Mengubah Sampah Kaleng Bekas Menjadi Energi Kegembiraan
Sampah berserak, jadi pemandangan tak sedap. Di tangan warga Madre de Deus, Brasil, itu disulap jadi sumber kebahagiaan.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
Madre de Deus, kota di timur laut Brasil, Minggu (11/2/2024), tampak semarak. Meskipun gerimis, warga tak mengurungkan niat untuk turun ke jalan-jalan di kota itu. Mereka menyemarakkan festival tahunan setempat yang digelar berbarengan dengan Karnaval Rio, karnaval masyhur di ”Negeri Samba”.
Mereka bergembira, bertepuk tangan, menggoyangkan tubuh mengikuti iringan musik yang mengiringi para peserta karnaval. Yang ditunggu-tunggu warga dalam festival ini adalah puluhan peserta karnaval dengan penampilan berbeda.
Ya. Mereka tampil berbeda karena kostum yang mereka bawakan adalah kostum spesial. Kostum tersebut bukan berbahan dasar kain, melainkan dari kaleng bekas bir dan soda.
Puluhan peserta karnaval mengenakan ratusan kaleng yang dirangkai dengan benang nilon menyerupai pakaian. Sekilas tampak mirip Bibendum, makhluk yang mewakili logo pabrikan ban Michelin. Bahkan, mereka lebih artistik karena tiap-tiap kostum memiliki warna dan ciri khas.
Pierro, demikian nama kostum yang mereka kenakan itu. Kostum ini terbuat dari sekitar 1.600 kaleng bekas minuman dari berbagai merek.
Selama beberapa bulan, para relawan mengumpulkan sisa kaleng bekas minuman dari berbagai lokasi, mulai dari rumah warga, restoran, hingga bar. Kaleng-kaleng itu kemudian diserahkan kepada para desainer untuk dibersihkan, dihilangkan sisa bau yang menempel di kaleng, dan kemudian diolah.
Setelah dibersihkan, ribuan kaleng itu dikelompokkan berdasarkan warna dan jenisnya. Kemudian, dengan menggunakan kawat nilon transparan, kaleng-kaleng ini disusun menjadi sebuah kostum berdasarkan desain yang telah ditentukan, direkatkan pada baju dalam yang akan dikenakan oleh warga peraganya. Kostum ini menutupi seluruh tubuh, dari leher hingga setidaknya lutut.
Akan tetapi, tahun ini, beberapa perempuan mencoba menampilkan sesuatu yang berbeda. Alih-alih menggunakan kostum lengkap, beberapa perempuan penampil memilih menggunakan rok yang terbuat dari kaleng-kaleng. Sementara untuk bagian atasnya, terserah kepada para desainernya.
”Selain indah, mereka juga tampak menyenangkan,” kata Fabia do Carmo Carvalho (19), salah satu peserta karnaval.
Gelisah atas masalah sampah
Munculnya pierro dalam karnaval di kota kecil Baia de Todos os Santos (Teluk Para Orang Suci) tidak terlepas dari kegelisahan warga kota itu melihat sampah, terutama kaleng bekas minuman. Kaleng-kaleng bekas ini menumpuk atau berserakan di seluruh penjuru kota, membuat pemandangan kota menjadi tak sedap.
Pertama kali dilaksanakan tahun 1997, pesta jalanan itu menghadirkan pierro untuk mengirim pesan keprihatinan terhadap kondisi lingkungan kota.
Berawal dari sekelompok anak muda dan keluarga mereka yang mengumpulkan kaleng bekas dan kemudian ditempel ke pakaian atau kostum yang mereka kenakan, pierro mulai dikenal oleh masyarakat kota.
Gayung bersambut. Warga dengan antusias ikut serta mengumpulkan kaleng-kaleng bekas tersebut dan mengirimkannya ke pusat-pusat daur ulang. Apalagi, pemerintah kota memberikan insentif bagi warga yang mengumpulkan kaleng-kaleng itu. Mereka dibayar sesuai dengan berat dan jumlah bahan yang dikumpulkan.
Antusiasme warga untuk ikut mengumpulkan kaleng bekas menimbulkan ”masalah” tersendiri. Sisi positifnya adalah Kota Madre de Deus menjadi sangat bersih. Adapun sisi negatifnya, para desainer pierro kekurangan bahan baku. Dampaknya, pesta jalanan pernah dihentikan selama beberapa tahun sebelum diselenggarakan kembali pada tahun 2011.
Aloisio Jesus da Silva (62), penggagas kemunculan pierro, mengenang, saat itu dia kehilangan berapa orang yang membantunya mendesain kostum-kostum unik tersebut. Kini, kondisinya membaik. ”Terima kasih Tuhan, kami berada di sini sekarang,” katanya.
Keunikan yang ditampilkan warga Madre de Seus membuat jaringan televisi Brasil, Globo, mengangkat kisah ini dan menyebarkannya ke seluruh negeri. Nama Madre de Deus pun terangkat.
Keunikan yang ditampilkan warga Madre de Seus membuat jaringan televisi Brasil, Globo, mengangkat kisah ini dan menyebarkannya ke seluruh negeri.
Niat untuk menampilkan salah satu kostum di dalam program ”Heat Up!”, acara di stasiun televisi itu, terpaksa dibatalkan. Sebagai gantinya, para desainer ini harus membuat kostum baru dengan bahan-bahan yang dikumpulkan dari sekitar kota Rio de Janeiro dan ditampilkan secara khusus di acara tersebut.
Louyse Gerardo de Medeiros, seorang mahasiswa doktoral studi budaya Universitas Minho Portugal, mengatakan bahwa penerimaan atas inisiatif mereka berbanding terbalik dengan perjuangan yang mereka lakukan.
Seiring meningkatnya perhatian terhadap karya warga Madre de Deus, biaya yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan festival atau karnaval juga semakin besar. Harga kostum yang mencapai 220 real Brasil atau sekitar 44 dollar AS tidak murah untuk warga yang mayoritas berpenghasilan rendah.
”Setiap tahun, keadaan sangat sulit,” kata Ednailton Santos, kolega Da Silva, yang juga penggagas awal festival itu.
Santos mengakui bahwa untuk mengadakan festival tersebut, menggandeng sponsor adalah salah satu caranya. Akan tetapi, gayung belum bersambut.
Walau demikian, Santos da Silva dan orang-orang yang telah membesarkan festival itu dan pierro tidak berkecil hati. Santos, yang sehari-hari bekerja sebagai nelayan, berupaya untuk memenuhi ketersediaan kaleng-kaleng itu dengan memunguti kaleng bekas yang ditemukannya di laut lepas.
”Saya melihat orang-orang minum dan kemudian membuang kalengnya ke laut lepas. Saya memungutnya dan membawanya kembali ke pantai,” kata Santos.
Dari kaleng-kaleng bekas tersebut, Santos menilai bahwa mereka bisa membuatnya menjadi karya seni yang bernilai. Dan, pesannya sederhana. ”Kami bisa membuat kostum yang membuat orang-orang bisa tersenyum dan bahagia,” ujarnya. (AP)