Warga Gaza yang Menanti Bantuan Diserang Lagi, 29 Orang Tewas
Dua serangan menyasar warga Gaza yang menanti pembagian bantuan. Israel ditekan untuk membuka bantuan akses lebih besar.
Oleh
FRANSISCA ROMANA
·3 menit baca
GAZA, JUMAT — Sedikitnya 29 warga Palestina yang tengah menunggu distribusi bantuan tewas dalam dua serangan terpisah di Jalur Gaza. Militer Israel membantah melakukan serangan tersebut.
Kementerian Kesehatan di Gaza menyebut, insiden pertama berupa serangan udara yang menewaskan delapan orang di pusat pembagian bantuan di kamp Al-Nuseirat, Kamis (14/3/2024). Serangan kedua menewaskan 21 orang dan melukai lebih dari 150 orang saat militer Israel melepaskan tembakan ke arah kerumunan warga di wilayah utara Gaza.
Militer Israel membantah serangan terhadap pusat pembagian bantuan dan menyebut laporan itu salah. ”IDF (militer Israel) mengkaji insiden itu dengan saksama. Kami mendesak media melakukan hal yang sama dan hanya mengandalkan informasi tepercaya,” sebut pernyataan militer Israel.
Serangan serupa pernah terjadi pada 29 Februari 2024. Kementerian Kesehatan di Gaza menyebut pasukan Israel melepaskan tembakan ke arah kerumunan yang tengah menunggu pembagian bantuan di dekat kota Gaza. Lebih dari 100 orang tewas akibat serangan itu. Israel menyalahkan kerumunan yang mengelilingi truk-truk bantuan sehingga mereka terinjak-injak atau tertabrak.
Komunitas internasional terus meningkatkan upaya untuk mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Gaza. Setelah pengiriman bantuan lewat darat terhambat, pengiriman bantuan diupayakan melalui jalur laut.
Sebuah kapal yang membawa bantuan mendekati Gaza. Militer Amerika Serikat berencana mendirikan dermaga agar bantuan dari kapal itu bisa didistribusikan bagi warga. Meski menyambut baik, para pejabat Palestina dan PBB mengatakan, bantuan melalui laut tidak bisa menggantikan pengiriman bantuan melalui perbatasan darat.
PBB memperingatkan, perang antara Hamas dan Israel di Gaza yang sudah memasuki bulan keenam telah menyebabkan setidaknya 576.000 orang atau seperempat penduduk Gaza di ambang kelaparan. Tekanan terhadap Israel menguat untuk membuka akses yang lebih besar untuk pengiriman bantuan.
Pemilu Israel
Di Washington, Ketua Mayoritas Senat AS Chuck Schumer pada Kamis menyerukan agar Israel menggelar pemilu baru. Dia menyebut Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sebagai penghalang perdamaian di kawasan. Schumer, yang merupakan keturunan Yahudi, mengkritik keras Netanyahu dalam pidato selama 40 menit di forum Senat.
”Perdana Menteri (Netanyahu) menempatkan dirinya dalam koalisi ekstremis sayap kanan dan akibatnya dia menoleransi jatuhnya korban tewas di Gaza, yang membuat dukungan bagi Israel mencapai titik terendah,” katanya.
Peringatan itu muncul di tengah meningkatnya anggota Partai Demokrat AS yang menentang agresi Israel. Presiden Joe Biden juga menambah tekanan publik terhadap pemerintahan Netanyahu. Bulan ini AS mulai menjatuhkan bantuan lewat udara ke Gaza.
Selama ini Schumer memosisikan diri sebagai sekutu kuat Pemerintah Israel. Dia mengunjungi Israel hanya beberapa hari setelah terjadi serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 di wilayah selatan Israel. Namun, kini posisinya berbeda. Dalam pidatonya, Schumer menyebut rakyat Israel ”tertahan oleh pemerintah yang terjebak dalam visi masa lalu”.
Perdana menteri baru
Di Ramallah, Tepi Barat, Presiden Palestina Mahmoud Abbas menunjuk perdana menteri baru, yakni Mohammad Mustafa. Dia merupakan penasihat ekonomi Abbas dengan latar belakang pendidikan dari AS dan independen secara politik.
Mustafa akan menghadapi tantangan berat dengan tuntutan dari AS untuk mereformasi Otoritas Palestina dan memenuhi kehendak rakyat Palestina. Dalam pengumuman itu, Abbas meminta Mustafa merencanakan pemerintahan bersatu di Tepi Barat dan Gaza, memimpin agenda reformasi pemerintahan, dan memberantas korupsi.
Menurut analis politik Palestina, Hani al-Masri, Mustafa harus berjuang keras untuk meningkatkan kondisi kehidupan di wilayah pendudukan Tepi Barat. ”Perubahan yang diinginkan Amerika Serikat dan negara-negara di kawasan bukan perubahan yang diinginkan rakyat Palestina. Rakyat ingin perubahan nyata dalam politik, bukan perubahan nama. Mereka ingin pemilu,” katanya.
Mustafa dilahirkan di kota Tulkarem di Tepi Barat pada 1954. Dia memperoleh gelar doktor dalam bidang administrasi bisnis dan ekonomi dari Universitas George Washington. Dia menjabat posisi senior di Bank Dunia. Ia juga pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri dan Menteri Perekonomian Palestina. Saat ini dia adalah Kepala Dana Investasi Palestina. (AP/AFP/REUTERS)