Eropa Semakin Pusing gara-gara Kendaraan Listrik China
Beberapa model terbaru produk China lebih murah hingga 50 persen dari buatan Eropa.
GENEVA, SENIN — Kendaraan listrik buatan China belum berhenti memusingkan produsen otomotif Eropa. Salah satu cara Eropa menghadapi China dengan memaksa rekanan pemasok menekan harga bahan baku dan suku cadang.
Sorotan pada harga mobil listrik China kembali mengemuka di Geneva International Motor Show (GIMS) yang dimulai pada Senin (26/2/2024). Pabrikan China, SAIC dan BYD, membawa dua ambisi besar.
Baca juga: ”Serbuan” Mobil Listrik China, Dilema bagi Jerman dan Perancis
SAIC mengungkap M3 Hybrid. Sementara BYD membawa Seal untuk ditandingkan di daftar mobil terbaik versi GIMS 2024. Jika menang, Seal akan jadi mobil listrik pertama asal China yang meraih penghargaan bergengsi itu.
Raksasa Perancis, Renault, mengenalkan R5 di GIMS. ”Produk-produk itu benar-benar berbeda,” kata Direktur Pelaksana AlixPartners, Nick Parker, soal pabrikan Eropa dan China.
Ia menyoroti fakta pabrikan Eropa memilih sistem rantai pasok terbuka dan melibatkan banyak perusahaan di sejumlah lokasi. Rantai pasok untuk mobil listrik dan bahan minyak berbeda. Sementara perusahaan China memakai sistem terintegrasi untuk kendaraan listrik maupun BBM. Cara China teruji menekan biaya.
Di Inggris, sejumlah produk BYD lebih murah hingga 27 persen dari buatan Volkswagen. Beberapa model terbaru produk China lebih murah hingga 50 persen dari buatan Eropa.
Baca juga: Produk Otomotif China Menantang Eropa
Karena itu, menurut CEO Stellantis Carlos Tavares, biaya produksi harus dialihkan. Dari sepenuhnya ditanggung produsen, biaya perlu ikut ditanggung para pemasok bahan baku dan komponen. Sebab, 85 persen biaya produksi kendaraan listrik terkait bahan baku. Pengalihan itu membuka peluang penurunan harga.
Dalam laporan Bloomberg pekan lalu, Stellantis juga menjajaki rantai pasok bersama dengan VW dan Renault. Aliansi itu diharapkan menghilangkan upaya saling jegal di antara mereka. Aliansi itu juga untuk menghadapi pemain-pemain China.
Parker mengatakan, tidak mudah meminta pemasok ikut menanggung beban produksi. Sebab, mereka pun sudah kesulitan. Buktinya, banyak pemasok ke industri otomotif sudah memangkas pekerja.
Tekanan telah dirasakan sejumlah pemasok. Perusahaan-perusahaan seperti Forvia, Continental, dan Bosch memperingatkan apabila tekanan untuk memotong ongkos produksi terus terjadi, pemutusan hubungan kerja akan terjadi lebih banyak.
Baca juga: UE Selidiki Mobil Listrik China
Sejumlah pakar dan analis mengatakan, para pemasok besar dengan modal besar harus beradaptasi dengan kenyataan baru ini. Akan tetapi, akan berbeda halnya dengan para pemasok kecil, seperti Allgaier (Jerman) yang telah mengajukan pailit pada Juli 2023.
Sementara Direktur Cox Automotive Philip Nothard memperingatkan, pemasok bisa saja beralih kemitraan jika terus ditekan. Risiko pengalihan itu amat besar dalam situasi sekarang.
Nothard mengatakan, justru pabrikan otomotif perlu memberi talangan ke rekanan pemasok mereka. Hal itu untuk menjaga ekosistem produksi tetap terjaga di tengah kesulitan keuangan pada beragam pemasok.
Aliansi otomotif
Sementara Luca de Meo berharap industri otomotif Eropa seperti industri penerbangan di benua tersebut. CEO Renault sekaligus Presiden Asosiasi Pembuat Otomotif Eropa (ACEA) itu mengacu para Airbus yang menjadi induk industri dirgantara Eropa di panggung global.
Baca juga: Mobil Listrik, Kuda Troya China di Era Multipolar
Aliansi itu, menurut De Meo, akan memungkinkan Eropa menekan biaya produksi. Sebab, beban ditanggung lebih banyak pihak. Walakin, Airbus memaksa Eropa mengucurkan banyak subsidi.
Menurut De Meo, mau tidak mau industri mobil listrik harus belajar dari China soal rantai pasok. China punya kendali dari penambangan bahan baku hingga pembuatan suku cadang. China juga membangun jaringan isi ulang daya serta lebih lentur soal beradaptasi.
Sementara Eropa atau Amerika Utara hanya mengendalikan sebagian dari rantai pasok itu. Apalagi, aturan di Eropa lebih rumit dari China. Akibatnya, investor Eropa jauh lebih berhati-hati. Karena itu, akan butuh puluhan tahun bagi Eropa untuk meniru China.
Minta subsidi
Sayangnya, ia juga menawarkan solusi yang tidak sesuai dengan semangat pasar dan persaingan bebas yang dikampanye Eropa. Menurut dia, industri mobil listrik Eropa butuh proteksi sampai beberapa tahun mendatang.
Baca juga: Baterai Mobil Listrik China, Produk yang Menggelisahkan Biden
Ia meminta subsidi dan kebijakan yang lebih berpihak untuk industri mobil listrik Eropa. Padahal, di sejumlah negara dan kawasan lain, UE terus menolak proteksionisme.
Soal itu, ia berkilah bahwa China dan AS juga melakukannya. AS memberikan subsidi ribuan dollar AS per unit mobil listrik baru kategori tertentu. Sementara China sejak lama dituding menyubsidi industri kendaraan listriknya.
Salah satu yang disoroti de Meo aturan tingkat komponen dalam negeri (TKDN). UE dan Inggris sepakat, TKDN kendaraan listrik sekurangnya 45 persen. Aturan itu mustahil selama UE dan Inggris belum bisa membuat sendiri baterai dan aneka komponen kendaraan listrik lebih terjangkau dan efisien.
ACEA menyarankan Uni Eropa merombak regulasi. Perombakan untuk memastikan kebijakan tidak lagi parsial dan tidak menyelesaikan persoalan. ”Setiap kali kami melihat ada aturan baru, kami menemukan persoalan dalam sistem,” ujar De Meo.
Baca juga: Kerja Keras Menjauhkan Mobil dari Paris
Kini, baterai dan aneka komponen kendaraan listrik lebih efisien jika diimpor dari China. Padahal, mobil dengan TKDN di bawah 45 persen akan dikenai pajak tambahan 10 persen dari harga keluaran pabrik. Aturan itu salah satu penyebab harga mobil listrik buatan UE mahal.
Renault dilaporkan sedang mempersiapkan mobil listrik kecil dan murah. Harganya ditargetkan di bawah 20.000 euro dan diharapkan mulai dipasarkan dalam tiga tahun mendatang. Mobil itu disebut memakai baterai lebih kecil dan lebih sesuai kebutuhan pergerakan di kota.
Menurut De Meo, tidak tepat jika UE memaksa produksi kendaraan listrik dengan baterai kapasitas besar. Baterai berkapasitas besar tidak ramah lingkungan dan tidak cocok dengan target UE menggalakkan kendaraan listrik. Target menambah kendaraan listrik hanya mungkin tercapai jika ukuran mobil dikurangi.
Dalam situasi sekarang, industri otomotif Eropa akan kesulitan mencapai target produksi dan transisi energi. Di Jerman, ada target 15 juta mobil listrik beroperasi dalam tujuh tahun mendatang. Sayangnya, berkaca dari tren penjualan, target itu akan sulit tercapai.
Baca juga: Produsen Kendaraan Listrik Vietnam, VinFast, Siap Berinvestasi di Indonesia
Pasar kini melambat. Hal itu tecermin dari rendahnya pendaftaran mobil listrik baru di Jerman. Dari 30 persen di 2022 menjadi 11,4 persen di 2023. Menurut otoritas otomotif Jerman, hanya ada 1,3 juta mobil listrik murni di Jerman hingga Oktober 2023. Untuk mencapai target, Jerman harus menambah hampir 14 juta mobil listrik dalam tujuh tahun mendatang. (REUTERS/AFP)