Keikutsertaan film Indonesia di festival internasional bukan hanya untuk diplomasi. Ada upaya memasarkan Indonesia.
Oleh
MOHAMMAD HILMI FAIQ
·3 menit baca
Berbeda dari India, Korea Selatan, atau Jepang, film-film Indonesia tidak begitu dikenal di kancah global. Kalaupun ada film Indonesia yang terkenal, biasanya orang luar mengenal film itu dulu baru mengetahui bahwa sineasnya adalah orang Indonesia atau film tersebut dibuat di Indonesia.
Banyak sineas Indonesia resah dengan fakta itu. Padahal, di sisi lain, mereka perlu mengenalkan Indonesia lewat film. Indonesia yang dimaksud tentu saja dalam arti luas, mulai dari kebiasaan, tradisi, bahasa, keragaman, dan detail-detail lainnya.
Hal-hal itu mengemuka dalam Hong Kong International Film and TV Market (Filmart) pada 11-14 Maret 2024 di Hong Kong. Mayoritas delegasi Indonesia di ajang itu merupakan produser film.
Anggota lain delegasi itu berasal dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) RI serta Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif DKI Jakarta. Tim dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI juga bergabung di delegasi itu.
Delegasi tersebut mengusung tajuk ”Discover Indonesia” di Filmart 2024. Tajuk ini tentu saja mengandung makna diplomasi kebudayaan. Sebab, tajuk tersebut karena mengajak sineas menunjukkan sisi-sisi Indonesia yang barang kali belum pernah dilihat oleh orang luar.
Paviliun Indonesia di Filmart antara lain menampilkan poster 16 film Indonesia, sementara sejumlah produser menjajakan film Indonesia. CEO Adhya Pictures Shierly Kosasih membawa film Tulang Belulang Tulang. Film itu memanggungkan tradisi Batak Toba dalam ritual pemindahan tulang belulang keluarga.
Dalam tradisi Batak Toba, ritual ini disebut mangongkal holi. Lewat film itu, Shierly ingin mengenalkan tradisi di Indonesia yang belum banyak diketahui orang luar. ”Orang Indonesia saja belum tentu tahu,” katanya.
Dampak ikutan
Analis pada Direktorat Marketing Ekonomi Kreatif dari Kemenparekraf Andy Ruswar menjelaskan, Paviliun Indonesia di Filmart berupaya mencari dampak ikutan dari film. Dia mencontohkan, setelah Kung Fu Panda 3 meledak, banyak wisatawan berbondong-bondong ke Gunung Qingcheng, yang menjadi lokasi syuting film tersebut.
Gunung itu tempat bersejarah dan berbudaya di Provinsi Sichuan, Tiongkok. Gunung Qingcheng mendapatkan sorotan yang lebih besar di mata publik internasional gara-gara film Kungfu Panda 3 tersebut. ”Kita ingin negara kita lebih dikenal lewat film-film kita,” kata Andy.
Ada juga film Indonesia yang dikenal luas, seperti Gadis Kretek. Film yang diproduksi BASE Entertainment itu meledak di Asia Tenggara dan masuk 10 besar di Neflix secara global. Sampai akhir Desember 2023, film itu telah ditonton selama 16,8 juta jam.
Film tersebut amat lekat dengan tradisi dan budaya Jawa. Semua itu diwujudkan lewat dialog, interaksi sosial, serta tata lokasi. Film yang mengambil bungkus cerita industri rokok pada 1960-an itu menjadi salah satu parameter bahwa nilai-nilai keindonesiaan laku dijual. ”Kolaborasi dengan Neflix memungkinkan cerita ini menyebar. Kami sedang berpikir, apa yang selanjutnya perlu dibikin,” kata Shanty Harmayn Hofman, Chief Executive BASE Entertainment.
Festival lain
Upaya memasarkan film Indonesia bukan hanya di Filmart. Sepanjang 2023, 50 film Indonesia ditampilkan dalam 24 festival di 18 negara. Para sineas Indonesia juga ikut enam proyek film mancanegara.
Tahun ini, selain di Filmart, film-film Indonesia akan dicoba ditayangkan di Venice International Film Festival. Festival itu salah satu festival tertua.
Pada berbagai festival, biasanya sineas dan produser mencari cara menembus atau membuat karya mereka ditayangkan. Pemerintah hanya membantu akomodasi dan transportasi.
Festival internasional sangat penting bagi sineas untuk menguji karyanya dan melihat dunia perfilman di luar negeri. Dari festival film internasional, muncul karya-karya baru, talenta-talenta baru, dan kerja sama produksi hingga terjadi pertukaran pengetahuan antara pembuat film Indonesia dan luar negeri.
Selain itu, banyaknya film Indonesia yang ikut festival film internasional turut mengembalikan animo masyarakat untuk menonton film Indonesia lagi. Ekosistem film akan semakin hidup.
Kemendikbudristek melalui Direktorat Perfilman, Musik, dan Media memfokuskan tujuh sektor dalam penguatan ekosistem perfilman nasional, mulai dari pendidikan film, kreasi, produksi, distribusi, ekshibisi, literasi dan apresiasi, hingga arsip film. Ketujuh sektor ini semata demi mendorong ekosistem perfilman nasional.
Produser film, Dani Huda, mengatakan, dukungan pemerintah membuat dirinya sebagai produser muda ikut festival film internasional. Menurut dia, jika ekosistem ini semakin dikembangkan, bukan tidak mungkin dunia perfilman Indonesia akan mampu bersaing di Asia dan dunia. Meski demikian, persaingan dengan raksasa sinema global, seperti film-film dari Hollywood, juga tidak mudah.