Belanja Daring Bisa Bikin Pening
Belanja daring membuat pikiran tak bisa beristirahat karena terus memilih dan memilah barang mana yang terbaik.
Bagi sebagian orang, belanja secara daring bisa menjadi semacam petualangan. Berselancar dari satu toko ke toko lain demi mencari mencari sepatu, tas, atau ponsel cerdas incaran terasa mengasyikkan. Akan tetapi, proses panjang dari mulai mencari kemudian membandingkan harga barang yang sama di setiap toko, lalu menjelajahi ulasan-ulasannya bisa melelahkan.
Sepanjang proses itu, pikiran bisa penuh karena menelaah sepatu atau tas mana yang paling bagus, paling lucu, berapa uang yang harus dikeluarkan. Terpikir pula jika yang hendak dibeli barang bekas, bagaimana kondisi barangnya, apakah kebijakan pengembalian barangnya bisa dipercaya, dan seterusnya.
Baca juga: Belanja Membuat Hati Senang
Bisa jadi orang malah menjadi pusing atau stres di depan layar gawai. Pengalaman menyenangkan berbelanja di toko kini justru membuat sebagian orang stres. Majalah Time, 13 Maret 2024, menyebutkan, dulu berbelanja dikenal sebagai ”terapi ritel”.
Berbagai penelitian sudah membuktikan, belanja secara tradisional ke toko-toko fisik dan membeli barangnya secara langsung dapat meredakan kesedihan, membawa kebahagiaan, dan memberikan ”rasa kendali” setidaknya untuk sementara. Kira-kira seperti cerita dalam film Confessions of a Shopaholic (2009).
Namun, belanja secara daring malah sering kali membuat otak kewalahan. Guru Besar Psikiatri Klinis pada Stanford Medicine yang juga Direktur Stanford OCD Clinic, Elias Aboujaoude, menjelaskan, berbelanja di internet bisa membuat ketagihan dan menciptakan aliran dopamin.
Aboujaoude, yang mempelajari gangguan pembelian kompulsif atau kecanduan belanja, mengingatkan, keinginan berbelanja bisa dipenuhi lebih cepat karena dilakukan secara daring sehingga lebih sulit untuk ditolak. Risikonya, kecemasan dan depresi. ”Yang bisa membuat lebih berisiko adalah depresi yang tidak diobati karena orang-orang mencari peningkatan suasana hati yang cepat dan sementara,” ujarnya.
Peningkatan dopamin membuat orang datang lagi dan datang lagi ke toko-toko daring untuk membeli lebih banyak barang.
Psikolog klinis dan Guru Besar di NYU Langone Health, Thea Gallagher, menilai, sebenarnya perilaku mengisi keranjang atau membeli barang itu saja yang membuat orang antusias, puas, atau mampu mengatasi kecemasan dan stres. Namun, ketika barangnya sudah sampai di tangan, sebenarnya sensasinya berkurang. Malah ada yang sudah tidak menginginkannya lagi ketika paketnya datang.
Pada penelitian yang sudah dia lakukan dengan mengondisikan tikus untuk mengharapkan kokain ketika bel berbunyi, tikus itu ternyata mendapat aliran dopamin yang intens dari suara belnya bahkan ketika obatnya tidak datang. ”Peningkatan dopamin membuat orang datang lagi dan datang lagi ke toko-toko daring untuk membeli lebih banyak barang,” kata Gallagher.
Impulsif
Meski berisiko tinggi mengganggu kesehatan mental, belanja daring di zaman sekarang adalah keniscayaan. Hampir semua orang berbelanja daring, apalagi semasa pandemi Covid-19 ketika orang tak bisa berbelanja ke toko fisik. Agar masyarakat bisa berbelanja dengan ”lebih sehat dan bahagia”, para psikolog menyarankan untuk tidak terlalu mengejar barang-barang yang tepat dan ”terbaik” dan mencukupkan diri dengan pilihan yang ada saja.
”Jika perlu membeli sesuatu, jangan khawatir soal menemukan barang yang tepat. Penelitian menunjukkan, orang-orang yang membuat keputusan memilih barang yang cukup baik akan merasa lebih bahagia dan tidak terlalu kewalahan,” kata Gallagher.
Kantor berita Reuters, 28 September 2023, mengutip survei situs informasi keuangan Bankrate menunjukkan, hampir separuh pengguna media sosial di Amerika Serikat (48 persen) melakukan pembelian impulsif terhadap sesuatu yang mereka lihat secara daring.
Sebanyak 68 persen dari mereka kemudian mengaku menyesali salah satu pembelian tersebut di kemudian hari. Barang-barang yang dibeli belum tentu kecil atau murah. Rata-rata pembeli impulsif membayar 754 dollar AS (Rp 11,7 juta) untuk barang yang dibeli selama setahun setelah melihatnya di media sosial.
Secara keseluruhan, warga AS menghabiskan 71 miliar dollar AS untuk pembelian semacam itu selama tahun 2022. ”Saya terkejut dengan tingginya angka-angka ini karena pasti ada barang-barang mahal yang dibeli juga,” kata Ted Rossman, analis industri senior Bankrate.
Baca juga: Belanja Pakaian lewat Fitur ”Live Shopping” Paling Populer
Pembeli impulsif yang termasuk generasi milenial menghabiskan rata-rata 1.016 dollar AS (Rp 15,8 juta) pada 2022 untuk barang-barang yang mereka lihat di media sosial. Sementara generasi Z menghabiskan 844 dollar AS (Rp 13,2 juta), generasi X 522 dollar AS (Rp 8,1 juta), dan generasi baby boomer 418 dollar AS (Rp 6,5 juta).
Bisa dipahami bahwa belanja daring bisa sangat memikat dan mendorong orang belanja karena yang diunggah itu bukan gambaran kehidupan sehari-hari yang membosankan, melainkan gambaran kehidupan yang serbamenarik. Liburan di pantai, pakaian baru, dan makan malam mewah menjadi semakin menggiurkan.
Karena silau dengan semua yang indah-indah itu, label-label harganya menjadi kabur. Orang jadi tidak melihat apakah orang lain atau pemengaruh (influencer) benar-benar mampu membelinya atau apakah mereka membelinya dengan cara kredit.
Pikir-pikir dulu
Kalangan psikolog membedakan orang dengan dua tipe pengambil keputusan, ada yang pemaksimal dan ada yang pemuas. Para pemaksimal selalu mengkhawatirkan setiap keputusan dan selalu ingin mendapatkan yang ”terbaik”, tidak peduli berapa banyak perencanaan atau penelitian yang diperlukan.
Sebaliknya, ada orang-orang yang merasa puas cukup dengan barang yang sudah bisa memenuhi kebutuhannya meski bukan yang paling tepat atau yang terbaik.
Aboujaoude menyarankan, salah satu kunci untuk menghindari pembelian impulsif adalah menghilangkan komponen otomatis dari perilaku tersebut. Langkah pertamanya adalah tidak menyimpan kartu kredit dan informasi pribadi di peramban.
Setelah itu, jangan langsung membeli barangnya. Berikan waktu sehari, seminggu, atau sebulan untuk mempertimbangkan barang-barang yang mau dibeli, apalagi barang-barang yang sebenarnya kurang penting. Memberikan ”masa tunggu” sebelum membeli, menurut JB MacKinnon, penulis buku The Day the World Stops Shopping: How Ending Consumerism Save the World and Ourself, bisa membuat orang mungkin tidak menginginkan barang itu lagi.
”Kita sering ingin mengonsumsi makanan A atau beli barang A. Tetapi, jika kita meluangkan waktu sejenak, kita akan menyadari makanan atau barang itu tidak bermanfaat bagi kehidupan kita,” kata MacKinnon.
Baca juga: Belanja Langsung di Toko Fisik Masih Diminati Saat Ramadhan
Courtney Carver, penulis beberapa buku tentang manfaat minimalis, menyarankan hidup lebih sederhana. Ini bisa dilatih dengan tidak membeli barang apa pun yang sebenarnya tidak diperlukan selama seminggu, sebulan, atau tiga bulan. ”Berikan otak Anda waktu untuk istirahat dari keharusan mencari hal yang baru lagi dan untuk menilai apakah menguntungkan atau tidak,” ujarnya.
MacKinnon menjelaskan, setiap orang bisa terikat lebih kuat pada harta benda yang sudah dimiliki begitu orang memutuskan untuk mengurangi belanja. Pembelian impulsif dalam jumlah kecil mendatangkan aliran dopamin yang sering hanya terjadi sesaat dan kemudian diikuti rasa bersalah.
Saat orang mulai lebih sedikit berbelanja daring dan lebih fokus pada pembelian yang bermakna, kemungkinan besar mereka akan mendapatkan lebih banyak kepuasan dan kesenangan dari barangnya. ”Saya tidak membeli banyak barang. Tetapi, kalau saya beli, saya betul-betul memikirkannya. Dan, ketika saya membawanya pulang, saya merasa senang memilikinya. Ini yang cenderung memberi kebahagiaan abadi ketimbang kebahagiaan sesaat,” kata MacKinnon.
Orang mengira belanja daring akan lebih baik daripada belanja tradisional karena tidak akan tergoda dengan pemasaran di dalam toko fisik. Orang juga mengira dengan belanja daring, mereka hanya bisa membeli barang yang betul-betul dibutuhkan. Aboujaoude menilai yang terjadi justru sebaliknya.
Pemasaran dan periklanan bertarget mikro justru canggih membuat orang semakin lemah dan tak mampu menolak dorongan-dorongan membeli. Untuk menghindari godaan belanja, para ahli menyarankan untuk berhenti berlangganan iklan melalui surat elektronik (e-mail) yang dirancang agar orang berbelanja.
Berhenti mengikuti atau menonaktifkan pemengaruh di media sosial juga bisa efektif. Pasalnya, pemengaruh sering membagikan unggahan yang kemudian membuat orang berpikir kita membutuhkan barang yang tidak pernah terpikirkan untuk dibeli sebelumnya. ”Media sosial mengaburkan batas antara hubungan autentik dan hubungan transaksional,” kata MacKinnon.
Benteng terakhir yang barangkali bisa digunakan untuk menahan keinginan membeli sesuatu, kata Carver, adalah membayangkan diri kita menggunakan atau mengenakan barang yang dibeli. Apakah nanti barang itu betul-betul akan digunakan dalam kehidupan sehari-hari atau ini hanya barang yang akan digunakan saat-saat tertentu atau bahkan akan jarang digunakan.
”Kalau ragu dan tidak yakin akan digunakan terus dan betul-betul berguna bagi hidupmu, tinggalkan saja dan segera pergi menjauh,” ujarnya.