Jadi Korban Kekerasan Siswa, Guru di Inggris Raya sampai Takut Mengajar
Kekerasan di sekolah juga melanda Inggris Raya. Di sana, guru jadi korban kekerasan siswa hingga trauma mendalam.
Kasus-kasus perundungan di lingkungan sekolah tidak hanya terjadi pada siswa, tetapi juga pada guru. Perilaku-perilaku pelecehan dan kekerasan verbal ataupun fisik terhadap guru meningkat pascapandemi Covid-19 atau sejak belajar mengajar di sekolah kembali pulih seperti sebelum pandemi. Perundungan terhadap guru banyak terjadi di Inggris Raya, khususnya Skotlandia, dan Amerika Serikat.
Tidak banyak kasus perundungan terhadap guru yang dilaporkan secara resmi ke pemerintah melalui persatuan atau serikat guru. Kasus-kasus itu cenderung ditutupi pihak sekolah. Guru pun enggan melapor karena takut pada orangtua siswa atau khawatir kemungkinan dituntut balik secara hukum dengan tudingan melakukan kekerasan terhadap anak atau siswa.
Kasus terbaru kekerasan terhadap guru dilansir situs BBC, Selasa (20/2/2024). Laporan itu menyebutkan, para guru di kota Aberdeen, Skotlandia, mengaku trauma dan khawatir dengan keselamatan mereka sendiri. Para guru itu jadi takut mengajar di sekolah menyusul meningkatnya kekerasan yang dilakukan para siswa.
Ada guru yang berulang kali mimpi buruk setelah diserang siswanya. Sementara guru-guru lain menggambarkan sekolahnya benar-benar tidak terkendali.
Baca juga: Perundungan di Sekolah Perburuk Prestasi Belajar Siswa
Harian The Daily Mail, 27 November 2023, mengungkap akar permasalahan pada kasus-kasus kekerasan di sekolah ini terletak pada faktor kemiskinan sosial, perombakan manajemen persekolahan yang bertujuan baik tetapi pada akhirnya sia-sia, serta pergantian guru dan karyawan yang sering terjadi sehingga malah menjauhkan siswa, orangtua, dan guru.
Survei yang dilakukan Institut Pendidikan Skotlandia (EIS), persatuan guru terbesar di Skotlandia, pada 2023 di 875 sekolah menemukan bahwa 400 dari 800 guru anggota EIS melaporkan perilaku kekerasan siswa di sekolah setiap hari. Sekitar 300 guru mengaku pernah diserang secara fisik oleh siswa. Kekerasan berbasis prasangka juga meningkat dalam empat tahun terakhir.
Kekerasan fisik terhadap guru adalah jenis kekerasan dan agresi yang paling sering terjadi di pendidikan dasar dan khusus. Sedangkan pelecehan verbal paling sering terjadi di sekolah menengah.
Sekitar 11 persen guru mengaku mendapat dukungan dari atasan mereka setelah mengalami kekerasan. Akan tetapi, sekitar 26,1 persen mengaku tidak ada dukungan apa-apa setelah mengalami kekerasan.
Diserang hingga gegar otak
Salah satu guru sekolah menengah yang ditemui BBC Scotland News mengaku pernah diserang sampai membuatnya gegar otak. Dia juga pernah didorong sampai terjatuh ke belakang. Guru lain bercerita, ada siswa yang langsung menolak melakukan apa yang diminta guru.
”Mereka akan menyumpahimu dan sering kali akan menyerangmu. Saya jadi khawatir kalau mereka punya senjata. Untuk pertama kalinya dalam karier saya, saya takut mengajar,” kata guru yang tak mau disebutkan namanya.
Baca juga: Kasus Perundungan di Sekolah Meningkat Selama 2023
Ada juga guru sekolah dasar yang menceritakan dia sampai harus meninggalkan kelasnya beberapa kali dalam seminggu karena perilaku siswa-siswanya. ”Kalau sudah tidak bisa dikendalikan, mereka bisa merobohkan furnitur, meja, kursi. Saya pernah dilempari buku-buku dari rak buku dan barang-barang lain di kelas,” kata guru yang mau cerita, tetapi tak mau ditulis namanya itu.
Salah satu guru sekolah menengah yang ditemui BBC Scotland News mengaku pernah diserang sampai membuatnya gegar otak.
Dalam survei EIS Aberdeen, 42 persen guru melaporkan perilaku kekerasan terjadi di sekolah mereka sekali sehari. Lebih dari sepertiga (37 persen) mengaku pernah diserang secara fisik oleh siswa dan lebih dari separuhnya merasa sekolah mereka tidak memiliki strategi yang jelas untuk mencegah kekerasan.
EIS mengatakan, kasus-kasus kekerasan yang terjadi di sekolah jarang dilaporkan. Ketua Dewan Pendidikan Aberdeen, Martin Greig, menegaskan, segala perilaku buruk di sekolah tidak bisa dibiarkan. Sekolah seharusnya menjadi lingkungan yang aman, tenteram, dan suasananya saling menghargai.
Baca juga: Hak Imunitas Guru
Posisi guru menjadi semakin tidak aman karena tidak hanya terancam oleh siswa, tetapi juga oleh orangtua dan wali. Dari survei EIS itu juga ditemukan perilaku kekerasan dan agresif dari orangtua serta wali juga meningkat. Para guru mengkritik kurangnya sumber daya, pelatihan, dan dukungan dari otoritas lokal serta akses terhadap profesional untuk menangani masalah ini.
Faktor penyebab
Sekretaris Jenderal EIS Andrea Bradley mengatakan, penyebabnya karena kebijakan penghematan yang berkepanjangan dan kemiskinan yang menciptakan masyarakat di mana banyak generasi muda yang merasa terasing, terisolasi, dan tertekan.
”Bagi kelompok minoritas yang jumlahnya semakin banyak, ini semakin terlihat dalam bentuk perilaku yang tidak dapat diatur, mengganggu, atau penuh kekerasan saat jam sekolah terhadap guru atau siswa lain,” ujarnya.
Akibat kekerasan dan agresi siswa yang meningkat, hampir semua sekolah yang disurvei mengaku hal itu berdampak negatif pada proses pembelajaran siswa.
Hampir semua sekolah melaporkan peningkatan stres, kecemasan, dan depresi pada beberapa guru di sekolah mereka, 78,5 persen sekolah mengaku guru-gurunya takut terhadap siswa tertentu. Sekitar 79 persen sekolah juga melaporkan guru-gurunya mempertimbangkan untuk meninggalkan profesinya karena takut mengalami kekerasan.
BBC, 21 November 2023, melaporkan, karena banyaknya kasus kekerasan siswa terhadap guru, guru-guru di Inggris pernah sampai mogok kerja. Mereka mengeluhkan para siswa yang menggunakan bahasa yang kotor, homofobik, rasis, serta seksis setiap hari di sekolah dan tidak ada tindakan apa-apa dari sekolah.
Baca juga: Kekerasan di Sekolah dan Kesehatan Mental Kita
Menanggapi kasus ini, Menteri Pendidikan Inggris Shirley-Anne Somerville, ketika diwawancarai Good Morning Scotland di radio BBC, Januari 2023, mengatakan bahwa segala bentuk kekerasan dan intimidasi di sekolah tidak bisa dibiarkan. ”Pemerintah pusat, daerah, dan serikat pekerja harus bekerja sama memastikan kita menyediakan ruang di mana para siswa merasa aman dan dilindungi setiap hari,” ujarnya.
Sistem pemantauan
Sebenarnya sistem baru pemantauan insiden kekerasan sudah ada sejak 2019, tetapi dari hasil penelitian Dewan Pengawas Pendidikan Skotlandia, banyak sekolah tidak menggunakannya. Para guru, siswa, dan orangtua dilaporkan merasa sulit menentukan perilaku mana yang dianggap sebagai perundungan dan kekerasan.
Guru dan perwakilan EIS, Nuzhat Uthmani, menyarankan perlu percakapan mendalam dan berkualitas antara guru, orangtua, dan dewan pendidikan untuk menangani isu ini.
Seorang guru kepada harian The Herald, 2 Februari 2023, mengatakan, perilaku kekerasan fisik dan verbal justru ”dinormalisasi” di sekolah-sekolah Skotlandia. Siswa yang menyaksikan kekerasan atau tidak masuk kelas karena kekerasan itu malah dianggap tidak lulus.
Baca juga: Mengakhiri Kekerasan di Sekolah
Kebijakan yang buruk dan kepemimpinan sekolah yang tidak efektif menciptakan lingkungan kekerasan karena cenderung membiarkan saja. Ketika mengetahui terjadi kekerasan pun, sekolah tidak memberikan sanksi terhadap pelaku. ”Pelaku dan korban tetap dibiarkan berada dalam satu kelas yang sama,” ujarnya.
Barry Smith, pelatih dan konsultan guru lepas yang dulu pernah dikenal sebagai kepala sekolah yang tegas dan keras di Inggris, kepada harian Mirror, 26 Agustus 2022, mengatakan bahwa anak-anak biasanya kasar dan agresif dan ini menjadi masalah sosial di Inggris. Dia prihatin dengan banyaknya guru yang takut pada para siswa karena siswa bersikap kasar, tidak sopan, dan menghina guru.
Meski begitu, guru—dengan dukungan sekolah—tetap harus tegas dan mendisiplinkan siswanya agar sopan dan menghormati guru. ”Kita tidak bisa membiarkan anak-anak yang mengendalikan sekolah. Tugas guru dan pemimpin sekolah adalah menciptakan budaya aman yang dibangun dari saling menghormati. Kalau anak-anak tahu kita lemah, mereka akan memanfaatkan itu,” ujar Smith.
Baca juga: Kekerasan dan Perundungan Remaja Perempuan yang Viral di Cirebon
Smith pernah dikenal karena kebijakannya yang keras pada siswa. Ia mengharuskan semua siswa untuk tersenyum. Kalau tidak senyum, langsung dimasukkan ke ”ruang isolasi”. Ia juga menyuruh anak-anak melipat tangan ketika mereka berbicara, melafalkan nyanyian tentang perilaku yang baik, dan menyuruh mereka ikut pertemuan tentang disiplin.
”Saya memperkenalkan kebijakan yang mengembangkan budaya saling menghormati. Guru adalah atasan Anda. Tetapi, guru juga memimpin dengan kebaikan dan kesopanan. Saya berharap anak-anak bersikap sopan kepada guru-gurunya, seperti kita juga bersikap sopan kepada siswa,” kata Smith.