Pemilihan presiden di Rusia tak sepenting apa yang terjadi setelahnya. Banyak pihak gelisah melihat enam tahun ke depan.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
MOSKWA, KAMIS — Presiden Rusia Vladimir Putin hampir pasti memenangi pemilihan presiden karena tidak ada oposisi yang berarti. Kini, dunia menunggu apa yang akan dilakukan Putin selama enam tahun masa jabatannya ke depan.
Rusia menggelar pemilihan presiden selama tiga hari mulai Jumat (15/3/2024). Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum Rusia, sebanyak 112,3 juta pemilih di Rusia dan sebagian wilayah Ukraina yang diklaim Rusia memenuhi syarat untuk memilih. Ada pula 1,9 juta warga Rusia yang tinggal di luar negeri berhak memberikan suara.
Putin menjadi calon terkuat karena tidak ada oposisi yang berarti. Kandidat lain yang maju selain Putin adalah Nikolai Kharitonov (Partai Komunis/CPRF), Leonis Slutsky (Partai Demokrat Liberal), dan Vladislav Davankov (Partai Rakyat Baru). Politisi liberal Boris Nadezhdin yang menentang perang gagal maju sebagai kandidat karena dukungan tanda tangan baginya banyak yang dinyatakan tidak sah.
Dalam pidato yang disiarkan stasiun televisi pemerintah, Kamis (14/3/2025), Putin menyerukan agar rakyatnya berdiri di belakang pemerintah dan memberikan dukungan kepadanya agar bisa melewati masa sulit. ”Saya yakin kalian semua menyadari betapa sulitnya masa yang dialami negara kita, betapa kompleksnya tantangan yang kita hadapi di hampir semua bidang. Kita harus menghadapinya dengan bermartabat dan berhasil. Untuk itu, kita perlu terus bersatu dan percaya diri,” tuturnya.
Invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022 menjerumuskan perekonomiannya ke bawah titik nadir. Banyak perusahaan multinasional keluar dari Rusia atau tidak mau lagi berbisnis di sana. Untuk menambah tekanan, Rusia dikeluarkan dari sistem pembayaran internasional SWIFT.
Banyak negara, terutama Barat dan sekutu-sekutunya, menjatuhkan aneka sanksi kepada pemerintah, pejabat, ataupun individu di Rusia. Akan tetapi, Rusia perlahan-lahan berhasil menunjukkan ketangguhan perekonomiannya.
Kita harus menghadapinya dengan bermartabat dan berhasil. Untuk itu, kita perlu terus bersatu dan percaya diri.
Dalam beberapa bulan terakhir, pasukan Rusia di Ukraina memperlihatkan keunggulan. Sebaliknya, dukungan Barat terhadap Ukraina mulai menipis. ”Kita telah menunjukkan bahwa bersama-sama kita bisa membela kebebasan, kedaulatan, dan keamanan Rusia. Saat ini menjadi sangat penting bagi kita sekalian untuk tidak menyimpang ke luar dari jalur ini,” kata Putin.
Banyak analis menilai, drama dalam pemilihan presiden Rusia kali ini menjadi tidak penting. Mereka memandang, apa yang akan dilakukan Putin setelah memperpanjang kekuasaannya justru menimbulkan lebih banyak kegelisahan.
Bryn Rosenfeld, profesor politik Rusia pada Universitas Cornell, mengatakan, yang terpenting adalah tindakan apa yang akan diambil Putin pascapemilu. ”Pemilihan presiden di Rusia tidak sepenting apa yang akan terjadi setelahnya. Putin sering menunda langkah-langkah yang tidak populer sampai setelah pemilu,” katanya.
Sejumlah pihak menduga mobilisasi militer kedua untuk membantu pasukan Rusia di Ukraina sebagai kebijakan pertama Putin. Brian Michael, penasihat keamanan senior RAND Corporation, mengatakan, hal itu berpotensi dilakukan karena banyak para pemimpin Rusia berbicara soal konsolidasi seluruh rakyat Rusia, terutama untuk kebutuhan pertahanannya.
”Arti frasa ini tidak sepenuhnya jelas. Akan tetapi, ini menunjukkan kepemimpinan Rusia memahami perang yang digambarkan Putin akan berlangsung lama, dan karena itu sumber daya harus dimobilisasi. Dengan kata lain, rakyat Rusia harus diorganisasi untuk peperangan abadi,” ujarnya.
Tatiana Stanovaya, peneliti senior Carnegi Russia Eurasia Center, tidak sepenuhnya sependapat. Ia mengatakan, Putin tidak memerlukan mobilisasi karena banyak warga Rusia yang tinggal di daerah tertinggal telah secara sukarela ikut berperang demi kehidupan yang lebih baik bagi keluarganya.
Selain itu, Putin meyakini satu-satunya cara untuk mengakhiri perang dengan Ukraina dan sekutunya adalah perundingan. ”Yang arti sebenarnya adalah penyerahan diri Ukraina,” katanya.
Menguji NATO
Seiring memudarnya dukungan bagi Ukraina, Putin termotivasi untuk menguji soliditas Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Presiden Perancis Emmanuel Macron dan Perdana Menteri Polandia Radek Sikorski baru-baru ini menyebut ada kemungkinan pengiriman pasukan dari Barat untuk menyokong Ukraina.
Alexandra Vacroux, Direktur Eksekutif Pusat Studi Rusia, dan Eurasia Davis pada Universitas Harvard berpendapat, Rusia dalam beberapa tahun akan berupaya menilai komitmen NATO terhadap pasal 5, yakni jaminan pertahanan bagi para anggotanya.
”Saya tidak berpikir Putin mengira dirinya perlu menjadi lebih kuat secara fisik dan militer dibandingkan dengan negara-negara lain. Dia hanya ingin mereka (Barat) menjadi lebih lemah dan terpecah. Jadi, pertanyaan bagi Putin adalah ’daripada terlalu khawatir membuat diriku lebih kuat, bagaimana aku bisa membuat orang lain menjadi lebih lemah? ’,” katanya.
Vacroux menambahkan, Putin mungkin akan menunggu saat yang tepat untuk menguji penerapan pasal 5 itu. ”Jika tanggapannya ringan atau tidak pasti, Anda telah menunjukkan NATO hanyalah macan kertas,” ujarnya.
Situasi itu setidaknya terasa ketika Rusia menginvasi Ukraina. Swedia dan Finlandia yang sebelumnya negara netral memutuskan bergabung dengan NATO karena khawatir Rusia akan menginvasi negaranya. Hal yang sama terjadi dengan Moldova. Meski bukan anggota NATO, Moldova semakin khawatir menjadi sasaran Rusia berikutnya.
Parlemen di wilayah Transnistria, yang mencoba memisahkan diri dari Moldova, sudah bergerak dengan meminta ”perlindungan” diplomatik pada Moskwa. Hal itu berpotensi memberikan ”banyak ruang untuk eskalasi”.
”Saya pikir ada gunanya mengamati situasi itu sebagai peringatan pada Pemerintah Moldova bahwa Rusia mungkin akan lebih terlibat di Transnistria jika mereka tidak mau tidak memberikan konsesi,” kata Cristin Cantir, profesor hubungan internasional Moldova pada Universitas Oakland. (AP/AFP)