Pemanasan Global Kian Parah gara-gara Perang
Emisi karbon militer dari perang Israel-Hamas di Gaza berdampak pada bencana iklim dunia.
Emisi karbon dioksida yang dihasilkan selama 60 hari awal konflik Israel dan kelompok Hamas di Jalur Gaza lebih besar ketimbang jejak karbon tahunan di 20 negara yang paling rentan terhadap perubahan iklim. Ini mencakup emisi karbon dari serangan bom Israel, terutama yang dilakukan pesawat jet tempur F-16, tank, bahan bakar kendaraan militer lainnya, penerbangan kargo dan patroli, serta emisi dari pembuatan dan peledakan bom, artileri, dan roket militer Israel. Emisi karbon lebih banyak datang dari militer, bahkan diperkirakan dua kali lipat proporsi yang dihasilkan dari maskapai penerbangan komersial.
Baca juga: Perang Ukraina, Hadangan Baru Transisi Energi dan Pemanasan Global
Ini merupakan hasil studi terbaru yang diterbitkan Social Science Research Network, 9 Januari 2024, dan dilakukan tim peneliti yang terdiri dari Benjamin Neimark (dosen senior di School of Business and Management, Queen Mary University of London, Inggris), Patrick Bigger (Direktur Penelitian Climate and Community Project, AS), Frederick Otu-Larbi (Lancaster Environment Centre, Lancaster University, Inggris), dan Reuben Larbi (Division of Health Research, Lancaster University, Inggris).
Hasil penelitian yang dibagikan secara eksklusif kepada harian The Guardian itu dilakukan di tengah meningkatnya seruan untuk akuntabilitas yang lebih besar atas emisi gas rumah kaca militer yang berperan besar dalam krisis iklim. Masalahnya, selama ini banyak informasi yang dirahasiakan dan tidak diperhitungkan dalam negosiasi tahunan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai aksi iklim.
Dampak perang dan pendudukan terhadap iklim masih kurang dipahami karena pelaporan emisi militer dilakukan secara sukarela. Hanya empat negara yang menyerahkan data yang tidak lengkap kepada Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) yang mengadakan perundingan iklim tahunan.
”Studi ini hanyalah sedikit gambaran dari dampak perang yang lebih besar. Gambaran sebagian dari emisi karbon yang sangat besar dan polutan beracun yang lebih luas dan tidak akan bisa hilang dalam waktu cepat. Emisi karbon yang keluar dari tank dan jet tempur militer harus dihitung dan harus ada hukumannya,” kata Neimark.
Baca juga: Iklim Ekstrem Bebani Warga Miskin Lima Kali Lipat
Studi global yang menganalisis dampak perang terhadap emisi karbon ini menemukan sejak 7 Oktober hingga 4 Desember 2023 sekitar 281.000 metrik ton karbon dioksida (CO2) dilepaskan. Jumlah ini setara dengan pembakaran 150.000 ton batubara setiap tahunnya di 75 pembangkit listrik tenaga batubara. Sekitar 99 persen emisi ini disebabkan oleh serangan udara dan darat Israel di Gaza.
Hasil studi ini juga menemukan hampir setengah dari total emisi CO2 berasal dari pesawat kargo Amerika Serikat yang menerbangkan pasokan militer ke Israel. Hingga 4 Desember, AS mengirimkan sekitar 200 penerbangan kargo yang membawa 10.000 ton pasokan ke Israel. Pesawat-pesawat ini diperkirakan mengeluarkan 133.000 ton CO2 dari 50 juta liter bahan bakar penerbangan yang dikonsumsi.
Roket-roket Hamas yang ditembakkan ke arah Israel juga ikut menyumbang krisis iklim. Pada periode yang sama, 9.500 roket Qassam milik Hamas juga menghasilkan sekitar 713 ton CO2 atau setara dengan sekitar 300 ton batubara. Studi ini juga menghitung emisi yang dihasilkan Hamas dari pembangunan jaringan terowongan bawah tanah sepanjang 500 kilometer yang diperkirakan menambah 176.000 ton CO2.
Baca juga: Perang Gaza Membuat Pelayaran Global Mundur 600 Tahun
Pembangunan tembok besi Israel yang membentang sepanjang 65 kilometer di perbatasannya dengan Gaza yang dilengkapi kamera pemantau, sensor bawah tanah, kawat silet, pagar logam, dan tembok beton setinggi 6 meter menyumbang 274.000 ton CO2. Angka ini hampir setara dengan total emisi Republik Afrika Tengah—salah satu negara paling rentan terhadap perubahan iklim—pada 2022.
Pembangunan kembali 100.000 bangunan yang rusak di Gaza dengan teknik konstruksi kontemporer juga diperkirakan akan menghasilkan setidaknya 30 juta metrik ton gas pemanasan. Angka ini setara dengan emisi CO2 tahunan Selandia Baru dan lebih tinggi daripada emisi CO2 di 135 negara, termasuk Sri Lanka, Lebanon, dan Uruguay.
Pembangunan kembali kota-kota yang hancur akibat perang Rusia-Ukraina juga disebutkan PBB akan menghasilkan 37 persen emisi CO2 global atau sekitar 54,7 juta ton CO2. Invasi Rusia ke Ukraina selama 18 bulan menghasilkan sekitar 150 juta ton CO2. Sebagai perbandingan, ini lebih besar daripada emisi tahunan Belgia.
Baca juga: Perang Ukraina Berisiko Libatkan Senjata Nuklir
Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia dan Lingkungan, David Boyd, mengatakan, penelitian ini membantu dunia memahami besarnya emisi militer, mulai dari persiapan perang, pelaksanaan perang, hingga pembangunan kembali pascaperang. ”Konflik bersenjata semakin mendorong umat manusia ke jurang bencana iklim. Ini cara bodoh untuk menghabiskan anggaran karbon kita yang menyusut,” ujarnya.
Ganti rugi
Hasil penelitian Common Wealth, Less War, Less Warming: A Reparative Approach to US and UK Military Ecological Damages, 6 Desember 2023, menyebutkan, militer AS dan Inggris memikul tanggung jawab paling besar terhadap krisis iklim. Meski demikian, emisi dari militer tidak dibahas dalam perjanjian iklim internasional karena ada tekanan dari AS. Emisi luar negeri dikecualikan dari Protokol Kyoto pada 1997 dan pelaporan emisi militer tetap bersikap sukarela dalam Perjanjian Iklim Paris pada 2015.
Dampak paling parah dari polusi dan kerusakan lingkungan yang disebabkan militer terjadi di negara-negara Selatan yang menghadapi dampak pemanasan global. Sebagai langkah awal untuk memperbaiki kontribusi militer mereka pada masa lalu dan masa kini terhadap krisis ekologi, AS dan Inggris harus berkontribusi bersama negara-negara penghasil emisi lainnya dalam bentuk dana kompensasi kepada negara-negara Selatan.
Paket pendanaan iklim internasional sebesar 111 miliar dolar AS harus dibayarkan ke negara-negara itu, 106 miliar dolar AS dari AS dan 5 miliar dolar AS dari Inggris. Ini untuk membiayai pemulihan lingkungan bagi masyarakat yang terkena dampak bahan berbahaya, polusi, dan limbah dari 900 pangkalan militer dan infrastruktur militer.
Baca juga: Perang dan Industri Alutsista
Sekretaris Jenderal Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) Jens Stoltenberg yang juga mantan utusan khusus PBB untuk perubahan iklim mengatakan, NATO juga sudah mengembangkan metodologi untuk mengukur emisi gas rumah kaca NATO. Pada pertemuan KTT Iklim COP26 di Glasgow, Skotlandia, dia mengakui nol emisi karbon tidak akan mungkin tercapai tanpa menyertakan emisi militer.
NATO, tahun lalu, menjanjikan target pengurangan emisi pertamanya. Aliansi yang beranggotakan 30 negara itu akan mengurangi emisi setidaknya 45 persen pada tahun 2030 dan mencapai nol emisi karbon pada 2050. ”Kami tidak bisa mengompromikan efektivitas militer kami. NATO tetap mengutamakan menjaga perdamaian melalui pencegahan dan pertahanan,”” ujarnya.
Komitmen untuk mengurangi emisi ini dikhawatirkan tidak akan tercapai karena NATO justru berencana meningkatkan jumlah pasukan dengan 300.000 tentara sebagai bagian dari ”perombakan pertahanan dan pencegahan kolektif terbesar sejak Perang Dingin”. Hasil studi lembaga kajian nonprofit untuk advokasi dan penelitian di Belanda, The Transnational Institute, ”Climate Crossfire” yang dipublikasikan 17 Oktober 2023, menyebutkan pengeluaran militer global mencapai rekor tertinggi sebesar 2,24 triliun dollar AS, lebih dari setengahnya dibelanjakan 31 negara anggota NATO.
Baca juga: Meningkatnya Pengungsi Seiring Memburuknya Iklim Global
Anggaran itu diproyeksikan meningkat terus dalam beberapa tahun mendatang. NATO menargetkan semua negara anggota untuk membelanjakan minimal 2 persen dari produk domestik bruto mereka untuk militer dan 20 persen di antaranya untuk belanja peralatan.
Total jejak karbon militer NATO meningkat dari 196 juta metrik ton setara CO2 (tCO2e) pada 2021 menjadi 226 juta tCO2e pada 2023. Ada 30 juta ton peningkatan dalam dua tahun saja. Ini setara dengan penggunaan 8 juta mobil di jalan. Rata-rata jejak karbon militer tahunan NATO sebesar 205 juta tCO2e.
Jika semua anggota NATO memenuhi target 2 persen dari PDB antara tahun 2021 dan 2028, total jejak karbon militer kolektifnya akan mencapai 2 miliar tCO2e. Memahami dampak emisi militer terhadap lingkungan, Stoltenberg berjanji mengurangi emisi dengan melakukan transisi dari bahan bakar fosil ke sumber energi terbarukan atau bahan bakar sintetis yang ramah lingkungan dan solusi yang lebih hemat energi.