Singapura Wajibkan Bahan Bakar Lebih Mahal untuk Pesawat, Harga Tiket Akan Naik
SAF 500 persen lebih mahal daripada harga BBM biasa. Belum banyak produsen bahan bakar itu.
SINGAPURA, SENIN — Seluruh pesawat yang terbang dari Singapura harus memakai bahan bakar lebih mahal mulai 2026. Bahan bakar itu disebut lebih ramah lingkungan dan membuat industri penerbangan lebih berkelanjutan.
Menteri Transportasi Singapura Chee Hong Tat mengumumkan kebijakan baru itu pada Senin (19/2/2024). Pada 2026, kadar bahan bakar berkelanjutan (SAF) pada bahan bakar pesawat dari Singapura minimum 1 persen. Pada 2030, kadarnya dinaikkan menjadi sekurangnya 5 persen.
Baca juga: Penerbangan Indonesia: Pasar Terbesar, Konektivitas Minim
Singapura menyusul Perancis yang lebih dulu mengumumkan kewajiban penggunaan SAF. Pada 2025, seluruh pesawat dari Perancis harus menggunakan bahan bakar dengan kadar SAF minimum 2 persen. Pada 2030, kadarnya menjadi 5 persen.
Menurut Chee, SAF, antara lain, terdiri atas biomassa dan sampah. Harganya bisa lima kali lebih mahal dibandingkan dengan harga BBM pesawat saat ini.
Penumpang akan menanggung dampak kenaikan biaya tersebut. Bentuknya berupa kenaikan harga tiket pesawat. Semakin jauh jarak dan kelas penerbangan, semakin tinggi kenaikan harga tiketnya. Otoritas penerbangan Singapura masih menghitung mekanisme kenaikan itu.
Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) menargetkan industri penerbangan global mencapai karbon netral pada 2050. Kini, hingga 3 persen emisi karbon global dihasilkan dari penerbangan.
Baca juga: Kebutuhan Avtur Angkutan Haji di Bandara Juanda Naik Dua Kali Lipat
Asosiasi Angkutan Udara Internasional (IATA) menaksir penggunaan SAF harus dipacu menjadi 65 persen pada 2050. Jika tidak, target karbon netral industri penerbangan sulit tercapai.
Direktur Jenderal IATA Willie Walsh mengatakan, butuh hingga 3,2 triliun dollar AS untuk mewujudkan rencana itu. ”Ada biaya terkait transisi menuju karbon netral. Pada akhirnya, biaya itu akan tecermin pada harga tiket yang kami bebankan ke konsumen,” ujarnya.
Direktur Jenderal Dewan Bandara Internasional (ACI) Luis Felipe de Oliveira mengatakan, pemerintah perlu berinvestasi pada kilang SAF baru. ”Solusinya bukan pembatasan kapasitas, bukan retribusi. Solusinya dengan menemukan cara kerja sama untuk menaikkan produksi,” ujarnya.
SAF di Singapura kini hanya diproduksi satu perusahaan, Neste, dengan kapasitas maksimum sejuta ton per tahun. Kilang Singapura beroperasi sejak 2023. Menurut Neste, kewajiban penggunaan 1 persen campuran SAF di Singapura akan membutuhkan setidaknya 100.000 metrik ton per tahun.
Ada biaya terkait transisi menuju karbon netral. Pada akhirnya, biaya itu akan tecermin pada harga tiket yang kami bebankan ke konsumen.
Wakil Presiden ExxonMobile Asia Pasifik Ong Shwu Hoon mengatakan, produksi SAF bukan cuma soal investasi. Tantangan terbesarnya justru mencari sumber bahan bakar nabati untuk produksi SAF.
Pengaruhi penumpang
Walsh menyebut kenaikan harga tiket akibat pewajiban SAF bisa jadi berdampak pada jumlah penumpang. IATA dan para pemangku kepentingan industri penerbangan belum bisa memastikan dampak tersebut.
Ia mengingatkan, penumpang pesawat global naik 175 persen di periode 2000-2019. Sementara jejak karbon penerbangan global hanya naik 54 persen.
Ia juga menyebut, Asia Pasifik akan memimpin pertumbuhan penerbangan global. Pertumbuhan global ditaksir hanya 3,3 persen. Sementara Asia Pasifik akan tumbuh 4,5 persen per tahun sampai dua dekade mendatang. ”Kawasan Asia-Pasifik kemungkinan akan memimpin pertumbuhan tersebut,” ujarnya.
Baca juga: FAA Larang Pengembangan Produksi Boeing 737 Max
IATA menyebut, Asia Pasifik akan jadi tumpuan pertumbuhan global. Faktor Australia, China, dan India menjadi penyebab pertumbuhan pesat Asia Pasifik. Pemulihan penerbangan domestik di sana lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain.
Namun, perjalanan internasional dari tiga negara itu masih rendah. Tingkat penerbangan internasional China 2023 hanya setara dengan 40 persen sebelum era pandemi. IATA memilih menilai fakta itu dengan positif. Bagi IATA, ada peluang industri penerbangan China bisa tumbuh lebih tinggi.
Dalam laporan pada 31 Januari 2024, IATA mengungkap penerbangan 2023 setara dengan 82,3 persen dari penerbangan 2019. Adapun untuk tingkat keterisian pesawat 2023 setara 82,3 persen dibandingkan dengan 2019.
Laba bersih 25,7 miliar dollar AS yang diharapkan pada 2024 merupakan penghargaan terhadap ketahanan industri penerbangan.
Untuk 2024, IATA menaksir 4,7 miliar penumpang akan diangkut. Dengan kata lain, penumpang tahun ini lebih banyak 200 juta orang dibandingkan dengan 2019 atau era sebelum pandemi.
Baca juga: Industri Penerbangan Menyambut Libur Akhir Tahun
Hal ini mengacu pada data survei yang menunjukkan hampir separuh responden mengaku telah kembali bepergian seperti sebelum pandemi. Bahkan, 66 persen responden mengaku lebih sering bepergian. Hanya 18 persen responden mengaku belum bepergian sebanyak sebelum era pandemi.
Kenaikan jumlah penumpang akan berdampak pada laba. Pada 2024, IATA menaksir laba bersih industri penerbangan akan mencapai 25,7 miliar dollar AS. Sementara laba operasional setidaknya 49 miliar dollar AS. Adapun omzet akan mencapai 964 miliar dollar AS. ”Laba bersih 25,7 miliar dollar AS yang diharapkan pada 2024 merupakan penghargaan terhadap ketahanan industri penerbangan,” tutur Walsh.
Ia menyebut, industri penerbangan tertolong orang-orang yang suka bepergian. Pada 2020-2022, industri sangat terpukul oleh pandemi dan dampaknya masih terus terasa. ”Mulai 2024, prospeknya menunjukkan bahwa kita dapat mengharapkan pola pertumbuhan yang lebih normal baik untuk penumpang maupun kargo,” ujarnya.
Baca juga: Merugi, Maskapai Pikir Ulang Membeli dari Boeing
Ia juga mengingatkan, pelaku industri dan pemangku kepentingan harus menggunakan cara pandang tepat pada prospektif industri penerbangan. Laba 2024 hanya setara dengan 2,7 persen dari omzet. Dengan kata lain, laba bersih penerbangan lebih rendah dibandingkan dengan sektor lain.
Secara rerata, industri penerbangan hanya mendapat 5,45 dollar AS dari penumpang. ”Hanya cukup untuk membeli segelas kopi ukuran besar di London,” ujarnya.
Industri penerbangan harus lebih disehatkan. Sebab, 3 juta orang menjadi pekerja langsung industri itu. Ada belasan juta lain menjadi pekerja tidak langsung industri penerbangan global.
Ia juga mengingatkan, tantangan rantai pasok masih terus membayangi industri penerbangan global. Rantai pasok industri penerbangan dinilai masih dikuasai oligopoli. (AFP/REUTERS)