Warga China Curi Rahasia AI di Google, Duel Sengit AS Vs China dalam Teknologi
AS menuduh China mencuri informasi-informasi sensitif terkait inovasi teknologi kecerdasan buatan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
Perang teknologi antara Amerika Serikat dan China memanas, terutama di ranah kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Kedua negara itu berusaha saling memblokir dengan alasan keamanan. Kasus di perusahaan teknologi AS, Google, menjadi contoh terkini.
Departemen Kehakiman AS resmi menggugat Ding Linwei (38), warga China dan mantan insinyur di Google, atas tuduhan mata-mata dan pencurian teknologi. Ia dituduh mencuri 500 berkas rahasia mengenai komputasi super dan pengembangan teknologi AI di perusahaan tersebut.
Ding ditangkap di Newark, California, AS, Rabu (6/3/2024) waktu setempat atau Kamis (7/3/2024) pagi waktu Indonesia. ”Departemen Kehakiman tidak akan menoleransi pencurian kecerdasan buatan dan teknologi-teknologi canggih lainnya yang membahayakan keamanan nasional kami,” kata Merrick Garland, Jaksa Agung AS.
”Kami dengan keras melindungi teknologi-teknologi sensitif yang dikembangkan di Amerika agar tidak jatuh ke tangan mereka yang tidak berhak,” lanjut Garland.
”Penangkapan Ding membuktikan bahwa perusahaan-perusahaan yang berbasis di China menghalalkan segala cara untuk memperoleh informasi mengenai inovasi teknologi AS,” kata Direktur Biro Investigasi Federal AS (FBI) Christopher Wray di Washington, Rabu.
”Pencurian teknologi inovatif dan rahasia-rahasia perdagangan dari perusahaan-perusahaan Amerika (Serikat) bisa berdampak pada hilangnya lapangan pekerjaan serta berdampak besar pada ekonomi dan keamanan nasional,” ujar Wray.
Ding bekerja di Google sejak tahun 2019. Melalui posisinya sebagai insinyur teknologi informasi, ia memiliki akses terhadap berbagai berkas sensitif dan rahasia Google.
Pada 26 Desember 2023, Ding mengundurkan diri dari perusahaan tersebut. Tiga hari kemudian, beredar kabar bahwa Ding telah diangkat menjadi salah satu direktur di sebuah perusahaan teknologi di China yang fokus mengembangkan AI.
Kecurigaan muncul di Google. Perusahaan itu mulai melakukan napak tilas kegiatan Ding. Terungkap sejumlah pergerakan mencurigakan, misalnya Ding tercatat berkegiatan di kantor Google, padahal pada hari yang sama ada bukti bahwa ia berada di China untuk bertemu dengan sejumlah perusahaan teknologi.
Ternyata, ia menyogok salah satu karyawan untuk menggunakan kartu aksesnya sehingga terkesan Ding sedang bekerja di kantor.
Penyelidikan lebih lanjut oleh Google menemukan bahwa Ding mengunggah berbagai berkas rahasia mengenai AI ke akun komputasi awan. Perbuatan ini ia lakukan sejak tahun 2022. ”Kami segera melapor kepada aparat penegak hukum, terjadi pencurian rahasia perusahaan dan teknologi yang sensitif,” kata Juru Bicara Google Jose Castaneda.
Terungkap sejumlah pergerakan mencurigakan, misalnya Ding tercatat berkegiatan di kantor Google, padahal pada hari yang sama ada bukti bahwa ia berada di China untuk bertemu dengan sejumlah perusahaan teknologi.
Berdasarkan dakwaan, pada Juni 2022 Ding didekati oleh CEO Beijing Rongshu Lianzhi Technology Co (Rongshu), perusahaan rintisan teknologi China, dan ditawari jabatan pemimpin bagian tekonologi (chief technology officer) dengan gaji 14.800 dollar AS atau sekitar Rp 231,5 juta per bulan.
Kemudian, beberapa saat sebelum Mei 2023, Ding juga mendirikan perusahaan sendiri di China, Shanghai Zhisuan Technology Co (Zhisuan). Ia menetapkan dirinya sebagai CEO-nya. Dakwaan Departemen Kehakiman AS juga menyebutkan, Ding tidak pernah memberi tahu Google mengenai afiliasinya dengan Rongshu atau Zhisuan.
Jika terbukti bersalah di pengadilan, Ding dapat diganjar hukuman penjara maksimum 10 tahun dan denda hingga 250.000 dollar AS per dakwaan.
Sektor strategis
Teknologi AI masuk ke dalam sektor strategis di setiap negara. Perkembangan AI sangat penting dan dibutuhkan untuk menggenjot pertahanan dan perekonomian. Akan tetapi, teknologi ini juga mudah disalahgunakan untuk pencurian data, menyebar disinformasi, serta membangun persenjataan.
Sebagai langkah membentengi diri dari dampak buruk AI, Senat AS menyetujui rancangan undang-undang yang membatasi kerja sama antara perusahaan-perusahaan AS dan perusahaan bioteknologi dari China. Secara spesifik, naskah itu menyebut perusahaan WuXi App Tec, BGI, MGI, Complete Genomics, dan semua anak perusahaan ataupun mitra di AS dan China masuk kategori patut diwaspadai.
Naskah itu juga menyebutkan agar jangan sampai warga AS memberikan data pribadi, terutama data kesehatan dan genetik, mereka ke perusahaan-perusahaan tersebut. Produk-produk perusahaan itu adalah layanan daring ataupun aplikasi untuk memantau kesehatan individual.
Hanya ada satu senator yang menolak rancangan undang-undang tersebut, yaitu Rand Paul dari Partai Republik. ”Ini naskah yang terlalu emosional dan disetir oleh ketakutan terhadap China sehingga kita gelap mata. Kita belum memperhitungkan dampak dari proteksionisme ini terhadap AS dan negara-negara bagian secara khusus,” ujarnya.
Direktur Utama WuXi App Tec Ge Li mengeluarkan pernyataan bahwa tuduhan Senat AS berlebihan. WuXi, lanjutnya, tidak pernah ingin dianggap sebagai ancaman terhadap AS dan negara-negara lain.
Ge mengatakan bahwa tuduhan WuXi membahayakan keamanan digital AS akan sangat merugikan bagi bisnis di sektor teknologi.
Di Beijing, Menteri Luar Negeri China Wang Yi di sela-sela Kongres Nasional Rakyat Partai Komunis China mengatakan bahwa China akan mengajukan naskah resolusi kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa. Isinya mengenai pentingnya kerja sama yang bertanggung jawab antarnegara dalam mengembangkan teknolgi AI.
”Kita harus menjembatani kesenjangan teknologi di dunia agar tidak ada negara yang tertinggal dalam pembangunan global,” kata Wang. (AP/AFP/REUTERS)