Krisis Kependudukan di Korsel dan Jepang Semakin Parah
Jika tingkat kesuburan rendah terus berlanjut, populasi negara itu akan berkurang. Kemungkinan terburuk adalah punah.
Krisis kependudukan Korea Selatan semakin parah karena tingkat kesuburan merosot ke rekor terendah pada 2023. Rata-rata jumlah kelahiran per perempuan di Korsel turun menjadi 0,72 dari 0,78. Korsel termasuk negara dengan angka kelahiran terendah di dunia.
Penurunan tingkat kesuburan tetap terjadi meskipun Pemerintah Korsel sudah mengucurkan insentif hingga 270 miliar dollar AS sejak tahun 2006. Pemerintah juga mendorong keluarga-keluarga agar memiliki lebih banyak anak.
Baca juga: Jepang-China Pusing Memikirkan Turunnya Angka Kelahiran
Sejak 2018, Korsel menjadi satu-satunya negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) yang memiliki angka kelahiran di bawah 1. Perempuan Korsel melahirkan untuk pertama kalinya pada usia rata-rata 33,6 tahun, tertinggi di antara negara-negara anggota OECD.
Pada Rabu (28/2/2024), Korsel memublikasikan laporan menyusutnya populasi Korsel selama empat tahun berturut-turut. Menurut Institut Metrik Kesehatan dan Evaluasi Universitas Washington, jika tingkat kesuburan yang rendah seperti ini terus berlanjut, populasi Korsel akan berkurang setengahnya, menjadi 26,8 juta pada 2100.
Kemungkinan terburuknya adalah bangsa Korsel bisa punah. Untuk bisa mempertahankan jumlah penduduk saat ini yang berjumlah 51 juta jiwa, Korsel membutuhkan angka kelahiran rata-rata 2,1 anak.
Kepala Divisi Sensus Penduduk pada Statistik Korsel Lim Young-il mengatakan, jumlah bayi baru lahir pada 2023 sebanyak 230.000 anak. Jumlah ini berkurang 19.200 kelahiran dibandingkan tahun 2022 atau turun 7,7 persen.
Sejak 2006, pemerintah sudah menggalakkan program-program demi mendorong pasangan suami istri memiliki lebih banyak anak. Skema atau program itu, antara lain, subsidi uang tunai, layanan pengasuhan anak, dan dukungan untuk pengobatan ketidaksuburan.
Namun, segala macam skema dan program itu tidak berhasil karena banyak yang beralasan biaya pengasuhan anak dan harga properti meroket. Kurangnya pekerjaan bergaji tinggi dan sistem pendidikan yang ketat juga menjadi alasan orang tidak mau memiliki keluarga yang lebih besar.
Saya juga ingin punya anak, tetapi pada saat yang sama ada peluang untuk promosi di tempat kerja saya dan saya tidak mau melewatkan kesempatan itu.
Para ahli menilai ada faktor lain, yakni kultur kerja di Korsel. Ibu yang bekerja kesulitan mengatur pekerjaan mereka karena perempuan diharapkan paling bertanggung jawab atas pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak. Menikah dipandang sebagai prasyarat untuk memiliki anak di Korsel.
Masalahnya, jumlah pernikahan juga menurun karena alasan tingginya biaya hidup. ”Saya juga ingin punya anak, tetapi pada saat yang sama ada peluang untuk promosi di tempat kerja saya dan saya tidak mau melewatkan kesempatan itu,” kata Gwak Tae-hee (34), manajer junior di perusahaan produk susu Korsel yang sudah tiga tahun menikah.
Korsel bukan satu-satunya negara di kawasan Asia yang sedang berjuang melawan populasi yang menua dengan cepat dan kurangnya anak. Jepang, negara tetangga Korsel, selama delapan tahun berturut-turut mengalami penurunan jumlah bayi lahir hidup.
Pada 2022, tingkat kesuburan di Jepang mencapai rekor terendah, yakni 1,26. Adapun China mencatat tingkat kesuburan 1,09, juga rekor terendah.
Baca juga: Populasi Menua, Jepang Utamakan Anak dan Pengasuhan Anak
Pada Selasa, Jepang melaporkan rekor penurunan populasinya pada 2023 bersamaan dengan rekor penurunan jumlah kelahiran dan jumlah pernikahan yang paling rendah sejak akhir Perang Dunia II. Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida memperingatkan, angka kelahiran yang sangat rendah akan mengancam keberlangsungan hidup di Jepang.
Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Jepang menyebutkan, sebanyak 758.631 bayi lahir di Jepang tahun lalu. Jumlah ini turun 5,1 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Ini juga angka kelahiran terendah sejak statistik pertama kali dikumpulkan pada 1899.
Jumlah perkawinan juga turun 5,9 persen menjadi 489.281 pasangan, Jumlah ini turun di bawah setengah juta pasangan untuk pertama kalinya dalam 90 tahun. Ini salah satu penyebab menurunnya angka kelahiran.
Banyak anak muda Jepang yang enggan menikah atau berkeluarga karena prospek pekerjaan yang buruk. Biaya hidup meningkat lebih cepat daripada gaji. Budaya perusahaan yang mempersulit kedua orangtua untuk bekerja.
Populasi Jepang yang saat ini sekitar 125 juta jiwa diperkirakan akan turun sekitar 30 persen dengan menjadi 87 juta pada 2070. Empat dari 10 orang berusia 65 tahun atau lebih.
”Penurunan angka kelahiran ini mencapai titik kritis. Kita hanya punya waktu enam tahun ke depan atau sampai tahun 2030. Ini kesempatan terakhir kita untuk mencoba membalikkan tren penurunan ini. Kita tidak bisa menyia-nyiakan waktu,” kata Sekretaris Kabinet Jepang Yoshimasa Hayashi.
Tidak efektif
Para ahli ragu upaya pemerintah negara-negara tersebut efektif karena hanya fokus pada orang-orang yang sudah menikah atau berencana memiliki anak. Pemerintah belum mengatasi permasalahan yang dihadapi anak muda yang enggan menikah atau memiliki anak.
Selama ini Pemerintah Korsel menggelontor pasangan yang memiliki anak dengan uang tunai, mulai dari bantuan bulanan hingga perumahan bersubsidi dan taksi gratis. Tagihan rumah sakit bahkan perawatan bayi tabung juga ditanggung. Namun, semua skema itu diberikan hanya kepada mereka yang sudah menikah.
Baca juga: Pengurangan Penduduk Korea Selatan Lebih Cepat dari Perkiraan
BBC, Rabu, menyebutkan, insentif finansial seperti ini dinilai tidak berhasil sehingga para politisi memikirkan solusi lain yang lebih ”kreatif”. Cara itu, misalnya, mempekerjakan pengasuh anak dari kawasan Asia Tenggara dan membayar mereka dengan upah di bawah upah minimum. Mereka juga mengecualikan laki-laki dari wajib militer jika memiliki tiga anak sebelum mencapai usia 30 tahun.
Tidak mengherankan jika para pembuat kebijakan dituduh tidak mendengarkan aspirasi anak muda, terutama perempuan, mengenai kebutuhan mereka. ”Saya pilih hidup sendiri karena sulit mencari laki-laki yang tepat di Korea. Laki-laki yang mau sama-sama berbagi tanggung jawab merawat anak. Jika perempuan mau punya anak sendiri tanpa suami, juga tidak bisa diterima di Korea,” kata Yejin (30), warga Korsel.
Perempuan Korsel termasuk berpendidikan paling tinggi di antara negara-negara anggota OECD. Akan tetapi, Korsel memiliki kesenjangan upah berbasis jender yang paling buruk, begitu juga dengan proporsi perempuan yang menganggur dibandingkan laki-laki.
Para peneliti mengatakan, hal ini membuktikan mereka dihadapkan pada pilihan memiliki karier atau memiliki keluarga. Yang terjadi, semakin banyak perempuan memilih karier.
Baca juga: Tren Populasi yang Menyusut dan Kecemasan Dunia
Selama 50 tahun terakhir, perekonomian Korsel berkembang cepat. Perempuan bisa mendapatkan pendidikan tinggi dan memasuki dunia kerja, serta memperluas ambisi mereka. Namun, peran istri dan ibu belum banyak berubah. ”Alasan perempuan saat ini tidak memiliki anak karena mereka berani untuk membicarakannya,” kata Jungyeon, perempuan yang hidup sendiri di Seoul.
Anak muda yang tidak mau menikah dan menunda atau tidak memiliki anak kini semakin banyak. Hal ini, kata Jungyeon, karena semakin banyak anak muda yang bisa memilih untuk tidak melakukannya. Dulu, perempuan tidak punya pilihan dan harus memiliki anak. (REUTERS/AFP/AP)