Warga Singapura Tidak Sanggup Urus Anak Lebih dari Satu
Kasus pilot Batik Air menggambarkan sulitnya membesarkan anak sembari tetap bekerja. Banyak orang Singapura setuju itu.
Oleh
HELENA FRANSISCA NABABAN
·3 menit baca
Kasus pilot Batik Air yang tertidur saat bertugas menggambarkan sulitnya membesarkan anak sembari tetap bekerja. Karena itu, sebagian orang Singapura tidak mau punya anak banyak-banyak. Padahal, bersama Korea Selatan, Singapura menduduki peringkat teratas negara dengan tingkat kelahiran terendah.
Riset yang melibatkan antara lain Jean Yeung ini menemukan, rata-rata orang Singapura hanya mau punya satu anak. Padahal, untuk mempertahankan populasi, setiap keluarga sebaiknya punya lebih dari satu anak.
Jean, periset pada Institut Ilmu Pengetahuan Klinis dan pengajar pada National University Singapore (NUS), bersama timnya memeriksa responden di delapan negara. Riset Jean dan rekannya dikutip The Straits Times pada Sabtu (9/3/2024).
Lokasi riset didasarkan pada angka kelahiran rendah. Dari 22.000 total responden, 3.500 berada di Singapura. Responden lain berada di Jepang, China, hingga Norwegia.
Ketika memikirkan jumlah anak yang mereka inginkan, studi itu meminta responden untuk mempertimbangkan faktor-faktor di 10 bidang. Di antaranya pendapatan keluarga, keseimbangan kehidupan kerja, komunikasi dengan anggota keluarga, dan ekspektasi terhadap pencapaian pendidikan anak-anak mereka.
Jean mengatakan, metodologi ini menghasilkan jawaban yang lebih realistis dari para responden mengenai ukuran keluarga ideal mereka. Responden mempertimbangkan banyak hal ketika memutuskan jumlah anak yang mereka inginkan. Responden juga menimbang aspek lain dari kehidupan keluarga yang mereka nilai.
Rata-rata responden memilih punya satu anak saja. Mereka tidak memilih keluarga tanpa anak atau banyak anak.
Menurut Jean, kuesioner tidak bertanya alasan hanya punya satu anak. Walakin, ia menduga pilihan itu didasarkan pada kesulitan membagi waktu antara bekerja dan mengurus anak.
Kesulitan semakin relevan untuk banyak orang masa kini. Kasus pilot Batik Air pada Januari 2024 membuktikan itu. Kopilot mengaku kurang istirahat karena harus mengurus anaknya yang baru lahir.
Jean juga menyebut banyak orang khawatir soal biaya membesarkan anak. ”Penekanannya adalah pada kualitas hubungan keluarga, standar hidup, dan kualitas, bukan kuantitas, anak-anak,” ujarnya.
Bagi Tan Poh Lin dari Institut Kajian Kebijakan Singapura, tren dalam temuan Jean tidak baik bagi Singapura. Semakin sedikit anak lahir, semakin sulit Singapura mempertahankan jumlah populasi.
Singapura membutuhkan keluarga melahirkan setidaknya dua anak. Akan tetapi, warga butuh banyak dukungan pemerintah agar punya lebih banyak anak.
Pada pertengahan Februari 2024, Pemerintah Singapura memberikan insentif berupa pemotongan pajak serta biaya langganan listrik dan air bagi keluarga dengan anak lebih dari satu. Selain itu, akan diberikan pula bantuan langsung tunai. Total 3,2 miliar Singapura dialokasikan untuk program tersebut.
Pandangan soal nilai
Riset Jean menemukan perbedaan pandangan soal nilai sosial dan ukuran kesejahteraan. Kekhawatiran soal biaya membesarkan anak sebenarnya didasari pada rasa tanggung jawab.
Responden tidak mau anaknya tidak mendapatkan pendidikan dan aneka sarana terbaik. Masalahnya, butuh banyak uang untuk menyediakan fasilitas itu. Karena gaji terbatas, akhirnya responden membatasi atau sama sekali tidak punya anak. Bahkan, banyak pula yang belum berani berkeluarga.
Bagi banyak warga Singapura, pendidikan ideal setidaknya pascasarjana. Pendidikan setara atau lebih rendah dari sarjana dianggap belum cukup.
Anggapan itu berkontribusi pada asumsi butuh biaya besar membesarkan anak. Jean dan rekannya juga menemukan, Singapura setidaknya berbeda dengan negara lain yang jadi lokasi riset. Warga Singapura tidak terlalu menekankan kesetaraan jender dalam keluarga.
Bagi warga Singapura, perempuan yang bekerja sekaligus mengurus rumah akan tetap bisa baik-baik saja. Sementara di Spanyol dan Norwegia, ada anggapan perempuan akan rugi kalau bekerja sembari mengurus rumah. Kerugian itu dalam wujud hambatan karier.
Warga Singapura tidak sepakat dengan perempuan dan laki-laki tinggal serumah tanpa ikatan pernikahan. (AFP)