Berpuasa di China, Shalat Tarawihnya hingga Larut Malam
Meski Islam bukan agama mayoritas penduduk, ibadah bulan Ramadhan menjadi bagian kalender kegiatan nasional di China.
Islam hadir di China sejak awal abad Hijriah sebagai bagian dari peradaban perdagangan Jalur Sutra. Sebagai catatan, awal tahun Hijriah—dihitung sejak hijrah Nabi Muhammad dan pengikutnya dari Mekkah ke Madinah—bersamaan dengan tahun 622 M.
Meski tidak menjadi agama mayoritas penduduk, dengan jejak sejarah lebih dari 1.000 tahun itu, ibadah bulan Ramadhan menjadi bagian kalender kegiatan nasional di China. Pemerintah China mengeluarkan jadwal iftar dan puasa Ramadhan dengan waktu ibadah yang ditetapkan sesuai waktu Beijing, ibu kota negara.
Di ibu kota Beijing, kawasan Jalan Sapi atau Niu Jie menjadi pusat komunitas Muslim yang didominasi warga Suku Hui. Sepintas tidak terlihat perbedaan fisik antara warga Suku Hui dan warga Suku Han yang dikenal sebagai orang Tionghoa.
Masjid Niu Jie berarsitektur khas China sehingga sepintas terlihat mirip bangunan kelenteng. Masjid ini menjadi salah satu pusat aktivitas Ramadhan bagi warga Muslim setempat dan warga Muslim mancanegara.
Baca juga: Kota-kota yang Meriah Sepanjang Ramadhan
Suku-suku Muslim di China merupakan bagian dari etnis minoritas (Shau Shu Min Zhu) yang dilindungi Konstitusi China. Beberapa warga suku Muslim, seperti Hui, Uighur, Kazakh, Tajik, dan Uzbek, memiliki wilayah otonomi khusus, seperti Ningxia Hui dan Xinjiang.
Mereka memiliki hak-hak khusus yang tidak dinikmati warga suku mayoritas, yakni orang Han. Salah satu hak khusus itu, misalnya, mereka tidak dibatasi jumlah anak mereka.
Gandhi Priyambodho, pengusaha asal Indonesia, sudah 15 kali menjalankan puasa Ramadhan di China. Saat dihubungi, Minggu (17/3/2024), ia bercerita, berpuasa di China pada musim panas betul-betul membutuhkan ketahanan fisik dan mental.
”Apalagi suhu udara mencapai 40 derajat celsius. Kita mau buka puasa mengandalkan suara azan di telepon genggam karena tidak ada kumandang azan seperti di Indonesia yang terdengar di mana-mana,” ujar Gandhi.
Kekaguman orang China
Untuk membatalkan puasa, disesuaikan dengan kondisi. Biasanya saat berada di kantor, Gandhi membatalkan puasa dengan minum air ditambah kudapan.
”Yang seru, sehari-hari waktu kerja di kantor. Teman-teman saya, orang China, memperhatikan saya (dan kagum) kok bisa sejak pagi sampai sore tidak makan dan tetap kerja. Mereka menghargai dan paham jika seorang Muslim menjalankan iftar,” kata Gandhi.
Teman-teman saya, orang China, memperhatikan saya (dan kagum) kok bisa sejak pagi sampai sore tidak makan dan tetap kerja.
Gandhi menambahkan, istilah ”iftar”—yang sebenarnya berarti berbuka puasa—biasa digunakan warga China untuk merujuk pada ibadah puasa.
Lihat juga foto-foto: Shalat Jumat di Masjid Huaisheng China
Menurut Gandhi, ada 20 masjid besar di seluruh kota Beijing untuk beribadah di bulan Ramadhan. Berbagai kudapan berupa kue kecil dan kacang-kacangan serta aneka kismis disajikan sebagai takjil saat berbuka puasa di masjid-masjid di Beijing.
”Kalau kangen suasana rumah, ya, tinggal ke KBRI Beijing untuk ikutan buka puasa. Pasti makanannya khas Indonesia,” kata Gandhi.
Lain lagi pengalaman Fathan Sembiring, warga negara Indonesia yang lima tahun menempuh pendidikan dan kini beraktivitas di sektor bisnis dengan Gentala Institute, lembaga yang menjembatani hubungan antara entitas bisnis di China dan Indonesia. Ia mengaku kangen dengan suasana Ramadhan di China.
Baca juga: Melongok Muslim di Xinjiang China
Menurut Fathan, jika Ramadhan jatuh seperti saat ini pada awal tahun, udara cukup sejuk. Perbedaan waktu berpuasa, yang dua jam lebih panjang daripada di Indonesia, tidak terlalu menguras fisik.
Shalat tarawih
Yang menarik dan membuat Fathan kangen dengan suasana Ramadhan di China adalah kebiasaan berbuka puasa yang biasanya dilakukan di rumah masing-masing. Setelah itu, barulah warga Muslim berbondong-bondong ke masjid untuk menjalankan shalat Tarawih.
”Karena mereka (menganut) mazhab Hanafi, berbeda dengan kita di Indonesia yang menganut mazhab Syafi’i, banyak doa tambahan yang mereka kerjakan dalam shalat Tarawih di masjid. Shalat Tarawih bisa selesai sampai larut malam. Meski demikian, semua berlangsung menyenangkan,” tutur Fathan.
Pada awal puasa, Fathan berada di kota Haikou di Pulau Hainan yang dihuni komunitas Muslim Hui. Komunitas ini menjadi bagian terbesar masyarakat Muslim di Pulau Hainan.
Makanan halal
Mencari makanan halal bukan hal susah di China, apalagi di kota-kota besar. Dalam sejarah China, sejak jaman Dinasti Tang pada abad 600-900 Masehi, di kota-kota besar di China sudah tumbuh komunitas Muslim dari Timur Tengah dan Muslim Tionghoa sendiri. Misalnya, kota Luo Yang, kota Xi An, dan kota Guangzhou yang memiliki komunitas Muslim yang sudah berusia sekitar 1.000 tahun.
Untuk mengenali apakah sebuah restoran menyajikan makanan halal, coba tanya saja ke pegawai atau bos (lao ban) pemilik kedai dengan sapaan, ”Qing zhen cai ma (dibaca: jing cen cai ma)?” Pertanyaan ini berarti: ”Makanan halal, kah?”
Untuk mengenali apakah sebuah restoran menyajikan makanan halal, coba tanya saja ke pegawai atau bos (lao ban) pemilik kedai dengan sapaan, ”Qing zhen cai ma (dibaca: jing cen cai ma)? ”
Tradisi makanan dan bahan pangan halal pun sudah dikenal sejak lama, termasuk kedai makan halal atau qing zhen. Ciri-cirinya mudah. Perhatikan reklame kedai dengan huruf Mandarin warna kuning dan hijau itu. Ini ciri-ciri restoran muslim atau kedai halal.
Pegawainya pun biasanya menggunakan kopiah muslim model Hui atau terlihat wajah-wajah Eurasian, yakni Suku Uighur yang banyak bekerja di restoran halal di seantero China.
Selain itu, ada tulisan ”qing zhen shi pin” yang berarti ”halal bahan pangan” jika dibaca dari kiri ke kanan. Lalu, di pintu masuk restoran atau kedai juga terdapat sertifikat halal dan Dewan Agama Islam.
Menu khas
Menu-menu khas Muslim China, yaitu sejenis yoghurt asam dan manis, aneka kismis serta kacang, kue kering manis, sate kambing, iga kambing ukuran jumbo, sup kambing, sup ikan, sup ayam, dan dadar telur tomat, mi sapi khas Lan Zhou (salah satu daerah Muslim di China), nasi goreng kambing, dan lain-lain.
Zainab Lan Jun, seorang Muslimah Hui mengatakan, restoran halal di China menjadi bagian dari kekayaan kuliner setempat. Keluarganya mengoperasikan beberapa restoran besar yang dapat menampung ratusan pelanggan sekaligus.
Baca juga: Masjid Niu Jie, Harmoni Tionghoa dan Islam
Gandhi mengatakan, selama Ramadhan, warga lokal non-Muslim juga membanjiri restoran halal seperti di sepanjang Niu Jie. ”Ini memang sudah jadi bagian dari menu lokal,” ujarnya.
Saat Kompas berkunjung ke Niu Jie, akhir tahun 2023, warga lokal non-Muslim terlihat mengantre membeli kudapan halal di berbagai kios dan makan siang di restoran-restoran halal sepanjang Niu Jie. Demikian pula di kota Sanya, Pulau Hainan, pada medio 2023, ibu-ibu berkerudung hitam, warga Muslim Hui, terlihat di pusat-pusat wisata dan menjajakan cendera mata. Terlihat pula warung dengan logo ”qing zhen” di berbagai lokasi di pusat wisata di kota Sanya.
Ramadhan di Beijing dan berbagai wilayah China memberi warna dalam ragam keunikan tradisi Islam dalam sejarah dan peradaban dunia.