Kerja Paksa Tahanan AS Bayangi Jenama Ternama
Sibuk menuding sana-sini, ternyata AS mempertahankan kerja paksa di tanah sendiri. Konstitusi AS mengizinkan itu.
Setiap tahun, Pemerintah Amerika Serikat rutin mengeluarkan laporan soal dugaan kerja paksa di sejumlah negara. Di awal 2024, terungkap praktik kerja paksa di negara itu ternyata dipertahankan puluhan tahun.
Praktik itu diungkap dalam laporan Associated Press pada Selasa (30/1/2024). Laporan disusun berdasarkan penyelidikan selama dua tahun. Wawancara dilakukan pada 80 tahanan dan mantan tahanan. Selain itu, diperiksa pula ratusan ribu lembar beragam dokumen.
Jurnalis AP mengikuti mobil-mobil pengangkut produk dari penjara ke berbagai lokasi. Penyelidikan dilakukan di seluruh AS. Dari penyelidikan AP, narapidana LP di Louisiana diketahui memelihara sapi yang antara lain dijual lewat Pasar Ternak Dominique di kota Baton Rouge.
Baca juga: AS Hukum Perusahaan Sawit Malaysia karena Dugaan Kerja Paksa
Pembeli sapi-sapi itu antara lain rumah potong hewan di Texas. Dari berbagai rumah potong itu, aneka hasil olahan daging sapi dipasarkan ke berbagai swalayan dan waralaba makanan cepat saji.
AP menyebut Burger King dan McDonald’s dalam daftar pembeli daging itu. Disebutkan pula swalayan seperti Sam’s Club, Walmart, Kroger, Target, Aldi, hingga Whole Foods. ”Ironis. Kami yang membesarkan ternak-ternak itu tetapi tidak bisa memakannya. Kami makan makanan sangat tidak enak di penjara,” kata Jermaine Hudson yang pernah dipenjara selama 22 tahun di LP Louisiana.
Penjara itu dikenal juga dengan sebutan ”Angola” dan ”Alcatraz Selatan”. Lokasinya dekat rawa-rawa yang terhubung dengan Sungai Mississippi dan banyak buaya.
Sebelum jadi penjara berkapasitas 3.800 orang, LP itu pernah jadi lokasi perkebunan. Dulu, total luasnya 18.000 hektar dan mayoritas penggarapnya budak berkulit hitam. Seperti halnya penghuni LP Angola, budak di perkebunan itu dulu juga berkulit hitam.
Banyak dari mereka yang tidak mendapat kompensasi dan dipaksa bekerja. Mereka juga tidak mempelajari ketrampilan yang bisa membantu mereka atau berguna ketika dibebaskan.
Para narapidana di LP Angola dipekerjakan antara lain sebagai pengurus sapi. Sebagian lagi disuruh bekerja di ladang. Semua pekerjaan itu dimulai sejak beberapa hari narapidana masuk penjara.
Upah rendah
Awalnya, tidak ada upah kepada para narapidana. Belakangan, mereka diupah hingga 0,4 dollar AS per jam. Bahkan, dalam penyelidikan AP, ada tahanan hanya dibayar 0,01 dollar AS per jam. Sebagai pembanding, upah di AS kini paling rendah 10 dollar AS per jam.
Baca juga: Duga Ada Kerja Paksa, AS Hentikan Impor Sarung Tangan Lateks Malaysia
Salah satu yang dipaksa bekerja adalah Calvin Thomas, mantan terpidana selama 17 tahun. Menurut dia, tahanan yang tidak produktif atau bahkan menolak bekerja bisa dikenai sanksi keras. Mereka dikurung atau dipaksa kerja lebih keras. Karena itu, Thomas menyebut kerja di penjara sebagai kerja paksa.
AP menyimpulkan, sanksi kepada tahanan yang menolak bekerja bukan hanya kurungan atau siksaan. Sebagian diancam kehilangan hak bebas bersyarat. Hal lain, para tahanan tidak mendapat jaminan kesehatan dan keselamatan kerja serta pensiun. Semua hak itu lazimnya diberikan ke pekerja.
Mantan terpidana lainnya, Willie Ingram (76), mengaku puluhan tahun bekerja di ladang. Mantan terpidana dengan vonis 51 tahun itu bercerita, para narapidana sering pingsan kehausan. Kalau pekerja protes karena kelelahan, sipir akan memukuli mereka.
Tahanan sulit mengenali siapa petugas itu. Sebab, mereka biasanya memakai topeng dan menunggang kuda. Persis seperti film-film AS yang menggambarkan pengawas budak di abad ke-19.
Gugatan kelompok
Tahanan dan mantan tahanan penjara itu tidak diam saja. Beberapa bulan ini, mereka mengajukan gugatan kelompok. Mereka mengaku dipekerjakan secara paksa. Sebagian lagi merasa diperlakukan sebagai budak.
Baca juga: AS Tambah Sanksi Ekonomi untuk China
Juru bicara LP Angola, Ken Pastorick, menyangkal tudingan itu. Ia menyebut LP menyediakan pelatihan dan pendidikan kepada narapidana. Penjara sudah berubah dari tempat yang kejam menjadi tempat rehabilitasi. Upah untuk tahanan diberikan sesuai ketentuan pemerintah negara bagian.
Pengawas di penjara Arkansas, David Farabough, mengatakan bahwa pengelola penjara berusaha membangun karakter narapidana. Hal itu antara lain dilakukan dengan mempekerjakan tahanan di perkebunan 20.000 hektar milik penjara tempat Farabough bekerja.
”Banyak dari mereka berasal dari keluarga yang tidak pernah bekerja atau memahami menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Kami memberi mereka tujuan. Pada akhirnya, mereka dapat keuntungan dengan mendapat makanan yang lebih baik,” ujarnya
Dalam konstitusi AS, ada pengecualian untuk kerja paksa dan perbudakan. Hal itu boleh dilakukan jika menjadi bagian hukuman. Klausul itu sedang digugat di pengadilan AS.
Konvensi ILO 1930 juga dengan jelas melarang kerja paksa apalagi perbudakan terhadap tahanan sekalipun. Larangan terutama diberlakukan jika pengguna tenaga atau jasa tahanan itu merupakan pihak perorangan atau swasta.
Baca juga: Curigai Terkait Kerja Paksa Uighur, AS Blokir Elektronik Malaysia-Vietnam
AP menemukan, 650 penjara AS melakukan praktik yang tidak sesuai konvensi ILO tersebut. Banyak perusahaan bekerja sama dengan pengelola penjara karena bisa mendapat tenaga kerja murah.
Meski begitu, para pengelola berbagai penjara menyangkal ada kerja paksa pada tahanan. Menurut mereka, mempekerjakan tahanan baik untuk anggaran negara dan kesejahteraan narapidana.
Hasil kebun dan peternakan dipakai untuk makanan narapidana. Sebagian disumbangkan kepada pihak lain. Para tahanan juga mendapat keterampilan lewat pekerjaan itu.
Menurut pakar hukum pada Loyola University di New Orleans, Andrea Armstrong, narapidana harus mendapat upah atas pekerjaan mereka. Narapidana juga tidak boleh dipaksa bekerja dan harus mendapat perlakuan manusia.
”Masalahnya, banyak dari mereka yang tidak mendapat kompensasi dan dipaksa bekerja. Mereka juga tidak mempelajari keterampilan yang bisa membantu mereka atau berguna ketika dibebaskan,” kata Armstrong.
Baca juga: Isu Perdagangan Orang di Negeri Jiran
AP menyimpulkan, penjara-penjara AS kini menjadi bisnis miliaran dollar AS. Di setiap penjara yang diselidiki AP, omzet produk hasil kerja narapidana mencapai ratusan juta dollar AS per tahun.
Standar ganda
Masalah dari temuan AP bukan cuma kekerasan terhadap para narapidana. Temuan AP mengungkap standar ganda AS. Sebagian produk dari penjara-penjara itu dijual berbagai perusahaan multinasional ke sejumlah negara.
Bahkan, sebagian produk itu dipasarkan ke negara yang disanksi AS karena dituding menerapkan kerja paksa. Setiap tahun, Washington DC rutin mengeluarkan daftar dugaan kerja paksa. Negara-negara didaftar itu bisa dikenai larangan mengekspor barang ke AS.
Hal itu antara lain dialami Malaysia dan China. Produk dari Malaysia dan China dilarang masuk karena tudingan kerja paksa. Ternyata, produk dari penjara AS malah diekspor ke China. (AP)