menteri Australia dari Partai Buruh, Paul Keating, menyebut AUKUS sebagai kesalahan terburuk kebijakan luar negeri Australia sejak kebijakan wajib militer yang gagal diterapkan di Australia selama Perang Dunia I.
Menteri Industri Pertahanan Australia Pat Conroy mengatakan, keputusan mengenai pangkalan tersebut tidak diperlukan segera saat ini. ”Pangkalan di pantai timur adalah sesuatu yang baru akan diperlukan di masa depan,” katanya kepada Reuters.
Menurut Conroy, pemerintah fokus pada peningkatan satu-satunya pangkalan kapal selam Australia di pantai barat. Pemerintah Australia juga tengah mempersiapkan galangan kapal untuk membangun armada AUKUS mulai awal tahun 2040-an.
Peter Dean dari Pusat Studi Amerika Serikat di Universitas Sydney, yang membantu penyusunan tinjauan strategi pertahanan Australia pada April 2023, mengatakan, Port Kembla dikelilingi oleh industri dan berlokasi dekat pusat penelitian nuklir serta perairan dalam yang cocok bagi kapal selam. Kawasan ini juga memiliki keunggulan dibandingkan dengan calon lokasi-lokasi lainnya, yaitu kota Brisbane dan Newcastle.
Baca juga: Menjaga Keterbukaan Komunikasi tentang Kapal Selam AUKUS
Namun, Michael Shoebridge dari Strategic Analysis Australia menilai, penundaan pembangunan pangkalan tersebut bisa memakan waktu lebih dari 10 tahun. Penundaan ini dapat memperburuk masalah perekrutan pada saat angkatan laut butuh lebih banyak kapal selam untuk mengawaki armada AUKUS yang lebih besar.
Sebuah studi tahun 2011 yang dilakukan oleh Departemen Pertahanan Australia menunjukkan 40 persen awak kapal selam pada saat itu menginginkan lokasi yang berbeda dan mendukung pantai timur untuk dijadikan pangkalan baru.
Saat ini, pangkalan utama kapal selam Australia berjarak sekitar 2.100 mil laut (3.889 kilometer) dari Port Kembla, tepatnya di sebuah pulau di lepas pantai Australia Barat. ”Port Kembla adalah basis yang logis, tetapi pemerintah berusaha untuk menunda keputusan tersebut,” kata Shoebridge yang juga mantan pejabat Departemen Pertahanan Australia.
Kunjungan menlu China
Pada Rabu (20/3/2024), Australia menerima kunjungan Menteri Luar Negeri (Menlu) China Wang Yi di Canberra. Kunjungan pejabat senior China ke Australia itu merupakan yang pertama dalam hampir tujuh tahun. Kunjungan ini menandai upaya kedua negara memperbaiki hubungan bilateral yang selama ini tegang itu.
Menlu Australia Penny Wong menerima Wang. Keduanya menggelar pembicaraan dengan tema utama kestabilan. ”Hubungan yang stabil antara Australia dan China tidak terjadi begitu saja, hal ini memerlukan upaya yang berkelanjutan,” kata Wong pada konferensi pers setelah pertemuan itu.
Wong mengakui perbedaan penting masih terjadi di antara kedua negara, tetapi upaya untuk membangun kepentingan bersama akan terus berlanjut. ”Australia akan selalu menjadi Australia, dan China akan selalu menjadi China. Namun, kami akan bekerja sama semampu kami, saling tidak setuju jika memang harus, serta mengelola perbedaan ini dengan bijak,” katanya.
Di antara perbedaan pendapat yang diangkat pada pembicaraan Wang dan Wong adalah kasus Yang Hengjun, warga Australia yang ditahan China. Yan dinyatakan bersalah atas tuduhan spionase dalam persidangan tertutup dan dijatuhi hukuman mati dengan penangguhan dua tahun pada Februari 2024.
Australia akan selalu menjadi Australia, dan China akan selalu menjadi China.
Selain kasus Yang, dibahas juga penghapusan tarif perdagangan pada minuman anggur, lobster, dan beberapa rumah potong hewan. Kebijakan ini diberlakukan China pada tahun 2020. Saat itu, hubungan bilateral China-Australia berada di titik terburuk hingga merugikan perekonomian Australia sekitar 20 miliar dollar Australia.
Menurut pernyataan Kementerian Luar Negeri China, Wang berharap ke depan Australia mengambil langkah praktis untuk menegakkan prinsip ekonomi pasar dan menyediakan lingkungan bisnis yang non-diskriminatif bagi perusahaan China.
Baca juga: Australia Tingkatkan Anggaran untuk Keamanan Maritim ASEAN
Dalam transkrip resmi pernyataan itu disebutkan, Wang menekankan pentingnya rasa saling menghormati dan mencari titik temu serta menjaga perbedaan. ”Yang paling penting adalah saling menguntungkan dan saling menghargai, dan yang paling berharga adalah untuk menuntut kemerdekaan dan otonomi,” katanya.
Terakhir kali seorang menteri luar negeri China mengunjungi Australia adalah pada tahun 2017. Kunjungan Wang dinilai menandakan mencairnya hubungan diplomatik Beijing-Canberra. Selain dengan Wong, Wang juga akan mengadakan pembicaraan dengan Perdana Menteri Anthony Albanese serta Paul Keating. (REUTERS/AP/AFP)