Putin dan Rusia yang Ligat
Tekanan Barat, oposisi, dan para pengkritik tidak membuat popularitas Vladimir Putin dan Rusia runtuh.
Di tengah gelombang serangan pesawat tanpa awak Ukraina, upaya sabotase oleh kelompok pro-Ukraina, serta vandalisme di sejumlah tempat pemungutan suara, pemilihan presiden di Rusia tetap berjalan lancar. Pemenangnya sudah sejak awal dapat diduga, yaitu Vladimir Putin (71). Meskipun sejumlah pihak, terutama kelompok oposisi mengangkat isu perang Ukraina—yang memakan banyak korban—untuk menekan Putin, mantan perwira KGB itu tetap populer.
Dalam pidato pra-pemilu pada Kamis (14/3/2024), Putin mengatakan bahwa Rusia tengah berada dalam masa sulit. Meskipun demikian, ia yakin, Rusia tetap bertahan. ”Kita harus terus bersatu dan percaya diri,” kata Putin seraya menggambarkan pemilu sebagai cara warga Rusia menunjukkan ”rasa patriotik” mereka.
Sebagaimana para pengkritiknya, awalnya perang di Ukraina akan membuat kedigdayaan Rusia ”runtuh”, demikian pula Putin. Namun, justru fakta yang terjadi sebaliknya. Perang justru membantu Putin memperkuat posisinya di pucuk kekuasaan sekaligus meningkatkan popularitasnya di mata masyarakat Rusia.
”Saya mendukung Putin dan, tentu saja, saya akan memilih dia,” kata Lyudmila Petrova (46), seorang pedagang sepatu di sebuah pasar grosir pinggiran Moskwa. ”Putin membangkitkan Rusia dari lututnya. Dan Rusia akan mengalahkan Barat dan Ukraina. Anda tidak bisa mengalahkan Rusia selamanya,” katanya.
Meskipun Barat dan Amerika Serikat memandang Putin sebagai seorang otokrat, bahkan penjahat perang, dan memperbudak Rusia dalam kediktatoran korup, faktanya rakyat Rusia justru mendukungnya. Merujuk laman Stastita, disebutkan dukungan terhadap kinerja Putin mencapai angka 86 persen. Angka itu sedikit lebih kecil dibandingkan dengan kala Putin mulai memimpin Rusia pada tahun 2000. Saat itu, tingkat dukungan terhadapnya mencapai angka 88 persen.
Baca juga: Sudah Jelas Pemenangnya, Kenapa Pilpres Tetap Penting bagi Putin?
Tingginya dukungan terhadap Putin memperlihatkan kelihaiannya. Berbeda dari para pengkritiknya, Putin ternyata mampu mengapitalisasi isu perang. Jelang pemilu, ia membanggakan keberhasilan Rusia di medan perang, sekaligus membuktikan perekonomian Rusia terbukti tangguh meskipun terdampak sanksi Barat dan terputus dari pasar-pasar utama global.
Menjelang pemilu, Putin mengatakan, kinerja ekonomi Rusia berhasil melakukan transisi dari pasar Barat, memperluas swasembada, sekaligus membina hubungan perdagangan baru. Sejumlah media Barat, seperti VOA, Deutsche Welle, dan Bloomberg, mengatakan, pada tahun 2023, Rusia mencatatkan pertumbuhan ekonomi hingga 3,6 persen. Angka itu melampaui capaian AS, yaitu 3,3 persen.
Baca juga: Investasi Rusia di ASEAN Meningkat Tiga Kali Lipat
Bahkan, diperkirakan, tahun ini kinerja ekonomi Rusia akan tetap tumbuh meskipun sedikit melambat. Industri pertahanan Rusia telah berperan sebagai mesin pertumbuhan utama, yang bekerja sepanjang waktu untuk menghasilkan rudal, tank, dan amunisi. Berkat peningkatan belanja pemerintah yang signifikan, industri pertahanan menyumbang 10 persen PDB. Sektor lain, seperti industri baja, juga mendapat manfaat. Perang menjadi ”motor” Rusia menstimulasi perekonomian.
Howard J Shatz, ekonom senior di RAND Corp, mengatakan kepada VOA, sumber pertumbuhan ekonomi Rusia tidak sulit untuk diidentifikasi. ”Rusia sedang menjalani stimulus fiskal besar-besaran, dan itulah yang kita lihat di balik pertumbuhan Rusia,” katanya.
Menurut Shatz, pemerintah Rusia menghabiskan sekitar 353,8 miliar dollar AS (32,4 triliun rubel) tahun 2023. Naik lebih dari 1 triliun rubel dari angka tahun 2022 yang mencapai 31 triliun rubel.
”Pemerintah mendukung industri pertahanan. Mereka mendukung lapangan kerja. Mereka memberikan bonus kepada masyarakat untuk bergabung dengan angkatan bersenjata. Mereka menyantuni keluarga anggota militer yang gugur, tentara yang terluka, dan tentara yang cukup beruntung bisa dipulangkan,” kata Shatz.
Baca juga: Rakyat Rusia Memilih Presiden, untuk Apa?
Kremlin mendanai pengeluaran ini dengan meningkatkan pendapatan pajak, menarik dana kekayaan nasional, dan yang paling penting, dengan meminjam. Defisit pemerintah saat ini tergolong tinggi, yaitu hampir 10 persen dari keseluruhan anggaran. Kondisi itu membuat sejumlah ekonom, termasuk Shatz ragu, apakah pertumbuhan ekonomi Rusia akan berkelanjutan. Salah satu efek samping dari stimulus era perang adalah inflasi yang relatif tinggi, yaitu sebesar 7,4 persen pada tahun 2023.
Namun, kepada Deutsche Welle, Sebastian Hoppe, seorang pakar Rusia dari Free University of Berlin, mengatakan, sektor lain, seperti otomotif, juga bergerak positif. Impor komponen dari China membuat perekonomian Rusia tetap bertahan. Giovanni Sgaravatti, analis riset energi Bruegel Institute, mengatakan, untuk membiayai impor, Rusia memperoleh pendapatan dari ekspor gas dan minyak. Menurut dia, sebagai sumber pendapatan ekspor, penjualan minyak Rusia meraup keuntungan yang hampir sama baiknya dengan sebelum meletus perang di Ukraina.
Baca juga: Indonesia-Rusia, Beriringan Melalui Masa Sulit
Sementara itu, Bloomberg menyebutkan, Putin telah memainkan Whac-A-Mole dengan sanksi. Rusia mengerahkan armada kapal tanker bayangan dalam jumlah besar untuk menghindari pembatasan pengiriman dan asuransi serta menjual minyak ke klien Asia untuk mengurangi batasan harga 60 per barel yang dikenakan pada ekspor minyak mentah dan produk minyak Rusia.
Kondisi itu memperlihatkan keligatan Rusia di era Putin. Ia tidak mudah ditundukkan.
Indonesia
Pengajar Ilmu Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran dan Universitas Presiden, Teuku Rezasyah, mengatakan, sebagai mantan perwira KGB, Putin adalah orang yang berpikir sistematik. Ia terlibat pada beragam titik perubahan dunia. Sebagai Presiden Rusia, ia memiliki cita-cita besar, membuat Rusia menjadi seperti Soviet.
Keligatannya membuat tekanan Barat kepada Rusia justru, seperti bumerang. Menyiasati sanksi, Rusia justru bertahan lewat kerja sama multilateral, seperti BRICS dan Shanghai Cooperation Organization. Di dalam negeri, ditopang oleh kondisi ekonomi Rusia saat ini dan besarnya dukungan warga Rusia, Putin tidak bisa dianggap remeh. Posisi itu membuat pengaruhnya kian menanjak.
Baca juga: Rusia dan Indonesia dalam Langkah Mempererat Kerja Sama
Tidak hanya itu, di PBB, Rusia pun kini kokoh sebagai kekuatan alternatif, menyaingi AS, Inggris, dan Perancis. Situasi itu memaksa mereka, khususnya mitra Barat di negara-negara eks-Soviet, menerapkan kebijakan ”menjadi tetangga yang baik”.
Indonesia, sebagai kekuatan menengah yang oleh Rusia dilihat netral, perlu mengoptimalkan kerja sama yang telah terjalin menjadi kerja sama berkelanjutan. Sejumlah sektor, seperti kemaritiman, peluncuran satelit, serta ekonomi, dapat dioptimalkan dan dikonkretkan.
”Untuk itu, Indonesia perlu membuat peta jalan jangka panjang dan berkelanjutan,” kata Rezasyah.
Dalam kerangka politik luar negeri bebas-aktif, Indonesia dapat memainkan peran untuk menjadi penyeimbang tarikan empat kekuatan utama dunia, yaitu AS, Rusia, China, dan Uni Eropa. Upaya itu dilakukan dengan memperkuat kerja sama multilateral, seperti APEC, ASEAN, dan Asian Infrastructure Investment Bank.
Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Pelita Harapan Aleksius Jemadu memiliki pandangan senada. Indonesia, menurut Jemadu, dilihat Rusia sebagai kekuatan menengah yang penting di Indo-Pasifik.
”Namun, menurut saya, Indonesia perlu mempertahankan non-alignment-nya demi kredibilitas prinsip bebas aktif. Dengan itu, Indonesia akan tetap mempunyai posisi kokoh dan martabat diplomasi yang dibutuhkan semua pihak, sebagaimana ditunjukkan dalam KTT G20 di Bali. Pada saat yang sama, Indonesia membuka diri terhadap semua negara besar dan memanfaatkan peluang yang mereka tawarkan,” kata Aleksius.
”Jalan tengah seperti itu saya duga akan dipilih oleh rezim baru demi performance legitimacy dirinya dengan visi jangka panjang menuju Indonesia maju 2045. Visi itu butuh ketergantungan pada dunia internasional yang masif karena dengan kekuatan sendiri agak sulit visi besar itu diwujudkan dalam sisa waktu 20 tahunan,” kata Aleksius.