Anak Muda China Lelah Cari Kerja
Ekonomi yang sulit membuat anak muda merasa seperti sebutir pasir di pantai yang tidak bisa mengendalikan nasib.
Malam sebelum ujian pegawai negeri China, Melody Zhang (24) belajar sambil berjalan mondar-mandir dengan cemas. Barulah saat masuk ke dalam ruangan ujian keesokan harinya, dia menyadari sudah menangis seharian. Zhang sangat berharap bisa bekerja di lembaga pemerintah setelah 100 berkas lamaran kerjanya untuk industri media ditolak.
Sayangnya, impian itu pun kandas. Bukan hanya Zhang yang gagal menjadi pegawai negeri karena peminatnya sampai 2,6 juta orang. Padahal, lowongan yang tersedia hanya 39.600 posisi. Jumlah peminat 2,6 juta orang ini mencatat rekor di tengah krisis kemiskinan yang dialami anak muda.
Baca juga: Anak-anak Muda Tak Punya Pilihan Selain ”Hidup di Ujung Tanduk”
”Kita lahir pada era yang salah. Tidak ada yang peduli dengan impian dan ambisi anak muda di tengah krisis ekonomi. Lelah sekali harus cari kerja terus,” kata Zhang, lulusan Universitas Renmin, salah satu perguruan tinggi terkemuka di China.
Setidaknya 20 persen dari 100 juta warga China berusia 16-24 tahun menganggur pada Juni 2023. Ini data terakhir yang dipublikasikan sebelum kemudian pemerintahan Presiden Xi Jinping menghentikannya. Publikasi data tingkat pengangguran kemudian dibuka lagi pada Rabu (6/3/2024).
Akan tetapi, data itu tidak memasukkan mahasiswa dan menyebutkan pengangguran anak muda mencapai 14,9 persen pada Desember 2023. Menurut survei yang dilakukan Jaringan Perekrutan Nasional Zhaopin, platform pencarian kerja resmi China, generasi Z di China adalah generasi yang paling pesimistis di antara semua kelompok umur.
Mereka yang akhirnya berhasil bekerja memperoleh penghasilan lebih rendah dari yang mereka harapkan. Ini karena dunia usaha memangkas biaya sebagai respons terhadap buruknya permintaan domestik. Gaji yang ditawarkan perusahaan di 38 kota terbesar di China rata-rata turun 1,3 persen dibandingkan tahun lalu pada kuartal keempat.
Jika Anda berbicara dengan 10 orang, 7 orang di antaranya akan berkomentar ini tahun yang buruk.
Perekonomian China sebenarnya tumbuh 5,2 persen pada 2023, lebih besar dibandingkan dengan sebagian besar negara maju. Namun, bagi para lulusan perguruan tinggi yang masih menganggur, para pemilik properti yang merasa bisnis apartemen mereka merugi, dan para pengusaha yang memiliki tingkat pengangguran lebih rendah ketimbang tahun sebelumnya, perekonomian China seperti sedang menyusut.
Guru Besar Ekonomi di China Europe International Business School di Shanghai Zhu Tian mengatakan, saat ini China sedang mengalami resesi ekonomi. Hal itu terjadi manakala ada penurunan roda perekonomian yang ditandai dengan melemahnya produk domestik bruto (PDB) selama dua kuartal berturut-turut.
Resesi ekonomi ditandai dengan kenaikan tingkat pengangguran, penurunan penjualan ritel, dan terjadinya kontraksi pada pendapatan manufaktur untuk jangka panjang. Indikator yang bisa digunakan untuk menentukan resesi, antara lain, penurunan PDB, kemerosotan pendapatan riil, pengurangan jumlah lapangan pekerjaan, penurunan penjualan ritel, dan keterpurukan industri manufaktur.
”Jika Anda berbicara dengan 10 orang, 7 orang di antaranya akan berkomentar ini tahun yang buruk,” kata Zhu.
Baca juga: China Meminta Perempuan Menikah dan Punya Anak demi Pembangunan
Zhu menilai, pemerintah harus bergerak cepat dan menciptakan lebih banyak langkah stimulus untuk mengatasi masalah ini. Dengan demikian, China yang perekonomiannya berkembang sekitar 60 kali lipat sejak 1980-an ini tidak terpuruk.
China bisa berhasil karena investasi besar-besaran di bidang manufaktur dan infrastruktur. Hanya, model ini mulai menghasilkan lebih banyak utang dibandingkan pertumbuhan. Total pinjaman yang ada saat ini mencapai tingkat yang sulit dilunasi oleh China.
Sementara itu, China melatih anak-anak muda untuk mampu memenuhi lapangan pekerjaan yang berketrampilan tinggi di sektor jasa, bukan di pabrik ataupun konstruksi. Lemahnya konsumsi rumah tangga serta peraturan yang ketat terhadap industri keuangan, teknologi, dan pendidikan telah mengurangi peluang anak muda masuk ke bursa kerja.
Janice Zhang (34) sudah bekerja di industri teknologi hingga akhir 2022, tetapi lalu berhenti untuk mengurus masalah keluarga. Dulu dia yakin mudah mendapat pekerjaan baru mengingat dia punya banyak pengalaman dan berlatar belakang pendidikan dari perguruan tinggi Amerika Serikat.
Baca juga: China Cerdik Mengelola Perekonomiannya dan Masih Jadi Mesin Pertumbuhan Global
Akhirnya Janice hanya bisa menemukan pekerjaan di bidang pemasaran media sosial, tempat dia harus bekerja selama 15 jam. Karena tingginya tuntutan dan tidak sesuai dengan pekerjaan impiannya, dia memutuskan berhenti setelah hanya sebentar bekerja. Kondisi perekonomian yang sulit membuat dia merasa seperti sebutir pasir di pantai yang tidak mampu mengendalikan nasibnya sendiri.
”Di China, kata ’aspirasi’ bisa membuat semua orang yakin hari esok akan lebih baik. Saya bekerja atau mencari kerja sekarang ini supaya tidak kecewa jika hari esok yang lebih baik itu tidak datang,” ujarnya.
Vincent Li, pemilik kedai kopi kelas atas di Shanghai, terdampak krisis ekonomi dan membuatnya tersingkir dari kategori kelas menengah. Ketika masyarakat China memangkas pengeluaran, mereka lebih memilih beli kopi yang lebih murah. Dua apartemen di Pulau Hainan yang dibeli Li seharga 558.612 dollar AS (Rp 8,5 miliar) pada 2017 belum juga berhasil menarik penyewa atau pembeli. ”Pasar properti sudah jenuh,” ujarnya.
Menurut data Bank Sentral China, di China, 96 persen dari sekitar 300 juta rumah tangga perkotaan memiliki setidaknya satu apartemen pada 2019. Sepertiga dari jumlah itu memiliki dua apartemen dan sepersepuluhnya memiliki lebih dari dua apartemen. Sekitar 70 persen tabungan rumah tangga diinvestasikan pada properti.
Baca juga: China Pasang Target Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen untuk 2024
Di beberapa kota, apartemen telah kehilangan dua pertiga nilainya sejak penurunan pasar properti pada 2021. Ini membuat para pemiliknya merasa kekayaannya berkurang sehingga harus memangkas pengeluaran.
Sektor properti yang menyumbang sekitar seperempat aktivitas ekonomi kini dipandang sebagai ancaman utama bagi upaya China keluar dari perangkap negara berpendapatan menengah.
Direktur Ekonomi Politik pada Universitas Johns Hopkins Yuen Yuen Ang menjelaskan, dampak dari pengurangan sumber-sumber pertumbuhan lama menjadi terlalu besar. Ini akan membendung dan menghambat sumber-sumber pertumbuhan baru. ”Jika hal itu terjadi, China bisa terjebak dalam transisi,” ujarnya.
Bukan hanya kebijakan dalam negeri yang berdampak pada kehidupan rakyat China. Ketegangan diplomatik dengan negara-negara Barat mengenai isu Taiwan, Ukraina, dan Laut China Selatan juga ikut berkontribusi terhadap defisit investasi asing yang pertama kali terjadi ini.
Baca juga: China Mencari Jalan Baru Pertumbuhan Ekonomi
Badan-badan perdagangan telah meningkatkan kewaspadaan atas penggerebekan terhadap perusahaan konsultan dan uji tuntas, larangan keluar, serta isu-isu lainnya. Pembatasan teknologi AS terhadap China menghalangi konsultan David Fincher di Shanghai untuk berbisnis di bidang semikonduktor terdepan sehingga menghalangi sumber pendapatan utama.
Fincher kini sedang mempertimbangkan untuk pindah ke luar negeri karena khawatir situasi diplomatik akan semakin tegang. Bisa juga ada kemungkinan perubahan peraturan baru dari pemerintahan Xi yang bisa membuat bisnisnya bangkrut. ”Kami serasa lobster di dalam panci. Airnya semakin panas dan kami hanya bisa duduk di dalam panci. Ini mengkhawatirkan,” ujarnya.
Para pemimpin China, Senin (11/3/2024), mengakui perlu lebih banyak upaya untuk menghidupkan kembali perekonomian yang lesu akibat terpukul melemahnya pasar perumahan, buruknya permintaan domestik, dan tingginya rekor pengangguran kaum muda.
Para pejabat tinggi sudah berterus terang tentang berbagai tantangan yang dihadapi China. Mereka juga mengakui target pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen tidak akan mudah dicapai. Ini yang disepakati dalam pertemuan ”Dua Sesi” Kongres Rakyat Nasional (NPC) di Balai Agung Rakyat di Beijing.
Baca juga: China Bangun Kepercayaan di Tengah Perlambatan Ekonomi
Para menteri berjanji akan berupaya keras menambah lapangan pekerjaan dan menstabilkan pasar properti yang bermasalah. Menteri Sumber Daya Manusia dan Jaminan Sosial Wang Xiaoping dan Menteri Perumahan Ni Hong menjanjikan hal itu meski akan sangat sulit. Walau ada janji manis untuk memperbaiki persoalan, para analis menilai belum ada dana talangan besar yang dibutuhkan perekonomian yang lesu jika ingin pulih.
”Menghidupkan kembali perekonomian memerlukan peningkatan kekayaan dan pendapatan rumah tangga. Ini sesuatu yang belum siap dilakukan oleh para pemimpin China,” kata analis pada Trivium, perusahaan riset khusus tentang China.
(Reuters/AFP/AP)