Misi Terselubung di Balik Skenario Israel Evakuasi Warga Gaza dari Rafah
Rencana pemindahan warga Gaza dari Rafah oleh Israel mengundang kecurigaan sebagai cara mengusir mereka dari Gaza.
TEL AVIV, KAMIS — Militer Israel, Rabu (13/3/2024), mengungkapkan rencana memindahkan dalam jumlah besar dari 1,4 juta warga Palestina yang saat ini tinggal di pengungsian di wilayah paling selatan Jalur Gaza, Rafah, ke wilayah tengah enklave tersebut. Langkah ini dilakukan menjelang serangan besar Israel ke Rafah.
Rencana pemindahan warga Palestina keluar dari Rafah mengundang kecurigaan. Mesir, negara yang berbatasan langsung dengan Gaza, sejak lama menolak pemindahan warga Palestina keluar dari Gaza, termasuk ke gurun Semenanjung Sinai di wilayah Mesir.
Kecurigaan itu, antara lain, muncul terkait perintah Presiden AS Joe Biden kepada militer AS untuk membangun dermaga atau pelabuhan sementara guna menyalurkan bantuan kemanusiaan ke Gaza. Seperti dilansir kantor berita Turki, Anadolu, mengutip pengamat di Timur Tengah, pada sisi lain dermaga atau pelabuhan itu bisa juga akan dimanfaatkan untuk mendorong migrasi sukarela warga Palestina ke Eropa tanpa melewati pintu gerbang Rafah-Mesir.
Jika hal itu yang terjadi, seperti pernah ditolak Mesir, migrasi warga Gaza keluar dari wilayahnya akan mendorong Israel menduduki lagi Jalur Gaza, sekaligus mengacaukan peluang warga Palestina untuk mendirikan negara merdeka.
Baca juga: Mengapa Sesama Negara Arab Menolak Rencana Pengungsian Palestina?
Jubir militer Israel, Laksamana Muda Daniel Hagari, menyebut lokasi tempat penampungan warga Palestina itu dengan istilah ”pulau-pulau kemanusiaan”. ”Kami harus memastikan bahwa 1,4 juta orang atau sedikitnya dalam jumlah besar dari 1,4 juta orang akan dipindahkan. Ke mana? Ke pulau-pulau kemanusiaan yang kami bangun bersama komunitas internasional,” katanya kepada wartawan.
Nasib warga Palestina di Rafah menjadi sumber keprihatinan utama organisasi-organisasi kemanusiaan dan para mitra Israel, termasuk Amerika Serikat, di tengah rencana Israel menggempur Rafah. Gempuran ini dikhawatirkan bakal menimbulkan malapetaka kemanusiaan. Selain menjadi tempat menampung pengungsi Palestina, Rafah juga menjadi gerbang utama untuk memasok bantuan-bantuan ke Gaza.
Hagari tidak menjelaskan di mana persisnya lokasi pulau-pulau kemanusiaan yang disebutnya itu. Tidak pula ia menyebut kapan evakuasi warga untuk keluar dari Rafah ataupun kapan serangan ke Rafah akan dilakukan Israel. Evakuasi ke area-area yang disiapkan, lanjut Hagari, akan dilakukan berkoordinasi dengan Mesir.
Hagari mengatakan, pulau-pulau itu akan menyediakan tempat tinggal sementara, makanan, air, dan kebutuhan-kebutuhan utama warga Palestina lainnya.
Namun, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bergeming dengan rencana menggempur Rafah. Bagi Israel, gempuran ke Rafah menjadi bagian dari target menghancurkan kelompok Hamas.
Perang Hamas-Israel mulai berkobar setelah Hamas menyerang Israel selatan, 7 Oktober 2023. Serangan itu menewaskan sekitar 1.200 orang—kebanyakan warga sipil—dan menyebabkan sekitar 250 orang disandera di Gaza.
Di pihak Palestina, lebih dari 31.000 orang—sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak—tewas akibat gempuran Israel yang membabi buta. Kebanyakan bangunan di Gaza hancur, sekitar 80 persen dari 2,3 juta warganya telantar menjadi pengungsi.
Pelabuhan terapung AS
Di Amman, Jordania, pakar militer dan strategi Jordania, Hisham Khreisat, kepada kantor berita Anadolu mengatakan, pelabuhan terapung di Pantai Gaza adalah samaran untuk mendorong migrasi warga Palestina ke berbagai wilayah Eropa.
”Pelabuhan taktis milik Angkatan Laut AS ini mendapat dukungan PM Israel Benjamin Netanyahu yang sejak awal konflik mencari alasan untuk mendorong keluarnya warga Gaza meninggalkan wilayahnya, termasuk mengungsi ke Eropa,” kata Khreisat, seperti dilansir Anadolu, Sabtu (9/3/2024).
Presiden AS Joe Biden, Jumat (8/3/2024), memerintahkan militer negaranya untuk membangun dermaga di tepi laut Jalur Gaza untuk penyaluran bantuan.
Gagasan pembangunan pelabuhan di Gaza pernah diajukan sekitar 10 tahun silam. ”Namun, Avigdor Lieberman (pemimpin partai sayap kanan) gagal mendapat dukungan atas usulan tersebut saat ia menjabat menteri pertahanan. Demikian juga Menteri Perhubungan waktu itu, yakni Israel Katz, mengajukan gagasan sama,” kata Khreisat.
Saat ini, Katz—kini menjadi menteri luar negeri—menghidupkan kembali gagasan tersebut dan mendapat dukungan Siprus serta Yunani.
Khreisat menjelaskan, pelabuhan di Siprus yang dibiayai AS akan disiapkan sehingga AS bisa berhubungan dengan pelabuhan yang dibangun sendiri di tepi Pantai Khan Younis.
Ia menggarisbawahi, hal yang krusial adalah semua kapal bantuan tidak langsung pergi ke pelabuhan yang dibangun AS di Gaza, tetapi harus singgah dan diperiksa Israel di Ashdod, lalu dikawal Angkatan Laut Israel dan diawasi pesawat nirawak untuk masuk ke wilayah Palestina. ”Militer AS akan berada di laut dan mengawasi pelabuhan karena wilayah Gaza dianggap daerah lawan,” kata Khreisat.
Baca juga: Serangan ke Rafah, Depopulasi Gaz
Armada kapal dari Siprus ke Pelabuhan Ashdod akan diawasi Angkatan Laut Israel dan satelit-satelit Israel.
Juru Bicara Pentagon Patrick Ryder mengatakan, pelabuhan di Gaza tersebut akan menyalurkan dua juta paket makanan ke Jalur Gaza setiap hari. Proyek pelabuhan dan dermaga akan selesai dalam 60 hari kerja. Lebar dermaga mencapai 6 meter dengan luasan total 6 kilometer persegi.
Pelapor Khusus PBB untuk Hak Atas Pangan Michael Fakhri mengatakan bahwa proyek tersebut merupakan hal keji karena pada saat yang sama AS terus memasok senjata ke Israel untuk digunakan menyerang Jalur Gaza.
Khreisat meyakini, Biden memahami dampak dari invasi militer Israel ke Rafah dan kegagalan AS menghentikan bencana kemanusiaan di Gaza. Hal ini bisa berdampak pada hasil Pemilu Amerika Serikat.
”Itu sebabnya Presiden Biden ngotot membangun pelabuhan. Meski tidak ada penempatan militer AS di Gaza, berbagai lembaga bantuan kemanusiaan akan ditugasi untuk mengawasi penyaluran bantuan,” kata Khreisat.
Dia menambahkan, berbagai bantuan dikirimkan dari Bandara Larnaca di selatan Siprus yang dijadikan pusat pengiriman bantuan.
Khreisat mengonfirmasi, Israel akan mendukung pembangunan dan operasional pelabuhan tersebut sebagai upaya pertukaran tawanan dan sandera serta bisa melanjutkan serangan ke Rafah tanpa mengganggu kepentingan AS.
Dia menyimpulkan, perbatasan Rafah akan ditutup sama sekali karena Israel melihatnya sebagai titik masuk persenjataan Hamas.
Baca juga: Potret Pengungsi Rafah setelah Pengeboman Bertubi-tubi Israel
Belum ada tanggapan Amerika Serikat atas tudingan agenda terselubung dalam pembangunan pelabuhan di pesisir Khan Younis tersebut.
Pada Rabu (13/3/2024) Israel mengempur pusat bantuan untuk pengungsi yang dikelola Badan Bantuan Sosial dan Pekerja PBB (UNRWA). Dalam serangan itu, seorang anggota staf UNRWA tewas dan 22 orang terluka. Sudah 165 anggota staf UNRWA terbunuh akibat serangan Israel dalam lima bulan terakhir.
Sementara itu, otoritas Palestina di Gaza mengatakan, ada lima orang tewas akibat serangan Israel di halaman gudang UNRWA. Mengenai serangan itu, Hagari mengatakan, pihaknya akan mengecek kebenaran informasi tersebut. (AP)